Mengetahui Tradisi Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya NTT, Kini Jadi Sorotan
Tradisi kawin tangkap ialah perkawinan yang dilakukan dengan cara menangkap perempuan dengan paksa untuk dikawinkan dengan pria yang tidak dicintainya.
Tradisi kawin tangkap ialah perkawinan yang dilakukan dengan cara menangkap perempuan dengan paksa untuk dikawinkan dengan pria yang tidak dicintainya.
Pulau Sumba, termasuk masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki tradisi kawin tangkap (paneta mawinne).
Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Mareda Kalada, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
(Foto : istockphoto.com)
Mengutip dari jurnal Kawin Tangkap (Studi Sosiologi tentang Makna dan Praktik Kawin Tangkap di Desa Mareda Kalada, Kec. Wewewa Timur, Kab. Sumba Barat Daya) yang dirilis oleh Elsiati Tanggu, dkk.
Tradisi kawin tangkap merupakan perkawinan yang dilakukan dengan cara menangkap perempuan dengan paksa untuk dikawinkan dengan seorang pria yang tidak dicintainya.
Tradisi kawin tangkap memiliki makna dalam mengangkat derajat atau untuk menghilangkan rasa malu kepada keluarga laki-laki.
Di Sumba sendiri, masyarakatnya masih memiliki budaya patriarki yang sangat tinggi sehingga sistem budaya atau adatnya didominasi oleh laki-laki.
Pada masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya, perkawinan sendiri merupakan suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang untuk penerusnya.
Bagi masyarakat Sumba, makna perkawinan adalah sebuah proses untuk menyatukan perempuan dan laki-laki yang saling mencintai melalui proses adat yang berlaku.
(Foto : istockphoto.com)
Pelaksanaan kawin tangkap merupakan perkawinan yang terjadi tanpa persetujuan salah satu pihak.
Tradisi ini terjadi bukan atas dasar cinta, tetapi karena kesepakatan antara orang tua laki-laki dan perempuan, tanpa sepengetahuan perempuan.
(Foto : istockphoto.com)
Motivasi yang melatarbelakangi tradisi ini pun beragam, seperti masalah ekonomi terlilit hutang, atau karena alasan kekerabatan. Masyarakat mengganggap, agar hubungan kekerabatan yang sudah terjalin tidak putus, diperlukan adanya perkawinan antara dua kebisu (suku).
(Foto : istockphoto.com)
Dalam praktiknya sendiri, terdapat dua jenis kawin tangkap, yaitu :
- Kawin Tangkap (Tadoro)
Jenis perkawinan ini dilakukan untuk mempermudah pembelisan atau mahar.
Praktik ini sendiri sudah memiliki persetujuan dari kedua belah pihak keluarga dan calon yang bersangkutan.
- Kawin Tangkap (Padeta)
Jenis kawin tangkap ini dilakukan secara paksa dan korbannya adalah perempuan.
Perempuan tersebut akan dikawin tangkapkan ketika apa yang sudah menjadi kesepakatan diingkari oleh perempuan.
Terdapat perbedaan antara penerapan tradisi kawin tangkap di zaman dulu dengan saat ini.
Pada zaman dahulu, jika terdapat laki-laki yang suka kepada seorang perempuan, ia akan berusaha untuk menangkapnya secara paksa sekalipun perempuan tersebut sudah bersuami.
Namun saat ini, kawin tangkap dilakukan dengan berbagai macam persoalan, seperti adanya janji antara laki-laki dan perempuan, atau karena janji orang tua tetapi diingkari.
Oleh karena itu, terjadilah kawin tangkap dengan dalih untuk menghilangkan rasa malu.
Melansir dari Jurnal Adat Kawin Tangkap (Perkawinan Paksa) sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual karya Herman dkk.
Tradisi ini adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Ini termasuk kekerasan seksual, yang berarti korban mengalami kerugian hak-hak mereka, seperti hak-hak yang dijamin oleh Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar 1945, dan hukum-hukum lain yang melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak.
Pelaksanaan kawin tangkap yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan dari pihak perempuan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan.
Pasalnya, tujuan dari perkawinan seharusnya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng.
Pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan sebenarnya ada untuk melindungi agar tidak ada perkawinan yang terjadi secara paksa.
Perkawinan seharusnya menjadi hak asasi manusia yang harus diputuskan secara bebas oleh individu tanpa tekanan dari siapa pun.
Tradisi Kepungan Tumpeng Tawon a dilakukan oleh masyarakat Desa Mangunweni Kebumen.
Baca SelengkapnyaMasyarakat di Desa Margopatut Nganjuk memiliki tradisi Ngalor Ngulon terkait dengan syarat seseorang yang akan menikah.
Baca SelengkapnyaDalam bahasa Jawa, mlumah berarti terlentang dan murep artinya tengkurap.
Baca SelengkapnyaTradisi dilakukan pada 14 Rabiul Awal di tempat-tempat keramat yang dianggap suci.
Baca SelengkapnyaTradisi Mantu Kucing dilakukan oleh masyarakat di Dusun Njati, Pacitan, Jawa Timur sejak 1960-an.
Baca SelengkapnyaTradisi ini dianggap sebagai simbol dimulainya kehidupan baru yaitu kehidupan rumah tangga.
Baca SelengkapnyaWanita di Sumba Barat Daya menjadi korban tradisi kawin tangkap.
Baca SelengkapnyaUpacara ini sebagai wujud dari ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap para leluhur yang dilaksanakan setiap tahun pada hari tertentu.
Baca SelengkapnyaMauludan merupakan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kemuja, Kabupaten Mendo Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Baca Selengkapnya