Bukan BI, Ini Bank Pertama yang Ada di Indonesia
Di Indonesia terdapat klasifikasi mengenai bank yaitu Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perekonomian Rakyat (BPR).
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), pada tahun 2022, jumlah bank umum di Indonesia sebanyak 106 unit.
Bukan BI, Ini Bank Pertama yang Ada di Indonesia
Perlu diketahui, di Indonesia terdapat klasifikasi mengenai bank yaitu Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Untuk Bank Sentral di Indonesia hanya ada satu yaitu Bank Indonesia.
Lalu, apakah Bank Indonesia merupakan bank pertama yang ada di Indonesia?
Merujuk situs Bank Indonesia, bank pertama yang ada di nusantara adalah Bank van Courant. Bank ini pertama kali didirikan pads tahun 1746. Tujuan pendiriam bank ini untuk menunjang kegiatan perdagangan. Bank van Courant memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.
Pada tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga. Pada tahun 1818 Bank Courant en Bank Van Leening tutup karena krisis keuangan.
Pada tahun 1828, pemerintah kolonial Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. DJB ini nantinya cikal bakal Bank Indonesia yang saat ini dikenal masyarakat.
Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang gulden di wilayah Hindia Belanda. Octrooi yang diberikan pemerintah kolonial Belanda secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melalukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi.
Untuk mengisi kas negara karena terkuras oleh Perang Jawa, Belanda memberlakukan tanam paksa (cultuurstelsel) di Hindia Belanda. Penyimpangan implementasi Sistem Tanam Paksa dituangkan dalam novel Max Havelaar karya Douwes Dekker yang mengundang polemik kalangan masyarakat dan politikus di negeri Belanda. Pemerintah kolonial Belanda saat itu menggunakan DJB untuk mendukung kebijakan finansial dari Sistem Tanam Paksa.
Rentang tahun 1829-1870, DJB melakukan ekspansi bisnis dengan membuka kantor cabang di beberapa kota di Hindia Belanda, termasuk di luar Jawa: Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867), dan Pasuruan (1867). Kurun tahun 1870-1942, DJB membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).
Pada awap abad 20, banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat. Hingga kemudian, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.
Pada tahun 1946, atau pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia membentuk Bank Negara Indonesia (BNI).
Hal ini sessuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu 'Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang-undang.' Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI). Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war).
Pada masa ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan 'uang merah' dan ORI dikenal sebagai 'uang putih'. Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97 persen.
Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922. Di sini, pemerintah menetapkan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui pemberian kredit. Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter.
Dewan Moneter diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan.
Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh Dewan Moneter.
Pada masa Demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep Ekonomi Terpimpin. Pada masa ini, Gubernur BI ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral dan Dewan Moneter tidak berfungsi lagi. Dalam bidang perbankan, terdapat doktrin 'Bank Berdjoang' berupa penyatuan seluruh bank-bank negara menjadi Bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI) yang pendiriannya lewat Perpres No.17 Tahun 1965. Dalam masa implementasi “Bank Berdjoang”, Bank Indonesia diubah menjadi BNI Unit I, sedangkan bank-bank milik pemerintah lainnya dibagi menjadi BNI Unit II-V.
Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I. Salah satu pasal di dalam undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara. Sementara itu, melalui UU Nomor.21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.
Dengan adanya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral yang bersifat independen.
UU ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan.
Sejak periode ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework. Dalam framework ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pada tahun 2004, DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang ini berisi tentang penegasan terhadap kedudukan bank sentral yang independen, penyempurnaan pengaturan tugas dan wewenang, dan penataan fungsi pengawasan BI.