Mengunjungi Kampung Brem Madiun, Jajanan Khas Sejak Zaman Kolonial Belanda
Belum lama ini brem ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).
Belum lama ini brem ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).
Wanita lansia itu tak tahu kapan tepatnya ia lahir, jika ditaksir usianya kini lebih dari 90 tahun. Ia mengaku sudah mengalami hidup sengsara pada masa kolonial Belanda dan Jepang. Sejak kecil ia sudah akrab dengan jajanan Brem.
Pada masa kolonial, Brem termasuk jajanan mewah. Hanya sedikit orang yang mampu membelinya. Saat itu, makan nasi saja tidak menentu, apalagi membeli jajan yang tidak bisa bikin perut kenyang.
Sementara itu, Marsiyem sudah bisa membuat Brem sejak usianya masih belasan tahun. Ia belajar membuat Brem pada Mbah Lurah Dusun Bodang. Marsiyem tidak tahu dari mana Mbah Lurah mendapatkan ilmu membuat Brem dan mengapa pula dinamai Brem.
Marsiyem menjelaskan, penamaan Brem mungkin karena panganan ini bahan utamanya sari tape ketan yang harus diperam selama tujuh hari tujuh malam sebelum diproduksi. Nama Brem lantas muncul begitu saja.
Peram yang dilafal perem dalam bahasa Jawa secara fonetik tak jauh dari kata Brem. Marsiyem mengingat, Mbah Lurah Dusun Bodang juga menyebutnya seperti itu.
Dulu untuk kulakan bahan baku dan peralatan membuat Brem, harus menempuh perjalanan cukup jauh menuju pusat kota Madiun. Marsiyem menumpang sepur kluthuk (kereta zaman Belanda berbahan bakar kayu) yang menyemburkan asap hitam pekat saat melaju. Saat turun dari sepur, hidung setiap penumpang akan tersumpal langes (jelaga) hitam.
Dari Dusun Bodang, Brem kemudian menyebar ke dusun-dusun lain di wilayah Desa Kaliabu, sebagaimana dikutip dari dpmd.jatimprov.go.id. Masing-masing adalah Dusun Sumberjo, Lemah Ireng, Tempuran dan Kaliabu.
Dari lima dusun di Desa Kaliabu tersebut, hanya Dusun Tempuran yang hingga kini masih memiliki perajin Brem paling banyak. Dusun-dusun lain sudah lama beralih profesi. Mereka memilih bercocok tanam atau bermigrasi ke kota Madiun dan kota besar Jawa Timur lain untuk mencari penghidupan lebih baik.
Marsiyem adalah salah satu generasi pertama yang masih setia mendampingi produksi panganan bercita rasa semriwing dan manis ini.
Saat ini ada sekitar 47 perajin penganan Brem di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun ini. Tujuh belas di antaranya bergabung dalam kelompok perajin “Jaya Makmur”. Kelompok ini dikoordinir oleh Supiyati, anak Mbah Marsiyem. Tidak seperti pada zaman ibunya, Supiyati memodifikasi proses pembuatan Brem menjadi semi modern. (Foto: Wikipedia)
1. Pertama, ketan direndam lebih dahulu sekitar 30 menit.
2. Ketan dimasak hingga setengah matang. Baru setelah setengah matang didingingkan.
3. Jika sudah dingin, ketan dikukus selama 60 menit. Berikutnya diangkat, dan didinginkan kembali.
4. Setelah benar-benar dingin baru memasuki tahap peragian. Perbandingannya 24 kilogram ketan masak memmbutuhkan ragi 30 butir. Butir-butir ragi dihaluskan kemudian ditebar merata di atas ketan yang sudah masak tersebut.
5. Ketan yang sudah tercampur ragi ditempatkan di bak-bak khusus untuk diperam agar menjadi tape ketan. Waktu ideal yang dibutuhkan tujuh hari tujuh malam.
6. Tape ketan di-mixer lalu diuleni secara manual dengan tangan. Proses masih dipertahankan hingga kini. Saat dimixer perajin Brem kadang membubuhkan perasa atau esens, seperti cita rasa cokeat, melon, stroberi, dan lain-lain tergantung pemesanan. Agar mendapatkan rasa alami tape tidak perlu dibubuhi perasa macam-macam. Cukup ditiriskan untuk diambil sari-sarinya.
7. Tahap akhir sari tape berbentuk cairan direbus kembali sekitar 45 menit hingga mengental. Baru setelah itu diratakan dalam cetakan-cetakan Brem yang sudah disediakan. Biasanya cetakan melebar atau memanjang dengan ketebalan 0,5-1 cm. Setelah mengeras dipotong-potong sesuai pesanan dan kemasan.
Gedung ini awalnya jadi lokasi hiburan militer bagi kalangan warga Belanda
Baca SelengkapnyaStasiun Binjai, salah satu peninggalan zaman Belanda yang masih kokoh dan berfungsi dengan baik.
Baca SelengkapnyaPelajar SMP Madiun tak gentar melawan penjajah. Di tengah kesulitan yang dihadapi, mereka tetap berjuang
Baca SelengkapnyaSalah satu jejak peninggalan kolonial Belanda ada di Tapanuli Selatan berupa kolam renang.
Baca SelengkapnyaDKJ juga diminta pelibatan badan usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam pemajuan kebudayaan.
Baca SelengkapnyaAkibat kejadian itu korban mengalami luka di bagian kepala dan menjalani perawatan di RS Fatmawati.
Baca SelengkapnyaPerang Batak, perjuangan mempertahankan tanah leluhur dari pasukan Belanda.
Baca SelengkapnyaKebun teh ini telah berganti kepemilikan berkali-kali seiring zaman.
Baca SelengkapnyaRencana kunjungan itu disampaikan langsung oleh Ganjar usai berkunjung ke Pondok Pesantren Syaichona Cholil.
Baca Selengkapnya