Lawan Bayang-Bayang Hitam Pelecehan Seksual di Kampus!
Fakta yang paling mengejutkan yaitu, pelecehan seksual ini sering terjadi di perguruan tinggi dan dilakukan oleh para insan kampus, dosen ataupun pejabat.

Perguruan tinggi sebagai mercusuar pengetahuan dan moral, kini dihadapkan pada masalah serius pelecehan seksual. Institusi yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa, justru dimanfaatkan 'predator' seksual melancarkan aksi bejatnya.
Kasus pelecehan terbaru yang mengejutkan dunia pendidikan tinggi terjadi di kampus biru, UGM. Nasib malang dialami seorang mahasiswi farmasi UGM. Identitas korban dirahasiakan. Korban melaporkan aksi pelecehan Guru Besar Farmasi Profesor Edy Meiyanto ke Satgas PPKS UGM.
Kejadian yang menyisakan trauma di benak korban itu terjadi berulangkali. Terhitung sejak 2023 hingga 2024. Korban selama ini memilih diam. Seperti banyak korban pelecehan seksual lain.
Mahasiswi semester akhir itu tak pernah membayangkan bakal menjadi korban pelecehan Edy. Niatnya hanya bisa menyelesaikan tugas akhir skripsi dan lulus. Edy melancarkan sejumlah akal bulus demi melecehkan Mawar di rumah pribadinya.
Modus Edy beragam. Mulai dari diskusi, bimbingan skripsi, menganalisis dokumen akademik hingga persiapan lomba. Padahal, UGM sudah membuat aturan kegiatan perkuliahan wajib di lingkungan kampus.
Setahun menahan beban psikologi dan trauma, Korban tidak tahan dengan aksi tak senonoh Edy. Korban melapor ke pimpinan fakultas yang diteruskan ke Satgas PPKS UGM.
Hasil investigasi Satgas PPKS UGM, Korban pelecehan Edy ternyata bukan hanya mahasiswi tersebut. Jumlahnya belum pasti, diduga belasan korban. Sejauh ini, UGM telah memeriksa 13 orang saksi.
Setelah serangkaian pemeriksaan, UGM memutuskan Edy dibebastugaskan dari kegiatan perkuliahan dan terancam sanksi pemecatan. Edy juga dicopot sebagai Kepala Lab Biokimia Pascasarjana dan Ketua Cancer Chemoprevention Research Center Fakultas Farmasi.
"Sudah sejak pelaporan dari fakultas itu (yang bersangkutan) sudah dibebastugaskan. Jadi pertengahan 2024 sudah dibebastugaskan sejak laporan dilakukan oleh pimpinan fakultas ke Satgas (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau PPKS)," kata Sekretaris UGM Andi Sandi kepada wartawan, Jumat (4/4).

Peristiwa ini kembali menyoroti maraknya tindakan asusila di lingkungan pendidikan. Kasus ini menambah deretan kasus serupa yang melibatkan kalangan akademisi di lingkungan pendidikan tinggi.
Pelecehan seksual dapat berupa pelecehan verbal maupun fisik. Pelaku pelecehan seksual tak mengenal usia dan latar belakang seseorang.
Bahkan, kasus pelecehan di UGM itu dilakukan oleh pengajar sekaliber profesor. Sementara, kebanyakan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yaitu perempuan.
Mahasiswa jadi Korban Pelecehan Terbanyak
Mengutip Laporan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, Komnas Perempuan mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat hampir 10% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 401.975 kasus. Dari jumlah tersebut, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBG) mencapai 330.097 kasus, naik 14,17% dari 289.111 kasus pada tahun sebelumnya.
Berdasarkan bentuk kekerasan, kasus yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%) dan kekerasan ekonomi (9,84%). Pada tahun ini terjadi pergeseran data dibandingkan tahun 2023 di mana data kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan psikis.
Khususnya pada data mitra CATAHU, kekerasan seksual menunjukkan angka tertinggi 17.305, kekerasan fisik 12.626, kekerasan psikis 11.475, dan kekerasan ekonomi 4.565.
Data yang dihimpun Komnas Perempuan, jenis pekerjaan atau status korban yang paling banyak adalah pelajar/mahasiswa, IRT, pegawai swasta, tidak bekerja dan lainnya. Pola ini juga hampir sama terjadi pada pelaku/terlapor. Pekerjaan pelaku/terlapor paling banyak adalah pegawai swasta, pelajar/mahasiswa dan tidak bekerja.
Rinciannya, korban berstatus pelajar/mahasiswa 14.094, dilanjutkan IRT 5.836 dan tidak bekerja 4.693, sedangkan pelaku paling banyak adalah karyawan swasta 4.330, buruh 4.144 dan pelajar/mahasiswa 3.105. Selain itu, data yang tidak teridentifikasi (NA) tidak dipungkiri jumlahnya juga sangat banyak
Jika dilihat data pelaku lebih rinci, orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), guru, dosen, Aparat Penegak Hukum (APH), pemerintah, polisi, TNI, tenaga medis, pejabat publik dan tokoh agama yang berjumlah 244 orang, atau 7,09% dari total pelaku yang diketahui profesinya.

Kampus jadi 'Sarang' Pelaku Pelecehan
Fakta yang paling mengejutkan yaitu, pelecehan seksual ini terjadi di perguruan tinggi dan dilakukan oleh para insan kampus, dosen ataupun pejabat.
Banyak masyarakat beranggapan perguruan tinggi akan terbebas dari terjadinya tindak kekerasan seksual. Namun kenyataannya, malah dimanfaatkan oleh predator seksual untuk melampiaskan hasrat seksualnya kepada mahasiswi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat kekerasan seksual sering terjadi di kalangan mahasiswa. Berdasarkan data Kemen PPPA per April 2024, terdapat 2.681 kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi
Pelecehan ini mencakup berbagai bentuk, mulai dari pelecehan verbal, nonfisik, hingga fisik, termasuk kasus yang melibatkan teknologi informasi seperti pelecehan daring.
Dari jumlah tersebut, 62% pelaku adalah mahasiswa, 28% dosen, dan sisanya pejabat kampus atau staf. Korban mayoritas adalah mahasiswi (87%), dengan rentang usia 18–22 tahun.
Tren Pelecehan Seksual di Kampus
Angka pelecehan seksual yang tercatat di perguruan tinggi Indonesia menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Tren kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan pola kenaikan yang konsisten, meskipun ada fluktuasi akibat faktor eksternal seperti pandemi:
Merdeka.com merangkum data dari KemenPPPA, Kemendikti Saintek dan Komnas Perempuan untuk menggambarkan tren pelecehan seksual di kampus. Berdasarkan data yang dihimpun, pada tahun 2019 tercatat 1.298 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Angka ini mengalami penurunan sedikit pada tahun 2020, yakni menjadi 1.241 kasus, yang kemungkinan dipengaruhi oleh pembatasan aktivitas kampus akibat pandemi Covid-19.
Namun, setelah pandemi mereda, jumlah kasus kembali meningkat dengan tajam. Pada tahun 2021, jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 1.628 kasus, melonjak sekitar 30% dibandingkan tahun sebelumnya.
Peningkatan ini sejalan dengan kembalinya aktivitas kampus secara penuh, serta semakin terbukanya saluran pelaporan bagi korban kekerasan seksual.
Tren kenaikan yang serupa berlanjut pada tahun 2022, dengan angka kasus kekerasan seksual mencapai 2.094, yang menunjukkan kenaikan lebih dari 28% dibandingkan tahun sebelumnya.
Di tahun 2023, angka ini terus merangkak naik menjadi 2.244 kasus. Jumlah ini menandakan meskipun ada upaya peningkatan kesadaran dan sistem pelaporan, angka kekerasan seksual di perguruan tinggi masih tergolong tinggi dan memprihatinkan. Sampai dengan November 2024, tercatat sekitar 1.919 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Fenomena Gunung Es
Sosiolog Universitas Indonesia Irene Sondang Fitrinitia mengibaratkan pelecehan seksual di kampus-kampus Indonesia sebagai fenomena gunung es. Yang terlihat di permukaan hanya sebagian kasus, padahal yang tidak terungkap sangat banyak.
"Sebenarnya pelecehan yang terjadi di kampus itu sebenarnya terjadi seperti iceberg," kata Irene saat dihubungi merdeka.com, Senin (14/4).
Untuk mengikis kasus pelecehan di kampus, Irene mendorong peran lebih aktif dari Satgas PPKS di tiap perguruan tinggi. Satgas tersebut dibentuk untuk menjalankan amanat Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
"Satgas PPKS ini bisa menjalankan keduanya kontrol sosial secara formal maupun informal," papar Irene.
Menurut Irene, Satgas PPKS bisa menjalankan peran kontrol social melalui pendekatan formal dan informal. Pendekatan formal bisa dilakukan dengan sanksi moral pidana, sementara informal dengan mengatur kegiatan kampus untuk mencegah terjadinya pelecehan.
"Saya contohkan bimbingan berarti yang bisa dilakukan mahasiswa adalah bagaimana bisa bimbingan di dalam kampus, artinya dalam suasana kampus kalau misal diajak 'oh ya kita di luar kampus cafe dan lain-lain sebagai macamnya' itu sebenarnya enggak bisa," tegas dia.
Selain itu, merujuk data Catahu 2023, ada tiga masalah besar dari perguruan tinggi di Indonesia di antaranya kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi.
Dari 760 Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang sudah dibentuk pada perguruan tinggi, sebanyak 160 Satgas (21%) yang terdiri dari 93 PTN dan 67 PTS telah melaporkan penanganan kasus kekerasan seksual pada Inspektorat Jenderal.
Berdasarkan ketiga masalah tersebut, maka angka kasus tertinggi diraih oleh kekerasan seksual, yang mencapai 78% dari total kejadian di 2021 hingga 2024. Kasus perundungan ada di urutan kedua dengan 18%, terakhir diisi oleh kasus intoleransi dengan 4%.

Banyak Korban Diam dan Kampus Merahasiakan
Bila dilihat dari tren pelecehan dari tahun ke tahun di kampus, ada perubahan positif yakni kesadaran korban untuk melapor, didukung oleh keberadaan Satgas PPKS dan regulasi seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) 2022.
Namun, tantangan besar tetap ada: banyak kampus masih menutup-nutupi kasus demi menjaga reputasi, dan sanksi terhadap pelaku sering kali tidak memadai.
Survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) pada tahun 2020, sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, namun 63% kasus tidak dilaporkan.
Bahkan menurut Kemendikbud Ristek, data kekerasan yang ditampilkan baik dari media massa dan lembaga survei sudah masuk dalam kategori membahayakan.
Komnas Perempuan mencatat, 80 persen korban kekerasan seksual selama ini memilih diam. Dia menilai keberhasilan kampus sebagai Kawasan Bebas Kekerasan tidak hanya diukur dari jumlah kasus yang menurun tetapi kesadaran korban untuk melapor.
"Keberhasilan daripada program Kawasan Bebas dari Kekerasan di perguruan tinggi itu bukan diukur dari menurunnya kasus tapi diukur sejauh mana laporan atau aduan yang disampaikan kepada institusi itu diselesaikan dengan baik," kata Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah pada 24 Juli 2024.
Komnas Perempuan, kata Alimatul, telah memberikan penjelasan ke sejumlah pihak bahwa menurunnya kasus bukan indikasi keberhasilan. Indikasi keberhasilan saat ini adalah penyelesaian kasus.
"Mungkin untuk lima tahun ke depan (baru) bisa jadi ukurannya adalah menurunnya kasus," jelasnya.
Relasi Kuasa dan Budaya Patriarki yang Mengakar
Salah satu alasan pelecehan seksual menjamurnya pelecehan seksual di kampus karena adanya relasi kuasa. Ada hubungan kuasa tidak seimbang antara dosen dan mahasiswa. Apalagi, aktivitas-aktivitas yang mengandung penyimpangan seringkali tidak diketahui di kampus.
"Potensi besar untuk hal-hal yang menyimpang tidak diketahui karena ada relasi kuasa antara dosen dengan mahasiswa. Sehingga apa yang dilakukan oleh dosen kemungkinan besar itu dilakukan diaminkan oleh si mahasiswa," kata Irene.
Lebih lanjut, Dosen SKSG UI ini menilai banyak korban pelecahan cenderung memilih diam lantaran dampak budaya patriarki dan feodalisme yang masih tinggi dan mengakar di masyarakat. Budaya ini yang membuat hubungan tidak setara antara dosen dan mahasiswa.
Irene mencontohkan, mahasiswa biasanya diam bila mendapat atau mengalami dugaan pelecehan verbal karena khawatir dosen akan memberikan nilai rendah.
"Kadang verbal abuse itu dari dosen kadang-kadang nggak sengaja tiba-tiba ngomongin yang genit-genit itu kan sebenarnya nggak nyaman cuman mahasiswa tidak kritis terhadap hal itu karena dia punya ketergantungan terhadap dosen kalau mau memperlihatkan atau mengingatkan si dosen ini itu akan backfire buat dia jadi nilai gue jelek," ungkap dia.
Oleh sebab itu, Irene mendorong beberapa solusi demi mengikis meminimalisir pelecehan seksual di kampus. Institusi universitas hingga fakultas harus memaksimalkan peran konseling dan komunitas mahasiswa agar tumbuh keberanian bagi korban melaporkan pelecehan yang dialami.
"Ada kelompok-kelompok misal konseling itu sudah banyak di fakultas-fakultas biasanya mereka punya komunitas-komunitas mahasiswa. Itu yang tadi saya bilang hidup berkolektif itu," ujar Irene.
Lawan Pelecehan dengan Sanksi Tegas
Masalah pelecehan di perguruan tinggi tidak bisa dianggap persoalan sepele. Bila tidak ditindak tegas, kasus-kasus pelecehan akan makin marak dan pelaku yang acapkali punya kuasa bebas dari hukuman.
Irene menegaskan, melawan pelecehan seksual di kampus perlu sanksi tegas moral pidana. Sanksi moral ini sebagai bagian dari hukuman sosial misalkan aksi pelecehan dosen atau mahasiswa tertentu diumumkan kepada seluruh lingkungan kampus seperti di kampus-kampus Jepang.
Selain sanksi moral, lanjut Irene, harus diteruskan ke sanksi pidana untuk memberikan efek jera bagi para pelaku pelecehan seksual di kampus.
"Jadi sanksi moral itu diikuti sanksi pidana tadi. Jadi memang kita mau menumbuhkan budaya malu itu harus ada efek jaraknya," tutup Irene.