AKBP Bintoro Diduga Terima Uang Ratusan Juta Saat Tangani Kasus Dugaan Pembunuhan Anak Bos Prodia
Informasi itu diungkap dalam Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar di Polda Metro Jaya pada Jumat (7/2/2025) kemarin.

Mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Bintoro, diduga menerima uang ratusan juta rupiah saat menangani kasus dugaan pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan Anak Bos Prodia, Arif Nugroho.
Fakta tersebut terungkap dalam Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar di Polda Metro Jaya pada Jumat (7/2/2025) kemarin. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Mohammad Choirul Anam, turut memantau jalannya sidang etik tersebut.
Anam mengungkapkan bahwa AKBP Bintoro menerima uang lebih dari Rp 100 juta. Jumlah ini, menurutnya, lebih kecil dibanding angka yang sempat beredar di publik.
"Pemberian uang kepada anggota polisi sangat kecil, tidak sebesar yang beredar di publik. Angkanya bukan Rp 2 miliar atau Rp 5 miliar, tetapi lebih dari Rp 100 juta," kata Anam kepada wartawan, Sabtu (8/2/2025).
Dia menambahkan nominal uang yang diterima Bintoro perlu divalidasi lebih lanjut. Sayangnya saat itu pihak yang memberikan uang tidak hadir dalam sidang. Namun, angka yang muncul memang Rp 100 juta.
"Apakah itu angka yang benar atau tidak, masih bisa diklarifikasi kembali. Sayangnya, pihak pemberi tidak hadir dalam sidang etik. Kalau hadir, tentu bisa dikonfirmasi lebih lanjut," ujar Anam.
Dalam persidangan terungkap pemberian uang kepada AKBP Bintoro, juga terduga pelanggar lain dilakukan dalam berbagai bentuk, tidak hanya melalui transfer bank.
"Jika diurai, uang itu ada yang transfer, ada yang langsung atau cash dan ada yang berupa barang.
Walaupun, kata Anam mereka saat itu sempat membuat alibi terkait peruntukkan uang tersebut. Namun, majelis hakim etik tetap menyatakan perbuatannya mereka melanggar kode etik.
"Orang boleh beralibi, tetapi alibi itu diuji oleh majelis sidang etik. Setelah diuji, akhirnya diambil kesimpulan. Makanya, ada yang dikenai sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), ada juga yang mendapat sanksi demosi selama delapan tahun," jelasnya.
Lebih lanjut, Anam mendorong kasus ini sebaiknya tidak hanya berhenti pada sanksi etik, tetapi juga diproses secara pidana agar kasus ini dalam terungkap secara terang-benderang. Terlebih, kata dia pihak non-anggota kepolisian yang punya peran vital dalam kasus ini.
"Proses pidana penting, karena ini bukan hanya soal sanksi etik, tetapi juga untuk mengungkap struktur peristiwa secara jelas," ujar dia.
"Kalau model pemidanaan pasti akan mudah dikroscek struktur peristiwa dan validitas angka. Kami harap pidana segera di proses agar terang peristiwa dan keadilan bagi siapapun terhadap kasus ini segera terwujud," kata dia.