Ilmuwan Google Menguak Potensi Asal Usul Kehidupan Pakai Bahasa Pemrograman
Ilmuwan Google mencoba mengutak-atik asal usul kehidupan menggunakan bahasa pemrograman. Hasilnya mengejutkan banyak ilmuwan.
Eksperimen yang dilakukan oleh tim peneliti Google telah menarik perhatian. Mereka melakukan simulasi yang berhasil meniru proses evolusi digital.
Simulasi ini menunjukkan bahwa data acak dapat menghasilkan program yang mampu mereplikasi diri. Temuan ini diterbitkan sebagai studi yang belum diuji, menimbulkan diskusi mengenai apakah kehidupan digital bisa memberikan petunjuk tentang asal usul kehidupan biologis di Bumi.
-
Siapa yang meneliti asal-usul kehidupan? Mengutip Vox, Selasa, (31/10), menjelaskan bahwa selama beberapa dekade sebelumnya, para ilmuwan, Harold Urey dan Stanley Miller pada 1950-an pernah melakukan percobaan untuk membuat rekaan kehidupan Bumi pada masa ketika masih dipenuhi oleh air. Pemikiran ini bermula karena ingin mengetahui proses pembentukan sel pertama yang ada pada miliaran tahun lalu. Sebab, dengan melakukan ini mereka akan menemukan sejarah awal bagaimana dimulainya kehidupan di Bumi.
-
Siapa pencipta Google? Siapa yang Menciptakan Google? Google, yang kini menjadi elemen penting dalam kehidupan digital kita, diciptakan oleh dua inovator teknologi, Larry Page dan Sergey Brin.
-
Apa yang Google kembangkan? Google kembali membuat gebrakan di bidang teknologi kesehatan dengan mengembangkan program kecerdasan buatan (AI) yang dapat memprediksi tanda-tanda awal penyakit berdasarkan sinyal suara.
-
Bagaimana Google dibentuk? Mereka, yang merupakan mahasiswa pascasarjana di Stanford University, menciptakan mesin pencari inovatif ini pada tahun 1998.
-
Apa Google itu? Google, yang kini menjadi elemen penting dalam kehidupan digital kita, diciptakan oleh dua inovator teknologi, Larry Page dan Sergey Brin.
-
Kapan Google didirikan? Pada tanggal 4 September 1998, Page dan Brin secara resmi mendirikan Google Inc. sebagai perusahaan.
Proses yang digunakan oleh tim peneliti Google ini menggunakan bahasa pemrograman minimalis yang dikenal sebagai Brainfuck.
Mengutip dari Futurism, Minggu (29/9), dalam eksperimen ini, data acak dibiarkan berinteraksi satu sama lain tanpa aturan yang diberlakukan. Mereka menyebut simulasi ini sebagai "sup purba digital," yang meniru konsep sup purba biologis yang mungkin pernah ada di Bumi.
Hasilnya, tim peneliti Google menyaksikan bagaimana program-program yang dapat mereplikasi diri mulai terbentuk. Fenomena ini mengingatkan pada proses terbentuknya kehidupan di Bumi, di mana campuran air dan senyawa organik membentuk organisme pertama. Namun, proses ini masih belum sepenuhnya dipahami.
"Berhasil mengembangkan program replikasi diri dari titik awal yang acak adalah pencapaian yang luar biasa,” ujar Susan Stepney dari peneliti dari Universitas York.
Stepney juga menambahkan bahwa pencapaian ini adalah langkah besar dalam memahami rute potensial menuju asal usul kehidupan. Menurutnya, eksperimen ini membuka pintu bagi kita untuk mempelajari lebih lanjut tentang proses kehidupan, tetapi dalam media yang sangat berbeda dari biologi standar.
"Ini jelas merupakan langkah besar menuju pemahaman rute potensial menuju asal usul kehidupan, di sini dalam media yang cukup jauh dari 'perangkat lunak basah' biologi standar," ujarnya kepada New Scientist.
Peneliti studi ini, Ben Laurie, seorang insinyur perangkat lunak di Google, menyatakan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa ada mekanisme bawaan dalam fisika yang memungkinkan kehidupan terbentuk. Laurie menjelaskan bahwa tidak ada sihir atau keajaiban dalam proses ini, hanya interaksi fisika yang berulang dalam jangka waktu yang sangat lama.
"Fisika terjadi, dan itu terjadi berkali-kali dalam waktu yang sangat lama, dan memunculkan beberapa hal yang sangat rumit," katanya.
Meski begitu, para ahli memperingatkan bahwa hanya karena program dapat mereplikasi diri, bukan berarti itu sudah bisa dianggap sebagai kehidupan.
Replikasi diri adalah salah satu elemen penting, tetapi bukan satu-satunya yang diperlukan untuk menciptakan kompleksitas yang biasanya kita digunakan dengan kehidupan.
"Replikasi diri itu penting, tetapi keliru jika mempercayai bahwa replikator diri adalah peluru ajaib yang secara otomatis menghasilkan semua hal menarik tentang kehidupan," kata Richard Watson dari Universitas Southampton.
Simulasi ini menunjukkan bahwa meskipun proses kehidupan digital masih jauh dari sempurna, ada potensi besar untuk memahami lebih lanjut bagaimana kehidupan dapat berkembang di luar dunia biologis.
Reporter magang: Nadya Nur Aulia