Mengulik Tradisi Ruwatan, Ritual Buang Sial dan Penyucian Diri ala Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa masih rutin melaksanakan tradisi tersebut sebagai bentuk penyucian diri.
Masyarakat Jawa masih rutin melaksanakan tradisi tersebut sebagai bentuk penyucian diri.
Mengulik Tradisi Ruwatan, Ritual Buang Sial dan Penyucian Diri ala Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memiliki beragam jenis ritual yang sampai sekarang masih rutin dilakukan. Salah satunya adalah tradisi ruwatan yang merupakan ritual penyucian untuk membebaskan seseorang dari hukuman yang berbahaya.
-
Apa itu Tradisi Ujungan? Warga di kampung adat Cibadak, Desa Warung Banten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak memiliki sebuah tradisi unik bernama Ujungan. Tradisi ini dilakukan dengan cara saling pukul satu sama lain menggunakan sebilah batang rotan.
-
Bagaimana cara melakukan Tradisi Ujungan? Biasanya warga memulainya dengan perwakilan yang merasa berani untuk dipukul. Kemudian, mereka yang hadir akan satu per satu memukul, sampai serempak. Mereka mengarahkan batang rotan ukuran kurang lebing 60 Cm ke seluruh tubuh pria yang merasa berani itu.
-
Apa tradisi di Kampung Jawa Malaysia? Selain itu, bila ada warga kampung itu yang menikah, mereka juga melaksanakan tradisi rewang.
-
Dimana Tradisi Ujungan dilakukan? Warga di kampung adat Cibadak, Desa Warung Banten, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak memiliki sebuah tradisi unik bernama Ujungan.
-
Kenapa Tradisi Ujungan dilakukan? 'Dulunya para kasepuhan (orang tua) karena di sini tidak ada tv dan lain-lain, jadi melakukan ujungan sebagai pembuktian kekuatan dalam menjalani kehidupan,' kata salah satu tokoh warga Cibadak, Dul Mukri.
-
Apa tradisi utama ruwahan? Seluruh rangkaian acara sudah bisa dilakukan di awal bulan syaban, sampai mandi merang yang merupakan air arang batang padi di akhir bulan dan beberapa hari menuju salat tarawih pertama.
Dalam Bahasa Jawa, tradisi ruwatan diartikan sebagai 'dilepas' atau 'dibebaskan'. Tradisi ruwatan ini adalah sebuah acara untuk 'membebaskan' seorang dari kutukan yang membawa bahaya.
Sampai sekarang, tradisi ruwatan masih terus lestari dan eksis. Masyarakat Jawa dan Bali pun masih rutin melaksanakan tradisi tersebut sebagai bentuk penyucian diri.
Asal-usul Ruwatan
Melansir dari situs surakarta.go.id, asal-usul tradisi ruwatan ini berasal dari cerita-cerita pewayangan.
Tradisi ini berawal dari seorang Batara Guru yang memiliki dua orang istri yang bernama Pademi dan Selir. Dari istri Pademi, telah lahir anak laki-laki bernama Wisnu, sedangkan dari Selir dikaruniai anak laki-laki bernama Batarakala.
Beranjak dewasa, Batarakala memilik sifat jahat dan kejam. Ia kerap mengganggu anak manusia hingga memakannya. Asal mula sifat ini berasal dari hawa nafsu sang ayah yang tidak terkendali.
Suatu ketika, Batara Guru sedang mengarungi samudra bersama Selir. Tiba-tiba, hasrat seksual Batara Guru meningkat dan ingin bersetubuh dengan Selir, namun istrinya pun menolak. Lantas, air mani Batara Guru jatuh ke Samudra lalu berubah menjadi raksasa bernama Batara Kala.
Dari situlah, Batara Kala meminat makan kepada Batara Guru berupa manusia. Permintaan tersebut dipenuhi asalkan manusia itu berasal dari orang-orang yang tertimpa kesialan, seperti anak tunggal.
Maka dari itu, setiap anak tunggal diwajibkan untuk menjalani ritual ruwatan agar terhindar darri malapetaka dan kesialan.
Pelaksanaan Ruwatan
Untuk melakoni proses ruwatan, harus dipersiapkan beberapa unsur pendukungnya seperti sajen yang berfungsi untuk berkomunikasi dan interaksi dengan mahluk gaib.
Setelah ritual sajen dilakukan, kemudian dilanjut dengan acara pertunjukan wayang yang diperankan oleh lakon khusus bernama Murwakala dan turut disajikan sajen khusus untuk memuja Batara Kala.
Sajen yang harus dipersiapkan sebagai makanan terdiri dari bunga, padi, kain, dan barang-barang lainnya.
Memohon Doa
Pelaksanaan ruwatan oleh masyarakat Jawa ini bertujuan untuk memohon dengan tulus agar orang-orang yang diruwat terbebas dari bencana dan selalu diberi keselamatan.
Sampai sekarang, orang-orang memaknai bahwa ruwatan dilakukan untuk melindungi manusia dari segala macam bahaya yang ada di dunia ini.
Selain memohon keselamatan, pelaksanaan tradisi ini juga tak lepas dari tujuan untuk menjaga dan melestarikan warisan dari leluhur yang telah diwariskan secara turun-temurun.