Kiat dari Psikolog untuk Tekan Keinginan Bunuh Diri pada Remaja
Masalah bunuh diri merupakan salah satu problem yang dihadapi oleh remaja dan perlu dihadapi dengan tepat.
Masalah kesehatan mental, khususnya di kalangan remaja, menjadi perhatian yang semakin mendalam di berbagai belahan dunia. Bunuh diri, sebagai salah satu dampak paling tragis dari gangguan kesehatan mental, kini diakui sebagai isu global yang sangat serius. Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa lebih dari 700.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat bunuh diri. Di Indonesia, angka kematian akibat bunuh diri juga menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Data POLRI mencatat bahwa pada tahun 2023 terjadi 1.350 kasus bunuh diri, naik drastis dari 826 kasus di tahun sebelumnya.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melalui Direktorat Kesehatan Jiwa menyelenggarakan seminar bagi remaja dalam rangka memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia 2024. Seminar ini, yang digelar secara hibrida, dihadiri oleh perwakilan SMA/SMK serta forum pemuda di berbagai wilayah. Tujuannya jelas: meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, mengurangi stigma, dan membuka ruang diskusi bagi para remaja tentang cara mencegah keinginan bunuh diri.
-
Kenapa remaja berisiko tinggi untuk bunuh diri? 'Ini adalah disertasi saya tahun 2019 yang mana datanya diambil pada akhir 2019, sebelum pandemi di Jakarta. Yang berisiko adalah 13,8 persen dari 910 remaja (125),' kata Nova dilansir dari Antara. Nova menjelaskan remaja adalah orang yang masih senang mengambil risiko dan merasa mampu melakukan segala-galanya. Pada usia remaja, kematian sepertinya masih jauh sehingga akhirnya banyak mengambil keputusan-keputusan yang ceroboh (reckless). Pemikiran mereka juga abstrak.
-
Bagaimana cara remaja meningkatkan kesehatan mental? Aktivitas fisik dapat membantu remaja membakar kalori, menjaga berat badan, menguatkan otot dan tulang, meningkatkan fungsi jantung dan paru, serta meningkatkan kesehatan mental dan sosial remaja.
-
Bagaimana cara mendeteksi keinginan bunuh diri? Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ memaparkan bahwa ide mengakhiri hidup bisa terdeteksi pada remaja, menurut hasil studi.
-
Bagaimana cara mengatasi masalah kesehatan mental anak muda? Sebagai langkah solusi, Wahyu menuturkan harus ada upaya untuk memperluas dan memperbanyak layanan kesehatan mental.
-
Bagaimana remaja mengatasi perasaan negatif? Remaja sering kali tidak tahu bagaimana cara mengatasi perasaan negatif mereka. Hal ini membuat mereka melampiaskan emosi melalui perilaku impulsif atau menarik diri dari kehidupan sosial.
-
Apa dampak melihat perilaku bunuh diri? Lebih lanjut, kejadian ini dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, stres pasca trauma, dan bahkan risiko bunuh diri pada diri sendiri.
Pentingnya Percakapan Terbuka tentang Kesehatan Mental
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan, Maria Endang Sumiwi, dalam sambutannya mengapresiasi inisiatif ini dan berharap bahwa seminar ini bisa menjadi momentum bagi para remaja untuk lebih terbuka membahas kesehatan mental. Menurutnya, salah satu kunci untuk menekan angka bunuh diri di kalangan remaja adalah dengan memperbanyak percakapan tentang kesehatan jiwa dan mendorong penerimaan diri.
"Selama ini, kesehatan jiwa sering dianggap sebagai isu sensitif yang jarang dibahas secara terbuka. Akibatnya, gangguan jiwa sering kali disikapi dengan pandangan negatif," jelas Endang dilansir dari Kemenkes.
Ia menegaskan bahwa isu kesehatan mental harus diperlakukan dengan serius dan dihormati karena dampaknya terhadap kehidupan seseorang sangat signifikan. Dengan stigma yang berkurang, diharapkan remaja yang mengalami masalah mental bisa lebih berani untuk mencari bantuan.
Endang juga menekankan bahwa "Jika tidak ada upaya pencegahan bunuh diri, angka tersebut dapat terus meningkat setiap tahunnya."
Faktor-Faktor Pemicu Bunuh Diri
Dalam seminar tersebut, dijelaskan bahwa penyebab bunuh diri pada remaja sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Direktur Kesehatan Jiwa, Imran Pambudi, menyebutkan bahwa faktor biologis, genetik, psikologis, budaya, hingga lingkungan memainkan peran besar dalam munculnya pikiran atau keinginan bunuh diri.
Salah satu langkah penting untuk mencegah hal ini adalah dengan mendorong penerimaan diri. “It’s okay not to be okay,” ungkap Imran. Menurutnya, kesadaran bahwa manusia memiliki kelebihan dan kekurangan dapat membantu remaja lebih menerima diri sendiri dan tidak merasa terbebani oleh standar yang tidak realistis. “Jadi, kita harus memiliki kesadaran bahwa kita tidak apa-apa enggak oke, supaya kita enggak stres. Manusia ada kelebihan dan kekurangannya, kita harus bisa menerima hal ini.”
Lebih lanjut, Imran mengajak para remaja untuk tidak membandingkan diri mereka dengan orang lain. Rasa kurang percaya diri dan perasaan tidak berharga sering kali muncul karena dorongan sosial untuk selalu tampil sempurna. Hal ini dapat menyebabkan stres yang berkepanjangan dan, pada kasus-kasus ekstrem, dapat memicu keinginan bunuh diri.
Menjadi Sumber Cahaya bagi Diri Sendiri dan Orang Lain
Imran Pambudi juga menekankan pentingnya menjadi sumber cahaya bagi diri sendiri maupun orang lain. Ia mengutip lagu “Flashlight” yang dinyanyikan oleh Jessie J sebagai inspirasi untuk selalu menjadi "flashlight" dalam kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
“Harapannya, kita bisa bersama-sama membuka diri dan bisa membantu kalau temannya ada yang lagi down, menjadi flashlight bagi dirinya sendiri, bagi teman, maupun keluarga,” ujar Imran. Aksi kecil seperti mendengarkan tanpa menghakimi, menunjukkan empati, dan menyampaikan kebaikan sederhana dapat memiliki dampak besar dalam mencegah seseorang melakukan tindakan ekstrem seperti bunuh diri.
Mengubah Narasi tentang Bunuh Diri
Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 10 September, mengusung tema “Changing the Narrative on Suicide” atau “Mengubah Narasi Bunuh Diri.” Tema ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengurangi stigma terhadap isu bunuh diri serta mendorong percakapan yang terbuka dan empati terhadap mereka yang mengalami masalah kesehatan mental.
Dengan ajakan “Start the Conversation” atau “Memulai Percakapan,” semua pihak, dari individu, keluarga, hingga komunitas, diharapkan lebih proaktif dalam membicarakan kesehatan mental. Menurut Dirjen Endang, "Melalui tindakan kecil seperti kebaikan sederhana, percakapan terbuka dan mendengarkan tanpa menghakimi, dapat berpengaruh secara signifikan."
Penting bagi semua elemen masyarakat untuk menyadari bahwa bunuh diri bukanlah masalah individu semata, tetapi masalah bersama yang memerlukan perhatian, dukungan, dan empati dari lingkungan sekitar. Setiap individu berperan untuk mencegah terjadinya kasus bunuh diri dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, memberikan dukungan moral, serta membangun lingkungan yang lebih terbuka dan peduli.