Dulu Dipuja karena Penemuannya Bermanfaat, setelah Perang Dunia I Ilmuwan Ini Berubah Bengis
Berikut penyebab mengapa ilmuwan penerima Nobel ini tiba-toba berubah bengis seperti 'haus darah'.
Berikut penyebab mengapa ilmuwan penerima Nobel ini tiba-toba berubah bengis seperti 'haus darah'.
Fritz Haber merupakan seorang ilmuwan fisika asal Jerman yang lahir pada tahun 1868. Kisahnya memang tidak begitu terkenal dibandingkan dengan ilmuwan lainnya.
Namun, di balik itu semua ia menyimpan hal besar, yaitu menyelamatkan jutaan orang dan sekaligus membunuhnya karena hasil temuannya.
Sekitar tahun 1894 sampai 1911 ia bekerja dengan seorang ahli kimia bernama Carl Bosch dan mengembangkan temuannya bernama proses Haber-Bosch.
Penemuannya ini merupakan revolusioner dimana amonia yang merupakan bahan untuk pupuk disintesis langsung dari hidrogen dan nitrogen agar pembuatan pupuk dapat lebih mudah diselesaikan.
Karena hasil penemuan yang dikembangkan oleh Haber dan Bosch akhirnya membantu produksi pupuk secara banyak dan berdampak positif pada industri pertanian. Sebab, dengan banyaknya produksi pupuk memudahkan petani untuk menanam bahan pokok dan dapat menyediakan persediaan pangan bagi jutaan orang.
Foto: Unsplash/Hans Reniers
Atas penemuannya yang revolusioner, Fritz Haber menerima penghargaan Nobel Kimia pada tahun 1918. Bahkan hingga kini proses Haber-Bosch masih digunakan di seluruh dunia untuk membuat amonia, dan separuh dari produksi pangan di dunia bergantung pada metode pembuatan pupuk ini.
Foto: Unsplash/Carl Tronders
Mengutip History of Yesterday, Senin, (25/9), di balik semua pencapaian besarnya yang menjadikannya sebagai sosok pahlawan dalam bidang pertanian, Haber berubah menjadi sosok yang kelam.
Setelah perang dunia I, Harber diangkat menjadi kepala departemen kimia di Kementerian Perang Jerman. Jabatannya ini juga sempat menjadi spekulasi di kalangan masyarakat Jerman kala itu. Sebab, saat itu Harber pindah keyakinan dari Yudaisme menjadi Lutheranisme.
Alasannya Haber berpindah agama dianggap masyarakat karena alasan yang tidak begitu jelas. Namun, satu hal yang menjadi spekulasi adalah karena Fritz Haber ingin memperoleh posisi akademis yang lebih baik.
Selama perang ia memimpin tim yang sedang mengembangkan gas klor yang akan digunakan sebagai senjata dalam perang. Alat ini juga kemudian akan dikombinasikan dengan campuran gas mematikan lainya.
Foto: Unsplash/Scott Rodgerson
Saat mempelajari efek gas beracun dalam penelitian, Harber menyimpulkan bahwa paparan racun dalam waktu lama dengan konsentrasi yang rendah akan memiliki efek yang mematikan. Setelah penemuan ini berhasil dikerjakannya, ternyata menuai kontroversi karena kebanyakan menolak berperang dengan gas beracun.
Namun, karena pasukan Inggris dan Perancis mulai mengalahkan mengalahkan pasukan Jerman, akhirnya Harber bersikeras untuk menggunakan alat ciptaannya untuk melawan musuh.
Akhirnya, pada bulan April 1915 pada perang melawan Inggris dan Perancis dilaporkan bahwa lebih dari 168 ton gas klorin dilepaskan di medan perang. Pelepasan gas klorin dalam pertempuran ini kemudian dikenal sebagai “Haber’s rule”.
Setelah dilepaskan dalam pertempuran, gas klorin berhasil menewaskan ratusan ribu orang dalam hitungan menit. Karena kejamnya perbuatannya itu, ia dijuluki “The father of chemical warfare.”
Karena berbahaya, pihak penanggung jawab memiliki syarat untuk pengunjung dapat melihat manuskrip ilmuwan ini.
Baca SelengkapnyaJika penelitian berhasil, maka ada secercah harapan bagi kaum laki-laki yang mengalami nasib ini.
Baca SelengkapnyaSuperbenua ini tak main-main. Panasnya mampu membuat makhluk hidup punah, termasuk manusia.
Baca SelengkapnyaBerikut kisah tentang bom nuklir yang hilang pada perang Dunia I.
Baca SelengkapnyaPenelitian mengungkapkan bahwa makhluk yang baru ditemukan itu adalah spesies baru.
Baca SelengkapnyaPenyebab mengapa lalat ini tidak bisa terbang belum terungkap.
Baca SelengkapnyaBerikut pertanyaan-pertanyaan mendasar yang masih menjadi perdebatan ilmuwan.
Baca SelengkapnyaBahkan oleh pelayan keluarganya sendiri, ia dikatakan “der depperte”.
Baca SelengkapnyaSudah berkali-kali ilmuwan menghitungnya. Setiap kali diukur hasilnya tak sama.
Baca Selengkapnya