Menebak di Balik Proyek Pagar Laut Tangerang, Ada Apa?
Diduga ada sesuatu yang besar di balik proyek pagar laut Tangerang.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum dapat memastikan luas area bidang dari 266 sertifikat SHGB/SHM yang telah diterbitkan di wilayah laut Tangerang.
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid memastikan tengah meninjau pembatalan 266 SHGB/SHM yang berada di luar garis pantai utara Tangerang, namun tidak untuk SHGB/SHM yang ada di dalam garis pantai atau berupa tanah/pasir pantai.
"Kan tadi saya sudah sampaikan kalau sertifikat itu berada di luar garis pantai pasti akan kita tinjau ulang dan kita proses pembatalan. Tapi kalau dia berada di dalam garis pantai sebelah sini kan berarti itu tidak pantai. Jadi kita acuannya garis pantai," terang Nusron di Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Rabu (22/1).
Meski begitu, Nusron belum dapat membeberkan secara detail luasan area dalam SHGB dan SHM baik yang berada di dalam garis pantai atau luar pantai, dari 266 SHGB dan SHM yang telah diterbitkan pada rentang tahun 2022/2023.
"Nah ini kan belum selesai semua. 266 kita baru kerja dua hari. Melototin satu-satu, nyocokin peta itukan butuh waktu. Tapi ada beberapa dari 266 itu yang memang terbukti berada di luar garis pantai dan itu akan kita tinjau ulang," terang dia.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan, dengan luas pagar laut sepanjang 30 kilometer, maka tanah timbul akibat praktik pemagaran laut diproyeksikan bisa mencapai 30 ribu hektare.
Sebelumnya, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai peraturan pemerintah nomor 18 tahun 2021 yang dikeluarkan era Presiden Joko Widodo menjadi celah yang dimanfatkan para mafia pertanahan dalam menerbitkan sertifikat di wilayah perairan termasuk di wilayah pesisir utara Tangerang.
"Bahwa kejadian pagar laut ini memanfaatkan PP 18 tahun 2021 yang ditandatangani Pak Jokowi. Bahwa memungkinkan tanah-tanah hilang, dimunculkan kembali haknya. Kelihatanya mereka memanfaatkan itu. Dan ini betul-betul ini adalah bisnis besar," ungkap Said Didu di Pos Pemantau Angkatan Laut di Tanjung Pasir.
Diterangkan Said, berdasarkan papan iklan yang dipasang pengembang perumahan di sekitar kawasan pesisir utara Tangerang, bahwa lahan di dekat pesisir dijual pengembang ke publik sekitar Rp60 juta per meter.
"Kalau anda lihat papan nama yang sangat besar, tanah pinggir laut dijual Rp60 juta per meter. Artinya kalau 1 hektare lahan ada Rp600 miliar dan saya dapat informasi sebenarnya sudah ada plot itu sekitar ini (pantai Tangerang) ada di Kohod sekitar 1.500 hektare target mereka, artinya 1500 hektare itu adalah Rp900 triliun," ucap dia.
Dengan asumsi tersebut, beber Said, maka pihak-pihak berkepentingan tega melakukan banyak hal untuk memuluskan rencana pembangunan kawasan pesisir Tangerang tersebut.
"Jadi bukan bisnis kecil, jadi inilah yang menyebabkan bisa melakukan apapun termasuk membayar preman. Menyogok kiri kanan, karena bisnis besar dan saya berharap Prabowo membongkar semua ini. Artinya hampir beberapa tahun di wilayah ini tidak ada negara dan angkatan laut membuka bahwa negara hadir di wilayah ini," tegasnya.
Namun begitu, Kementerian ATR/BPN pada era Sofyan Djalil, lanjut Said Didu, telah mengeluarkan petunjuk teknis (Juknis) bahwa aturan penerbitan sertifikat di wilayah perairan hanya bisa diberikan kepada nelayan dan masyarakat setempat.
"Dia lupa bahwa di PP itu Pak Sofyan Djalil menerbitkan Juknis PP bahwa yang boleh diberikan itu hanya rakyat yang ada di kampung tersebut, kedua tidak boleh menjadi hak milik, ketiga tidak boleh dialihkan hak itu," ucapnya.
Jika mengacu pada kalkulasi perhitungan yang dipaparkan Said Didu dengan estimasi tanah yang dijual PIK2 senilai Rp60 juta per meter dengan perkiraan luas area tersertifikasi 30 ribu hektare seperti yang disampaikan menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, maka potensi nilai ekonomi dari pengembangan kawasan pesisir laut Tangerang bernilai Rp18.000 triliun.