Pro Kontra Keberadaan KPK: Dipertahankan atau Dibubarkan?
Lemahnya pengawasan terhadap internal lembaga, dan dugaan adanya intervensi politik dalam proses hukum.
Perdebatan mengenai apakah lembaga independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap dipertahankan atau dibubarkan masih berlangsung hingga saat ini, bahkan setelah pergantian pimpinan KPK yang resmi dilantik pada Kamis (5/12) hari ini.
Perdebatan ini muncul akibat kinerja KPK yang dinilai semakin buruk. Beberapa alasan utama antara lain lambatnya penanganan kasus-kasus korupsi besar, lemahnya pengawasan terhadap internal lembaga, dan dugaan adanya intervensi politik dalam proses hukum.
Selain itu, salah satu penyebab menurunnya kinerja KPK diduga terjadi sejak direvisinya UU KPK pada tahun 2019. Kondisi ini kemudian diperburuk oleh berbagai kasus kontroversial yang melibatkan pejabat KPK, seperti dugaan pelanggaran etik.
Akibatnya muncul desakan agar lembaga pemberantas korupsi ini perlu direformasi. Bahkan Akademisi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Fernando Silalahi menyarankan agar KPK dibubarkan jika dalam pelaksanaan tugasnya tidak optimal.
Hal tersebut disampaikan Fernando dalam Seminar Hukum Nasional di UKI bertemakan 'Pertahankan atau Bubarkan KPK' pada Kamis (5/12). Menurutnya, sebagai lembaga pemberantas korupsi KPK seharusnya mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Dia lantas membandingkan kinerja KPK dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dimana menurutnya kinerja Kejagung dalam penanganan kasus korupsi lebih baik dibanding KPK.
Pernyataan itu dilatarbelakangi oleh perbandingan pengembalian keuangan negara dari KPK dan Kejagung dalam menangani kasus korupsi.
Dia menyebut hingga Oktober 2024, KPK mampu mengembalikan kas negara dari para koruptor sebesar Rp637,9 miliar dimana angka tersebut melampaui target pemulihan keuangan negara atau aset recovery KPK tahun 2024 sebesar Rp400 miliar.
Selain itu, KPK juga memiliki aset rampasan hasil tindak pidana korupsi yang kini dalam proses lelang sebesar Rp1,2 triliun per Oktober 2024, serta berhasil menyelamatkan kerugian negara dari potensi tindak pidana korupsi selama tahun 2022 sebesar Rp57,9 triliun.
Meski begitu, kinerja KPK dinilainya masih kalah dibandingkan dengan Kejagung sebab selama periode 2014-2024 Kejagung berhasil menyelamatkan keuangan negara lewat jalur pidana khusus sebesar Rp100 triliun, USD26 juta, 489 ribu dolar Singapura, 4.000 euro, 52 ringgit Malaysia, 24 ribu Won Korea Selatan, 305 poundsterling, dan 56 peso Filipina.
Selain itu, Fernando menyebut Kejagung juga berhasil menyelamatkan kerugian negara lewat jalur perdata sebesar Rp506,7 triliun, USD12,30 juta, dan emas seberat 107,441 kilogram.
Dengan demikian totalnya keuangan negara yang berhasil dikembalikan oleh Kejagung mencapai Rp605,70 triliun dan emas seberat 107.441 kilogram.
"Kalau begitu, kenapa 1,6 triliun (anggaran KPK) tidak bikin untuk makanan bergizi saja? Terus dengan 1,6 triliun tidak ada pengembalian keuangan negara, sementara komisioner KPK harus digaji dengan gaji besar, pengawalan super ketat, apa yang harus dipertahankan?" kata Fernando dalam Seminar Hukum di UKI pada Kamis (5/12).
Dia juga menyinggung soal perbedaan KPK pada tahun 2002 dibandingkan dengan KPK usai perubahan UU KPK pada tahun 2019.
Mulai Kehilangan Taji
Menurutnya KPK mulai kehilangan independensinya usai perubahan UU KPK pada tahun 2019.
"Bayangkan sebelum direvisi UU KPK 2019, mereka berani menyeret politikus-politikus yang telah merugikan keuangan negara. Bandingkan dengan yang kemarin, seorang pensiunan jenderal, Firly Bahuri yang merusak nama KPK dan sekarang ditahan di Polda Metro Jaya," ujarnya.
Dia kemudian kembali bertanya apakah perlu dipertahankan kedudukan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Apakah KPK dengan anggaran Rp1,6 triliun tersebut kita bandingkan dengan anggaran kejaksaan Rp16 triliun, apakah KPK harus kita pertahankan dengan anggaran begitu besar? Saya berharap hasil dari seminar ini nantinya menjadi rekomendasi ke eksekutif dan legislatif untuk meninjau keberadaan KPK apakah harus dipertahankan atau dibubarkan," ujarnya.
Reporter Magang : Maria Hermina Kristin