Jejak Perjuangan Buruh Hindia Belanda: Dari Upah Minim hingga Kesejahteraan Modern
Perjuangan buruh di Hindia Belanda, meski penuh penindasan, telah meletakkan dasar bagi sistem ketenagakerjaan modern Indonesia yang lebih sejahtera.

Pada suatu pagi di bulan Mei 1923, puluhan ribu buruh kereta api di Semarang memenuhi halaman stasiun. Mereka bersatu, menyuarakan tuntutan: upah layak dan jam kerja yang manusiawi. Aksi ini bukan sekadar pemogokan; melainkan puncak perlawanan panjang sejak masa tanam paksa, sebuah perjuangan yang telah membentuk fondasi hak-hak buruh yang kita nikmati saat ini. Bagaimana perjuangan buruh di Hindia Belanda membentuk kesejahteraan modern? Mari kita telusuri jejak historisnya.
Di masa tanam paksa (Cultuurstelsel) sejak 1830, petani Jawa dipaksa menanam komoditas ekspor. Hasil panen dirampas pemerintah kolonial, sementara petani menerima upah yang sangat minim, bahkan tak cukup untuk hidup. Ketidakadilan ini semakin terasa dengan diterapkannya Politik Pintu Terbuka pada 1870, yang membuka jalan bagi investasi swasta asing. Pabrik dan perkebunan bermunculan, mempekerjakan ribuan buruh dengan upah hanya 0,25 gulden per hari—setara harga sepotong roti. Kondisi kerja sangat berat, lebih dari 12 jam sehari, tujuh hari seminggu tanpa istirahat memadai.
Menurut laporan surat kabar De Locomotief edisi 18 Maret 1913, harga kebutuhan pokok melonjak drastis antara 1910-1912, sementara upah buruh tetap stagnan. Kondisi ini memicu lahirnya gerakan sosial seperti Sarekat Islam (SI) pada 1912, yang menggabungkan semangat keagamaan dengan tuntutan ekonomi. Tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim dan Suryopranoto memimpin protes, menuntut penghapusan kerja paksa dan upah yang adil. Mereka adalah pelopor dalam memperjuangkan hak-hak buruh yang lebih baik.
Dari Tanam Paksa hingga Upah Layak: Perjuangan yang Tak Pernah Padam
Buruh di Hindia Belanda menghadapi kondisi kerja yang sangat buruk. Mereka bekerja dalam jam kerja yang panjang, dengan upah yang rendah, dan tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Kondisi ini mendorong mereka untuk membentuk organisasi buruh dan melakukan berbagai aksi protes, seperti pemogokan dan demonstrasi, untuk menuntut perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah.
Salah satu contohnya adalah pemogokan buruh pelabuhan di Surabaya pada tahun 1921. Mereka menuntut kenaikan upah yang telah dikurangi oleh pengusaha. Pemogokan ini menunjukkan betapa gigihnya perjuangan buruh untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan kerja keras mereka. Perjuangan ini menjadi cikal bakal perjuangan untuk upah minimum dan standar kerja yang kita kenal sekarang.
Organisasi buruh seperti Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), Opium Regiebond, dan Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI) memainkan peran penting dalam menyatukan suara buruh dan memperjuangkan hak-hak mereka. Meskipun seringkali menghadapi pembubaran dan penindasan dari pemerintah kolonial, organisasi-organisasi ini menunjukkan pentingnya perjuangan kolektif dalam memperjuangkan hak-hak buruh.
Media massa juga berperan penting dalam menyuarakan tuntutan buruh. Kebebasan pers yang relatif longgar di Hindia Belanda memungkinkan organisasi buruh untuk menyebarkan pandangan dan tuntutan mereka melalui surat kabar. Hal ini menunjukkan pentingnya media dalam memperjuangkan hak-hak buruh dan meningkatkan kesadaran publik. Ini sejalan dengan peran media massa saat ini dalam menyuarakan isu-isu ketenagakerjaan.

Munculnya Serikat Buruh Modern dan Pengaruh Ideologi
Pada 14 November 1908, Vereeniging van Spoor- en Tramwegpersoneel (VSTP) berdiri di Semarang, organisasi buruh modern pertama yang menerima anggota pribumi dan Belanda. Di bawah Henk Sneevliet dan Semaun, VSTP memperjuangkan upah minimum 1 gulden per hari, jam kerja 8 jam, dan tunjangan kesehatan. Mereka juga mengusulkan penyesuaian upah terhadap kenaikan biaya hidup (“kemahalan”).
Tahun 1923, VSTP memimpin pemogokan besar yang melibatkan 13.000 buruh kereta api, melumpuhkan transportasi di Jawa. Aksi ini memaksa pemerintah kolonial dan perusahaan mempertimbangkan tuntutan buruh. Organisasi lain seperti Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) dan Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) juga turut memperjuangkan hak-hak buruh.
Munculnya ideologi sosialisme dan komunisme turut mewarnai gerakan buruh. Meskipun pemerintah kolonial berupaya menekan pengaruhnya, ide-ide tentang keadilan sosial dan kesetaraan ekonomi turut membentuk tuntutan buruh dan mempengaruhi perkembangan gerakan buruh di Indonesia hingga kini. Peringatan Hari Buruh (May Day) pertama di Hindia Belanda pada 1 Mei 1918 di Surabaya juga menunjukkan pengaruh gerakan buruh internasional.
Warisan Perjuangan: Fondasi Kesejahteraan Buruh Modern
Perjuangan buruh Hindia Belanda telah meletakkan fondasi bagi sistem perlindungan kerja modern Indonesia. Tuntutan mereka, seperti kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan perlindungan hak-hak pekerja, masih relevan hingga saat ini. Berikut beberapa warisan penting:
- Upah Layak dan Kesejahteraan: Tuntutan agar upah disesuaikan dengan nilai kerja dan kebutuhan hidup, bukan belas kasihan majikan, yang mencakup sanitasi, waktu istirahat, dan tunjangan kesehatan.
- Penghapusan Kerja Paksa: Perjuangan melawan kerja rodi yang kejam, yang akhirnya dihapuskan secara formal pada 1860.
- Jam Kerja dan Hari Libur: Seruan “8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi” yang diadopsi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Indonesia.
- Jaminan Sosial dan Perlindungan Kerja: Gagasan mengenai asuransi kecelakaan kerja, jaminan pensiun, dan jaminan kesehatan yang menjadi dasar BPJS Ketenagakerjaan.
- Hak Berserikat dan Mogok Kerja: Kebebasan membentuk serikat dan bernegosiasi dengan pengusaha, serta aksi mogok sebagai bentuk perlawanan terorganisir.
Meskipun kondisi buruh saat ini jauh lebih baik, tantangan masih ada: sistem outsourcing, upah minimum yang stagnan, dan pemutusan hubungan kerja massal. Namun, semangat perjuangan buruh Hindia Belanda tetap menjadi inspirasi bagi gerakan buruh modern dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Perjuangan mereka mengajarkan bahwa perubahan tidak datang dari diam, melainkan dari keberanian untuk bersuara dan memperjuangkan keadilan.
Dari upah 0,25 gulden hingga upah minimum yang kita nikmati sekarang, perjalanan panjang ini menunjukkan betapa pentingnya perjuangan kolektif dan konsistensi dalam memperjuangkan hak-hak pekerja. Warisan perjuangan buruh Hindia Belanda menjadi bukti nyata bahwa kesejahteraan bukanlah pemberian, melainkan hasil dari perjuangan yang tak kenal lelah.