Kisah Abah Emuh Sang Maestro Beluk dari Tasikmalaya, Tetap Bersahaja dengan Suara Merdu di Usia Senja
Sampai saat ini di usianya yang senja, ia masih gigih untuk mengasah kemampuannya melengkingkan suara dalam melantunkan beluk.
Suara seorang lelaki tua terdengar melengking dan syahdu pada sebuah acara hajatan di Kampung Cikeusal, Kecamatan Tanjungjaya, Tasikmalaya. Lelaki itu bernama Muhri, namun warga Kampung Cikeusal memanggilnya dengan nama Abah Emuh.
Usianya telah menginjak 80 tahun lebih. Namun suara merdunya seolah tak ingin pergi dan tetap ingin bersama Abah Emuh selamanya.
-
Siapa nama Abah Guru Sekumpul? Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari, atau akrab disapa Abah Sekumpul, merupakan seorang ulama karismatik asal Kalimantan.
-
Apa keunikan suara Ayam Kukuak Balenggek? Biasanya ayam jago hanya bisa kokok terdiri dari 4 suku kata dan suku kata terakhir cenderung panjang. Namun, berbeda dengan Ayam Kukuak Balenggek memiliki kokok terdiri dari 6 sampai 15 suku kata, tergantung faktor genetis maupun latihan.
-
Kapan Abah Guru Sekumpul meninggal? Abah Guru Sekumpul meninggal dunia pada 10 Agustus 2005. Ia meninggal dalam usia 63 tahun setelah sebelumnya sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura.
-
Dimana Abah Guru Sekumpul mengajar? Mengutip Wikipedia, Abah Guru Sekumpul lahir pada 11 Februari 1942 di Desa Keraton, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar.
-
Apa yang diajarkan Abah Guru Sekumpul? Selain dakwahnya secara langsung, ia juga membagi ilmunya dalam bentuk buku. Ia menulis beberapa kitab yang masih dipelajari hingga sekarang antara lain Risalah Mubarakah, Ar-Risalatu Nuraniyah fi Syarhid Tawassulatis Sammaniyah, dan lainnya.
-
Mengapa Mbah Lurah Salekan terkenal di Blora? Waktu itu ia cukup berani melawan penjajah Belanda.
Abah Emuh adalah seorang maestro Beluk yang hingga saat ini masih hidup. Beluk sendiri merupakan suatu seni tarik suara yang lahir dari tradisi bertani dan berladang. Suara beluk biasanya digunakan untuk mengusir sepi, atau memberi tahu keberadaannya pada warga sekitar saat ia berada di sawah, ladang, bahkan di dalam hutan. Dulu para pembajak sawah saling beradu suara untuk menyemangati kerbau dan para penggarap sawah sehingga terbangun suasana riang namun syahdu.
“Biasanya untuk menghibur kerbau saat membajak sawah. Soalnya kalau tidak di-“beluk”-an biasanya kerbau suka agak malas. Selain itu juga untuk menghibur diri sendiri, biar terasa ada teman, bikin kita bahagia,” ujar Abah Emuh dikutip dari sebuah video yang diunggah kanal YouTube Bina Budaya pada 13 Desember 2021.
Menekuni Seni Beluk Sejak Remaja
Kecintaan Abah Emuh terhadap seni beluk sudah muncul sejak ia masih remaja. Sampai saat ini, ia masih gigih untuk mengasah kemampuannya melengkingkan suara dalam melantunkan beluk. Ia bertekad untuk tetap mempertahankan kesenian itu walau dihadapkan pada tantangan yang sulit sekalipun.
“Dulu di sini ada empat orang yang bisa melantunkan beluk. Tapi semuanya sudah meninggal. Sekarang tinggal saya sendirian,” kata Abah Emuh.
Abah Emuh sendiri tinggal di Kampung Pasirsalam, Desa Leuwidulang, Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya. Keseharian Abah Emuh diisi dengan membersihkan kebun, mencari ranting pohon untuk dijadikan suluk perapian, serta memotong dan mengikatnya untuk cadangan perapian di dapur.
Hidup Sederhana Bersama Istri
Abah Emuh tinggal di sebuah rumah sederhana berukuran 6x4 meter. Di sana ia tinggal bersama sang istri. Sejak cucunya meninggal dunia, istrinya merasa terpukul. Hal ini membuatnya sering sakit-sakitan dan tak lagi mampu berjalan. Setiap waktu, ia harus dipapah oleh Abah Emuh yang tubuhnya semakin ringkih.
Bagi Abah Emuh, tak ada sesuatu yang lebih bahagia melainkan menjalani hidup bersama istri tercinta. Walaupun harus mengurus istrinya di rumah mulai dari memandikan hingga menyuapinya makan, tak sekalipun Abah Emuh mengeluh dan menunjukkan wajah kesedihan.
“Awalnya dulu darah tinggi. Akhirnya jadi bisu dan tidak bisa jalan seperti ini. Baik dokter maupun mantri sudah beberapa kali ke sini, namun kondisi kesehatannya tak kunjung membaik,” kata Abah Emuh terkait kondisi istrinya.
Jadi Seorang Paraji
Waktu siang menjelang sore, Abah Emuh sudah bersiap untuk menuju ke masjid. Jalan yang curam tak menghalangi Abah Emuh untuk menunaikan kewajiban salat lima waktu. Saat tiba di masjid, Abah Emuh mengumandangkan adzan.
Dulunya, Abah Emuh merupakan seorang paraji, yaitu orang yang membantu persalinan secara adat suku Sunda. Biasanya jabatan ini diemban oleh seorang perempuan.
“Orang tua saya dulu bilang, silakan menjadi paraji asal tidak meminta bayaran. Mau hujan ataupun gelap, tak ada hujan, tak ada gelap, harus siap jika dibutuhkan,” kata Abah Emuh.
Selain menjadi paraji, Abah Emuh juga menjalani profesi sebagai petani dan pengurus ladang. Profesi inilah yang mengenalkannya pada seni beluk. Dulu kesenian itu diajarkan oleh pamannya.
Sulit Regenerasi
Menurut Abah Emuh, untuk memainkan beluk dengan baik, dibutuhkan teknik tertentu serta latihan secara terus-menerus hingga keluar suara yang tepat. Tantangan yang besar dalam mempelajari beluk membuat kesenian ini sulit diregenerasi.
Bukan berarti tidak ada yang berminat berlatih dan mempelajarinya. Namun tingkat kesulitan seni beluk, terutama dalam melantunkan nada-nada tinggi, mengatur pernapasan, dan teknik suara yang dikeluarkan, sangat sulit dipelajari oleh generasi muda saat ini.
“Ya keinginan Abah itu ada yang mau belajar. Tapi kayaknya pada tidak tertarik. Buktinya yang sudah belajar malah mundur. Tapi ya biarlah. Mungkin kalau sudah tidak ada kita-kita lagi, kesenian ini akan hilang,” tutup Abah Emuh dikutip dari kanal YouTube Bina Budaya.