Pengakuan Lengkap Nelayan Tangerang Jawab Banyak Teka-Teki Kasus Pagar Laut
Di awal kasus ini muncul, nelayan bercerita pemagaran laut dilakukan masyarakat setempat. Mereka mendapat perintah dan dibayar pemilik modal.

Polemik kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang semakin meluas. Bambu yang terpancang sepanjang 30 kilometer itu akan dibongkar, setelah pemerintah mengungkap sertifikat di area itu ilegal.
Di awal kasus ini muncul, nelayan bercerita pemagaran laut yang mengelilingi 16 Desa di 6 wilayah Kecamatan, dilakukan oleh masyarakat setempat. Mereka mendapat perintah dan dibayar pemilik modal selama proses pemagaran.
"Benar yang masang itu masyarakat sini juga, tapi ada yang merintah, ada yang nyuruh dan mohon maaf mereka dibayar," ungkap RD (44), nelayan Pantura Tangerang ditemui merdeka.com.
RD bertutur, pemagaran laut telah dilakukan antara bulan Juni atau Juli 2024. Dimulai dari wilayah perairan di Desa Kohod, Tanjung Burung, Kecamatan Pakuhaji hingga meluas ke wilayah Kecamatan lain seperti Sukadiri, Mauk, Teluknaga dan Kronjo.
RD mengaku untuk kawasan pesisir dekat tempat tinggal RD di Desa Karang Serang saja, pemagaran telah mencapai pantai Sangrila yang kerap dijadikan tempat wisata pantai oleh warga lokal dan sekitar Jabodetabek.
"Dari Rawasaban sampai Karang Serang sudah dipagari semua, rumah makan-rumah makan pinggir pantai di Karang Serang sudah dipatok-patokin. Mereka cuma pagar itu, tidak ada pembayaran ganti untung atau lainya ke pemilik usaha warung makan," terang dia.
Berapa Upah Harian Pekerja Pasang Pagar Laut?
RD menegaskan pemagaran yang memakan waktu hingga 6 bulan itu memang benar-benar dilakukan oleh masyarakat setempat. Mereka dibayar harian hingga pekerjaan selesai.
"Memang warga sini, bukan dari mana-mana pekerja yang melakukan pemagaran. Bayarannya kalau engga salah antara Rp100.000 sampai 110.000 per hari. Kalau diklaim itu swadaya oleh nelayan setempat engga mungkin, duit dari mana buat belanja bambu cerucuk, jaring sebanyak itu. Belum ongkos ngunjalinnya (angkutan) kalau sampai 30 kilometer, duit siapa. Kita nelayan cari ikan susah, ini buang-buang uang belanja bambu, bohong. Kita engga salahin yang kerja, kan pengembang yang bayar," ungkap dia.
Dia juga memastikan bahwa aparat pemerintah (desa) juga mengetahui adanya pemagaran laut di wilayah mereka masing-masing. Hanya saja, para aparatur desa seperti sudah berpihak ke pemilik modal.
"Mohon maaf ngomong orang-orang di desa seperti memihak. Masyarakat engga bisa berkutik juga istilahnya lurah-lurah berkecimpung. Ibaratnya menghalang-halangi (protes warga). Memang makin ramai dan masyarakat juga semakin tahu prosedur pengembang," terang dia.
Meski begitu RD dan masyarakat nelayan lain tidak mengetahui persis maksud dan tujuan pemilik modal memagari area pesisir utara Tangerang. Dia mengira pagar bambu cerucuk itu hanya dijadikan sebagai patok penguasaan lahan saja.
"Memang pagarnya tidak dibuat rapat, sehingga nelayan masih bisa melintas. Kayanya buat patok, ciri untuk mereka saja. Pekerjanya dia-dia juga. Ipar dari istri saya juga ikut kerja, istilahnya lumayan juga dia kerja mager. Yang punya motor perahu juga disewain buat bawa material dan pekerjanya memagar," tandas dia.
Mengapa Warga Tidak Bisa Berbuat Banyak?
Sementara itu, masyarakat pesisir Kronjo menolak dilibatkan dalam pemagaran laut di pesisir pantai Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo. Meski begitu, masyarakat mengaku tidak bisa berbuat banyak atas adanya pemagaran yang disebut-sebut sebagai proyek negara itu.
"Warga enggak pernah melarang (pemagaran) karena ada dalih itu PSN (Proyek Strategis Nasional). Kan takut semua (masyarakat), Ini punya PSN punya negara," kata Heru, warga Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo.
Pemagaran laut yang dilakukan para nelayan juga ditawarkan pihak pemberi kerja ke masyarakat sekitar Pulau Cangkir, Kronjo. Namun tawaran kerja memagari garis pantai Pulau Cangkir ditolak mentah-mentah warga setempat.
"Warga sudah tahu dan diinformasikan lewat RT setempat. Bahkan menawarkan siapa yang mau bekerja, warga Pulau Cangkir juga ditawarkan. Tapi warga Pulau Cangkir enggak ada yang mau. Dijelaskan katanya buat proyek, baru katanya-katanya. Ada yang bilang buat pengurugan, ada yang bilang buat jembatan layang. Kayaknya beda-beda. Karena di situ ada skat-skat pagar yang memang polanya seperti tambak," kata Heru.
Apa Alasan Warga yang Tolak Pagar Laut?
Heru mengungkapkan, penolakan kerja memagari garis pesisir pantai sepanjang dua kilometer di Pulau Cangkir itu didasari atas kekhawatiran masyarakat akan hilangnya situs sejarah keberadaan makam ulama besar Banten.
"Warga Pulau Cangkir jelas menolak (pagar), ada situs sejarah syaikh Waliyullah, Waliyudin. Kalau dipagar tentu warga menolak, khususnya warga Pulau Cangkir itu sebenernya secara tidak langsung menolak pengurugan atau pemagaran pantai," ujar Heru.
Sepengetahuan Heru, pagar sepanjang dua kilometer yang berdiri di garis pantai Pulau Cangkir dipasang oleh nelayan lokal tetangga kecamatan dari Kronjo.
"Kalau yang memasang nelayan, dari Mauk, Ketapang. Dari pagi sampai sore. Dia kerja naik pakai perahu nelayan, stok bambu banyak satu mobil itu antara 400-500 batang sekali datang tiga kapal kurang lebih 10 orang pekerja, mungkin sekitar 3.000 batang sekali turun," ujar dia.
Kapan Waktu Pemagaran?
Heru mengungkapkan bahwa pemagaran di garis pantai Pulau Cangkir telah dilakukan sejak 3 bulan lalu. Sekali datang 5 sampai 6 truk-truk berukuran sedang membawa material bambu untuk selanjutnya dibawa ke titik lokasi pemagaran.
"Pagar bambu yang di Pulau Cangkir sudah lama ditanam, di tancep kurang lebih 3 bulanan. Ribuan batang bambu datang konvoi 5/6 mobil. Kedalaman penancapan bambu 6 meter, dipasang paranet, karung isi pasir lebar 1,5 meter dan di membentang di Kronjo 2 KM," ujarnya.
Bagi masyarakat nelayan menancapkan bambu di tengah laut dangkal tidaklah sulit, pekerja juga tidak memerlukan peralatan khusus untuk menancapkan bambu-bambu tersebut tersusun menjadi pagar.
"Kalau warga nelayan sudah biasa untuk nancepin bambu. Setahu saya di sini ada kerja harian dan borongan. Harian itu sekitar Rp100-125 ribu, tapi enggak tahu berapa jam," jelasnya.
Bagaimana Respons Warga Terkait Rencana Pembongkaran?
Warga nelayan di Teluknaga bersyukur pagar-pagar bambu yang menghalangi akses perahu mereka akan kembali dibongkar, Rabu (22/1).
"Besok bongkar lagi sama TNI AL, alhamdulillah kami senang wilayah kami mencari rejeki tidak dipagari," ungkap AL (27) warga Kampung Tanjung Pasir, Desa Tanjung Pasir, Selasa (21/1).
Pemuda nelayan pancing ini menerangkan pemagaran laut pesisir utara Tangerang pertama kali terjadi di wilayah pantai Tanjung Pasir, pada 5 Juli 2024. Saat itu para nelayan belum mengetahui maksud dan tujuan dari pemagaran yang dilakukan sejumlah aparatur desa.
"Saya ingat betul itu pertama kali dibangun 5 Juli 2024. Yang bangun aparat desa, RT, RW dan pegawai desa di sini," ungkap AL.
Baru setelah dua hari pemasangan atau 7 Juli 2024, AL bersama beberapa nelayan lain mendatangi titik pantai yang dipagari itu.
"Dua hari setelahnya saya dan beberapa teman datangi yang bekerja memagari, kami tanyakan ini untuk apa, mereka jawab ini punya PT. Kami berkeras ibaratnya demo, sampai waktu itu ada anggota TNI dari Pos TNI AL yang memediasi," ungkap AL.
Dari pertemuan mediasi di kantor Balai Desa, warga merasa seperti diintimidasi, sebab seluruh perangkat desa tidak membela kepentingan masyarakat nelayan dan mengaku seolah-olah tunduk terhadap perintah pemberi kerja.
"Mediasi engga ada hasil buat kami, pagar tetap berjalan. Karena itu dikatakan punya PT, PT nya apa kami tidak diberitahu, tapi anggota TNI AL bilang itu punya PIK," jelasnya.
Apakah Posisi Pagar Dekat Pos TNI AL?
Meski pemagaran digaris pantai Tanjung Pasir dekat dengan Pos TNI AL, pihak TNI juga tidak dapat berbuat banyak. Walau saat mediasi warga dengan aparatur desa juga disaksikan beberapa personel TNI pada Juli 2024 lalu.
"Kalau TNI kita tanyai komandannya saat itu, tunggu perintah pimpinan, tunggu perintah pimpinan. Begitu saja, sebenarnya mereka banyak bantu juga untuk mediasi, cuma engga bisa berbuat apa-apa juga," jelasnya.
Karena persoalan yang buntu masyarakat nelayan Tanjung Pasir seperti pasrah dan hanya berupaya memviralkan gambar-gambar pemagaran laut ke media sosial.
"Kita ditakut-takuti, ada statemen mandor saat itu yang mengatakan satu bambu dicabut saja pidana. Keterlibatan aparat desa benar-benar nyata," ucap dia.
Menurut AL, pekerjaan pemagaran yang dilakukan tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan sosialisasi ke masyarakat nelayan akhirnya berjalan lancar. Setiap hari sekitar 100 meter wilayah garis pantai terpagari oleh sekitar 10 pekerja yang merupakan para aparatur desa.
"Kalau di tempat-tempat lain katanya ditawari kerja masang pagar, kalau di sini tidak. Mereka tahu nelayan kami kompak dan tidak bisa ditakut-takuti. Jadi semua pagar laut di pantai Tanjung Pasir ini dipasang aparat desa Tanjunt Pasir," jelasnya.
Setiap hari kata AL, ratusan batang bambu yang turun dari truk-truk besar yang terparkir di tanah pengembangan PIK 2 diturunkan dan dibawa menggunakan kapal nelayan yang disewa. Pekerjaan itu dilakukan para aparatur desa hingga mengitari seluruh garis pantai Tanjung Pasir.
"Setiap hari mereka kerja, pagi sampai sore, enggak ada kerja malam. Kalau upahnya berapa kami engga pernah nanya, kami engga tahu mereka dapat berapa. Bambu-bambu dipasang manual, enggak ada dengan alat, kalau nancap bambu gampang, karena ini kan lumpur," jelasnya.
Menurut AL garis pantai dengan ketinggian air antara 2-5 meter yang kini dipagari bambu itu, sebelumnya merupakan lapak utama para nelayan udang yang hasil udangnya dijual ke nelayan pancing.
"Karena ada pagar bambu itu kini para nelayan udang mati, nelayan kan banyak. Mereka mencari udang untuk dijual ke nelayan pancing. Udang-udang itu sebagai umpan bagi nelayan pancing," jelas dia.
Apakah Pagar Laut untuk Budidaya Kerang?
Dia juga membantah keras adanya pernyataan yang menyebutkan jika bambu-bambu yang memagari area garis pantai dijadikan tempat petani membudidayakan kerang.
"Engga benar, bohong itu. Engga ada teknik untuk budidaya apapun dengan pemasangan bambu model pagar begitu," tegasnya.
Ditegaskan AL pemagaran laut digaris pantai Tanjung Pasir telah membuat ratusan nelayan menderita, bukan saja menyulitkan akses keluar-masuk pantai. Tapi juga potensi keselamatan dan keamanan nelayan saat akan melewati pagar tersebut.
"Keamanan, keselamatan sudah pasti. Belum lagi biaya-biaya yang ditimbulkan karena kami harus mencari haluan yang tidak terpagar, kalau pun tidak terpagar daerah pantai engga semua dalam, ada juga yang dangkal kan ini bahaya," ucap dia.
Pantauan langsung di lokasi pantai Tanjung Pasir, ribuan batang bambu masih memagari objek garis pantai Tanjung Pasir. Pagar-pagar bambu yang membentuk kotak persegi itu juga berada dekat dengan kawasan proyek PIK 2 yang saat ini dalam proses pengurugan. Hal itu terlihat dari banyaknya truk tanah yang terparkir di area proyek.
"Kemarin kita kerja dari pagi sampai sore, mungkin enggak banyak yang dicabuti, karena menancapkan lebih susah dibanding mencabutnya. Dan kapal TNI juga enggak bisa dipakai, karena itu kan dangkal. Jadi pakai kapal-kapal kecil kami," kata AL.
"Iya itu proyek PIK, masih pengurugan itu truk-truk gede doang," ujarnya.