Indonesia Ternyata Surplus Gas, tapi Ada Tantangan di Infrastruktur Penyaluran
Terdapat tantangan besar terkait kesenjangan antara lokasi sumber pasokan gas dan daerah permintaan.

Konsumsi gas bumi dipastikan akan terus meningkat seiring dengan penerapan strategi transisi energi yang diterapkan oleh pemerintah. Temuan cadangan migas dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan dominasi gas, sehingga penting bagi pemerintah untuk menyiapkan langkah-langkah strategis dalam pengelolaan sumber daya ini.
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan swasembada energi dengan fokus pada hilirisasi gas. Namun, terdapat tantangan besar terkait kesenjangan antara lokasi sumber pasokan gas dan daerah permintaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai metode penyaluran gas, baik melalui pipa maupun alternatif lain seperti LNG.
Vice President Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Ufo Budiarius Anwar menyatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir dan ke depan, penemuan gas cukup signifikan. Namun, tantangan yang dihadapi adalah lokasi temuan gas yang berada di wilayah timur Indonesia, sedangkan permintaan terpusat di bagian barat.
"Kita banyak temuan cadangan gas, tapi daerah timur Indonesia jadi bagaimana bawa cadangan gas menjadi produksi dan dikirim ke end user yang ada di jawa dan sumatera," ungkap Ufo dalam diskusi mengenai Strategi Penguatan Sektor Gas Bumi Indonesia yang diselenggarakan oleh Energy Editor Society (E2S) di Jakarta.
Menurut data dari SKK Migas pada tahun 2024, rata-rata penyaluran gas bumi mencapai 5.613,43 BBTUD, dengan lebih dari 60 persen pemanfaatan gas bumi ditujukan untuk kebutuhan domestik. Rincian pemanfaatan menunjukkan bahwa industri menyerap 26,24 persen, sementara pupuk dan kelistrikan masing-masing menyerap 12,3 persen dan 12,51 persen.
Sisa pemanfaatan gas bumi dialokasikan untuk LNG domestik sebesar 12,39 persen, lifting minyak 3,73 persen, LPG 1,37 persen, BBG 0,13 persen, dan jaringan gas 0,22 persen. Di sisi lain, persentase untuk ekspor hanya mencapai 24,17 persen, dengan ekspor LNG dan gas pipa ke Singapura sebesar 6,95 persen.

Gas Penggerak Utama Sektor Energi Indonesia
Ufo menjelaskan bahwa dengan banyaknya gas yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, gas menjadi penggerak utama ekonomi energi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah serius untuk memenuhi peningkatan permintaan gas domestik.
"Gas itu lokomotif energi Indonesia sangat cocok dengan transisi energi. Masalahnya ya infrastruktur tadi. Gas paling banyak digunakan paling besar kelistrikan, pupuk. Ada city gas jargas itu adalah potensi kurangi LPG impor tadi," ungkap Ufo.
Data dari SKK Migas menunjukkan bahwa total permintaan gas nasional mengalami peningkatan moderat, dari 5.613 MMSCFD pada tahun 2025 hingga mencapai 6.229 MMSCFD pada tahun 2033 dan 5.751 MMSCFD pada tahun 2035.
Selama periode 2025 hingga 2035, pola kebutuhan gas bumi nasional cenderung stabil. Sektor kelistrikan, pupuk, dan industri manufaktur akan tetap menjadi pengguna utama yang memerlukan pasokan gas yang berkelanjutan. Meskipun secara keseluruhan pasokan gas masih surplus, ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan di berbagai daerah semakin meningkat.
Pada tahun ini, masalah pasokan gas sudah mulai dirasakan. Pemerintah memutuskan untuk melakukan swap gas pipa yang diekspor ke Singapura menjadi LNG, sehingga kebutuhan gas hingga bulan Juni tahun ini sudah terpenuhi.
Pemerintah melakukan swap gas sebesar hingga 25 BBTUD dari Natuna untuk memenuhi kebutuhan domestik, terutama di wilayah Batam. Strategi ini direncanakan mulai dilaksanakan pada 1 Juni 2025. SKK Migas juga menginformasikan tentang pengalihan ekspor LNG. Kebutuhan LNG domestik hingga bulan Juni 2025 telah terpenuhi dengan tambahan pasokan sekitar 18 kargo selama periode Januari hingga Juni 2025.
Untuk periode Juli hingga Desember 2025, akan ada upaya pengalihan atau penjadwalan ulang ekspor hingga 30 kargo untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. "Sampai Juni 2025 kita aman, setelah itu kita coba otak-atik mulai dari penjadwalan pengiriman LNG, hingga meminta PLN dan PGN untuk menghitung lagi kebutuhan gasnya," tutup Ufo.
Harapan di Balik Penemuan Sumber Gas
Rachmat Hidajat, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis di Pertamina Hulu Energi (PHE), menyatakan bahwa penemuan gas di bagian timur Indonesia memberikan harapan besar bagi Pertamina. Dia menekankan pentingnya kolaborasi dan dukungan dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan pasar bagi konsumen gas.
"Harapan ke depan inventory kita banyak, tapi stranded field dan marjinal. Belum bisa optimasi semua. Butuh kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Karena bagaimana caranya agar market mudah akses ke kita. Misalnya, negara chip in infrastruktur ini akan unlock inventory," ungkap Rachmat.
Di sisi lain, Sugeng Suparwoto, Anggota Komisi XII DPR RI, menegaskan bahwa pemerintah harus mempersiapkan infrastruktur dasar yang memadai. Tanpa adanya infrastruktur yang baik, biaya akan meningkat dan berpotensi mempengaruhi harga gas.
"Kita enggak mempunyai infrastruktur dengan pipa. Ada tambahan ongkos kalau bukan pipa (LNG)," ungkap Sugeng.
Menurutnya, keterlibatan pemerintah sangat penting untuk memperkuat sektor gas bumi di Indonesia. Dia memberikan contoh pembangunan pipa gas Cirebon - Semarang (Cisem) yang akhirnya diambil alih oleh negara setelah gagal dibangun oleh Rekind dan Bakrie Grup.
“Nanti dari ujung Aceh sampai Jawa Timur pipa tersambung Jawa dan Sumatera. Jadi kaya Arun akan menjadi receiving terminal storage baru alirkannya melalui pipa dan itu bisa murah,” kata Sugeng.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyoroti pentingnya upaya pemerintah dalam integrasi dan penyediaan infrastruktur gas untuk mengatasi potensi kekurangan pasokan gas di beberapa wilayah. Menurut Komaidi, sekitar 80% cadangan gas terdapat di Indonesia timur, sedangkan konsumen berada di bagian barat.
“Kalau bangun pipa investor tanya berapa lama cadangan lewat. Kalau 5-10 tahun bangun pipa kemudian kalau balik modal 15 tahun, nggak akan dipilih. Kemudian opsi paling logis mengubah jadi LNG dengan skala kecil lebih mahal sementara konsumen barat sudah terbiasa dengan harga gas murah ini yang perlu diluruskan,” jelas Komaidi. Ia juga menekankan bahwa keterlibatan badan usaha, baik milik pemerintah maupun swasta yang memiliki modal kuat, sangat penting untuk mendorong pemanfaatan gas domestik. “Badan usaha ini berperan penting dan utama serta menjadi mitra strategis pemerintah dalam penyiapan infrastruktur gas bumi dalam mendukung hilirisasi gas bumi,” kata Komaidi.