Kisah Runtuhnya Kerajaan Pajajaran, Benteng Super Kokoh Dibobol oleh “Orang Dalam”
Kerajaan Pajajaran masih tidak terkalahkan dari serangan musuh, sampai benteng super kokoh yang mengelilinginya dibobol oleh “orang dalam”.
Kerajaan Pajajaran jadi simbol kejayaan negeri Sunda di Jawa Barat ratusan tahun silam. Salah satu raja yang terkenal adalah Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, yang merupakan pemimpin paling sukses pada masanya.
Kala berdirinya Pajajaran, seluruh rakyat hidup makmur dan bahagia. Hal ini karena gaya kepemimpinannya yang bijaksana dan selalu merangkul masyarakat kelas bawah. Di masa itu pula, masyarakat kecil bebas pajak dan dimudahkan untuk menggarap lahan.
-
Siapa yang memimpin Pajajaran di masa kejayaan? Kerajaan Pakuan Pajajaran berdiri di Jawa Barat dan berpusat di Bogor. Mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang memerintah tahun 1482-1521. Orang Sunda memanggilnya Prabu Siliwangi.
-
Kapan Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaannya? Kerajaan Pakuan Pajajaran berdiri di Jawa Barat dan berpusat di Bogor. Mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang memerintah tahun 1482-1521. Orang Sunda memanggilnya Prabu Siliwangi.
-
Di mana Kerajaan Pajajaran berpusat? Kerajaan Pakuan Pajajaran berdiri di Jawa Barat dan berpusat di Bogor.
-
Kenapa Kerajaan Pagaruyung runtuh? Masa pemerintahan yang dipimpin Sultan Arifin Muningsyah itu terpaksa harus mundur dan sang sultan melarikan diri dari ibu kota menuju Lubuk Jambi.
-
Siapa yang menghancurkan benteng? Dilansir Heritage Daily, pada abad ke-7, benteng ini pernah diserang dan dihancurkan oleh prajurit bangsa Skithia (bangsa nomaden yang terkenal biadab dan bar-bar).
-
Apa nama pasukan elite Kerajaan Pajajaran? Surawisesa memiliki pasukan elite dari Kerajaan Pakuan Pajajaran.Pasukan itu bernama Balamati.
Sayangnya, seiring berganti kepemimpinan Kerajaan Pajajaran mulai goyang, terutama setelah adanya kerja sama ekonomi dan politik dengan Portugis di Malaka.
Keadaan makin runyam saat raja keempat, Ratu Sakti memimpin. Dia dinilai paling tidak bisa memajukan negara. Ia gemar mabuk-mabukan dan merampas harta rakyat. Meski demikian, Kerajaan Pajajaran masih tidak terkalahkan dari serangan musuh, sampai benteng super kokoh yang mengelilinginya dibobol oleh “orang dalam”.
Akibatnya era kepemimpinan setelah Ratu Sakti, simpul kekuatan Pajajarah mulai lemah terlebih maraknya upaya serangan dari Kesultanan Banten.
Benteng dan Parit Super Kokoh Pajajaran Dibangun Prabu Siliwangi
Saat raja Prabu Siliwangi memimpin, modernisasi mulai digiatkan untuk keutuhan keraton. Menurut naskah kuno Batu Tulis (1533) dalam Hitam Putih Pajajaran: Dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan karya Fery Taufiq El-Jaquene disebutkan bahwa pembangunan paling mutakhir di masa itu adalah ketika Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi membangun parit besar yang mengelilingi istana Pakuan Pajajaran di wilayah Bogor.
Namun, makna parit di sini multitafsir karena ada juga yang menyebut jika parit merupakan sebuah benteng megah dan dibangun kokoh sehingga tidak ada yang dapat menjebolnya. Lalu, disebut juga sebagai kolam raksasa nan dalam yang mengelilingi istana.
Benteng atau parit ini pun dijaga siang dan malam oleh pasukan yang kuat dan selalu mematuhi perintah raja.
“Pada kedua tepi (benteng) diapit oleh parit yang dalam dan mengerikan dan benteng yang tinggi atau benteng Jawa,” sebut Abraham Van Riebeeck yang menulis laporannya tentang sisa reruntuhan istana Pajajaran, 15 Mei 1704.
Parit Raksasa Dibangun untuk Melindungi Rakyat
Meski masih belum diketahui secara pasti parit yang dimaksud adalah dinding atau kolam yang sangat dalam, namun dalam catatan lain disebutkan bahwa ini serupa dinding tebal yang besar.
Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi membangun benteng atau parit ini sebagai upaya untuk melindungi rakyat dari serangan mendadak. Sebagai raja, ia memiliki insting yang kuat agar rakyatnya tetap aman bersama seluruh penghuni kerajaan.
Dalam catatan Bujangga Manik, dikatakan bahwa penghalang ini dibuat berlapis sebelum memasuki kerajaan Pajajaran.
“Untuk memasuki kerajaan harus membuka pintu gerbang yang terletak di dekat Sungai Cipakancilan. Ini memberikan gambaran bahwa ibu kota kerajaan Pajajaran dikelilingi benteng besar nan kokoh. Dan setiap yang ingin masuk ke Pakuan Pajajaran harus melewati benteng tersebut yang dijaga prajurit kuat,” tulis Bujangga Manik dalam buku tersebut.
Masa Kehancuran Kerajaan Pajajaran Oleh Ratu Sakti
Di masa kepemimpinan Ratu Sakti, kondisi Pajajaran mulai kacau. Ia merupakan raja keempat yang dikenal semena-mena dalam memimpin, dan tidak menaruh perhatian terhadap kondisi internal kerajaan.
Karena arogansinya ini, Ratu Sakti sampah dimusuhi oleh rakyatnya. Bahkan, tokoh agama yang paling dihormati dan dikenal sebagai pendeta juga ia lawan serta tidak dihormati.
Akibat dari perbuatannya, terjadi banyak pemberontakan dan upaya-upaya menghancurkan kekuasaan Ratu Sakti. Di masa berikutnya, terjadi perpecahan besar hingga internal kerajaan berhasil ditembus dan kerajaan sudah tidak bisa diselamatkan.
Benteng Kokoh Dijebol oleh “Orang Dalam”
Mengutip Wikipedia, sempat terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Pajajaran setelah ditinggalkan Ratu Nilakendra. Namun, kekuasaan lekas diambil oleh Prabu Surya Kencana atau Raga Mulya.
Di masa ini, Raga Mulya gagal mempertahankan keutuhan kerajaan Pajajaran. Sisa-sisa pemberontakan masih terjadi di masa itu, termasuk di kalangan internal. Karena raja bersama punggawanya sibuk membenahi kerajaan, sehingga rakyat dan prajurit di lini bawah kurang diperhatikan.
Pada suatu hari, terjadi pembobolan benteng kokoh oleh “orang dalam”. Parit yang sangat dalam dan besar, serta benteng kokoh nan tinggi berhasil ditembus oleh Ki Joglo yang merupakan kepercayaan dari Sultan Maulana Yusuf raja dari Kesultanan Islam Banten.
Usut punya usut, Ki Joglo merupakan saudara dari komandan penjaga benteng dan parit kokoh itu. Ia diizinkan menyelinap, setelah gerbang dibukakan oleh komandan yang merasa sakit hati oleh kepemimpinan Raga Mulya.
“Komandan penjaga gerbang merasa sakit hati karena telah diabaikan. Selama ia menjabat tidak pernah diberi gelar yang mendorong pangkatnya naik,” tulis Fery Taufiq penulis buku Hitam Putih Pajajaran.
Terlebih setelah itu, batu untuk penobatan raja kemudian diambil alih oleh pasukan Kesultanan Banten sehingga di masa-masa setelahnya tidak ada lagi penobatan. Sejak itu, Kerajaan Pajajaran jadi mudah diserang hingga akhirnya runtuh pada 1579.