Fakta Menarik Pemilu Singapura yang Bakal Digelar 3 Mei
Temukan fakta menarik tentang pemilu Singapura, dari sistem pemilihan hingga partisipasi pemilih yang wajib.

Pada 3 Mei 2025, masyarakat Singapura akan melaksanakan pemilihan umum. Perhelatan ini cukup menantang di tengah ketidakpastian ekonomi global, diperburuk dengan perang dagang AmerikaSerikat-China.
Kendati demikian, pemilu Singapura selalu menarik perhatian, baik bagi warga negara maupun pengamat politik internasional.
Dengan sistem pemerintahan yang unik, Singapura memiliki banyak fakta menarik yang mencerminkan dinamika politiknya.
Dilansir BBC, sistem pemilihan di Singapura menggunakan sistem parlementer satu kamar yang terdiri dari 93 kursi.
Partai Aksi Rakyat (PAP) telah menjadi penguasa dominan sejak negara ini meraih kemerdekaan pada tahun 1959. Pemilihan presiden diadakan setiap enam tahun, sementara pemilihan parlemen berlangsung setiap lima tahun.
Salah satu momen unik dalam sejarah pemilu Singapura terjadi pada tahun 2017, ketika pemilihan presiden berlangsung tanpa pemilu. Hal ini disebabkan hanya ada satu kandidat yang memenuhi syarat, yaitu Halimah Yacob, akibat amandemen konstitusi yang memperkenalkan pergiliran ras dalam pemilihan presiden.
Pemilu di Singapura memiliki persyaratan yang sangat ketat bagi calon anggota legislatif (caleg). Syarat ini mencakup kewajiban untuk bebas dari catatan kriminal dan narkoba.
Meskipun jabatan presiden di Singapura sebagian besar bersifat seremonial, presiden memiliki kekuasaan penting dalam mengawasi cadangan keuangan negara dan memveto beberapa tindakan tertentu.
Pemilihan presiden 2023 menjadi sorotan karena merupakan yang pertama dalam lebih dari satu dekade, serta terjadi setelah sejumlah skandal politik yang mengguncang kepercayaan publik.
Sistem Pemilihan dan Partisipasi Pemilih
Partisipasi pemilih dalam pemilu Singapura bersifat wajib. Setiap warga negara yang memenuhi syarat diharuskan untuk memberikan suara, dan ketidakhadiran tanpa alasan yang sah dapat dikenakan denda bahkan tuntutan pengadilan. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah Singapura dalam memastikan partisipasi aktif dari warganya dalam proses demokrasi.
Isu-isu yang sering muncul dalam kampanye pemilu di Singapura mencakup biaya hidup yang tinggi, biaya pendidikan, pensiun, subsidi pemerintah, dan kesehatan warga lanjut usia. Isu-isu tersebut menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan sering kali menjadi fokus dalam debat dan diskusi di antara para kandidat. Dengan demikian, calon pemimpin diharapkan dapat memberikan solusi yang efektif untuk mengatasi tantangan-tantangan ini.
Pengaturan dan Perbedaan dengan Indonesia
Penggunaan alat peraga kampanye di Singapura diatur dengan ketat. Terdapat pembatasan ukuran alat peraga dan kewajiban untuk membayar pajak atas alat peraga tersebut. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan kampanye yang adil dan teratur. Berbeda dengan Indonesia, Singapura tidak memiliki DPR tingkat provinsi dan kabupaten, serta menetapkan batas usia pemilih minimal 21 tahun, sementara di Indonesia batas usia tersebut adalah 17 tahun.
Meskipun terdapat partai-partai oposisi, Partai Aksi Rakyat (PAP) secara konsisten meraih mayoritas kursi parlemen dalam setiap pemilu. Namun, pada tahun 2011, PAP mengalami penurunan jumlah kursi untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, yang menandakan adanya perubahan dalam preferensi pemilih. Perkembangan media sosial juga turut berperan dalam meningkatkan keterbukaan dalam pertarungan kebijakan antara partai pemerintah, oposisi, dan masyarakat.