Mengunjungi Klenteng Boen Bio Surabaya, Saksi Perlawanan Orang Tionghoa kepada Kolonial Jepang dan Belanda
Klenteng ini jadi saksi masa kejayaan orang Tionghoa di Kota Pahlawan
Klenteng ini jadi saksi masa kejayaan orang Tionghoa di Kota Pahlawan
Klenteng Boen Bio disebut sebagai "benteng terakhir pertahanan" agama Konghucu di Surabaya. Awalnya klenteng ini bernama Boen Thjiang Soe, didirikan pada tahun 1883 di Jalan Kapasan 131, Kota Surabaya.
Mengutip situs tourism.surabaya.go.id, klenteng muncul akibat meluasnya daerah pecinan di Surabaya. Dulu ada di sekitar Jalan Kembang Jepun, Jalan Slompretan, Jalan Coklat dan sekitarnya, menjalar ke arah timur Surabaya di sekitar Kapasan. Kolonial Belanda menyebut daerah permukiman Cina sebagai “Chineese Kamp”. Permukiman ini sudah ada sebelum Belanda datang ke Surabaya. Klenteng Boen Bio terletak di depan Wisata Kampung Pecinan (WKP) Surabaya yang dulunya bernama Kampung Kungfu. Kegiatan ibadah di Klenteng Boen Bio ramai pada hari Minggu.
Klenteng ini didirikan pada tahun 1883 dengan nama Boen Tjiang Soe. Secara harfiah nama awal klenteng tersebut bermakna mewarisi dan menggemilangkan sastra atau peradaban. Pendiri klenteng ini adalah Go Tik Lie dan Lo Toen Siong. Keduanya memanfaatkan tanah seluas 500 meter persegi, kemudian diperluas lagi menjadi 1173 meter persegi.
Pada tahun 1903, komunitas Tionghoa di Surabaya kedatangan seorang tokoh pergerakan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) dari Batavia yang bernama K’ang Yu Wei. Tokoh inilah yang kemudian berinisiatif memindahkan klenteng Boen Tjiang Soe ke tempat yang sekarang, yakni di pinggir jalan Kapasan tepatnya di Jalan Kapasan 131 Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya.
Pendirian Klenteng Boen Bio tak bisa dilepaskan dari kebangkitan nasionalisme Tionghoa yang menyebar hingga ke Nusantara sejak akhir abad XIX. Setelah negeri Cina atau Tiongkok dikalahkan Jepang serta masuknya sekutu ke Beijing, gerakan nasionalisme Tiongkok mulai memengaruhi sikap orang-orang Tionghoa di Surabaya. Kelompok ini menganggap pemerintah kolonial seperti Jepang sebagai pemeran utama kolonialisme dan imperialisme di tanah jajahan.
Salah satu organisasi nasionalis Tionghoa yang terbesar saat itu Tiong Hoa Hwe Koan (THHK). Organisasi ini aktif membangun klenteng sebagai bentuk nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme imperialisme.
Mengutip situs bappedalitbang.surabaya.go.id, hingga kini Klenteng Boen Bio masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Konghucu. Pada waktu tertentu, misalnya malam tahun baru Imlek, umat Konghucu berdoa di klenteng ini.
Mengutip Instagram @disbudparjatimprov, Klenteng Boen Bio juga telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Provinsi berdasarkan SK nomor 188/737/KPTS/013/2017.
Kawasan yang saat ini menjadi cagar budaya di Palembang dulunya sebuah lingkungan tempat tinggal bagi warga Tionghoa era kolonial Belanda.
Baca SelengkapnyaTempat itu biasa digunakan orang untuk bersemedi dan menenangkan diri.
Baca SelengkapnyaSuku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.
Baca SelengkapnyaPada momen itu, tentara militer Belanda berbondong-bondong menarik diri dari wilayah yang didudukinya
Baca SelengkapnyaBuah yang tumbuh subur di daratan Pulau Kalimantan ini bukan hanya unik, melainkan juga memiliki khasiat bagi siapapun yang menyantapnya.
Baca SelengkapnyaSebelum membangun masjid, para tukang harus dalam keadaan suci
Baca SelengkapnyaPerkembangan komoditas karet di wilayah Aceh Timur tak lepas dari peran para pengusaha kolonialisme Belanda.
Baca SelengkapnyaPada zaman penjajahan, bukit itu juga menjadi markas prajurit Belanda
Baca SelengkapnyaBukan hanya manusia, ini sosok binatang paling berjasa dalam kemerdekaan Indonesia. Siapa yang dimaksud?
Baca Selengkapnya