KPK Periksa Dua Mantan Stafsus Kemenaker Terkait Pemerasan Agen TKA
Kedua mantan stafsus itu dicecar penyidik KPK mengenai keterlibatan dalam dugaan pemerasan terhadap para agen TKA.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mendalami dugaan kasus korupsi berupa pemerasan terhadap agen Tenaga Kerja Asing (TKA) dalam proses pengajuan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) periode 2019–2024.
Pemeriksaan kali ini menyasar dua mantan Staf Khusus (Stafsus) Kemenaker, yakni Caswiyono Rusydie Cakrawangsa dan Risharyudi Triwibowo.
"Selasa (10/6), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi TPK terkait pengurusan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker)," kata Plt Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Selasa (10/6).
Kedua mantan stafsus itu dicecar penyidik KPK mengenai keterlibatan dalam dugaan pemerasan terhadap para agen TKA. Mereka juga dimintai keterangan soal aliran dana hasil pemerasan.
"Saksi didalami terkait tugas dan fungsinya, pengetahuan mereka terkait dengan pemerasan terhadap TKA, dan pengetahuan mereka atas aliran dana dari hasil pemerasan," jelas Budi.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dengan total nilai korupsi mencapai Rp53,7 miliar.
Berdasarkan temuan terbaru, penyidik KPK mengungkapkan, sejumlah pegawai di Direktorat Bina Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemenaker juga turut menikmati dana hasil korupsi. Dana itu disebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari hingga makan siang.
"Kurang lebih Rp8 miliar yang dinikmati bersama, baik untuk keperluan makan siang, maupun kegiatan-kegiatan yang istilahnya di luar non-budgeter," ungkap Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo, Jumat (6/6).
Tak hanya pegawai, uang tersebut juga mengalir ke office boy (OB) dan staf lain yang bekerja di lingkungan Binapenta. Jumlah yang diterima mereka disebut mencapai sekitar Rp5 miliar.
"OB serta staf lainnya yang mengurus terkait dengan pekerjaan sehari-hari di Binapenta juga menerima semua, dan mereka telah mengembalikan kurang lebih Rp5 miliar," beber Budi.