Ironi Kerusakan Sawah Jambi & Bisnis Gelap yang Menggiurkan
4.000 hektare lingkungan yang rusak di Kabupaten Merangin akibat PETI.
Habisnya area sawah bermula dari bisnis tambang emas ilegal, kemudian bergeser menjadi bisnis jua beli pasir.
Ironi Kerusakan Sawah Jambi & Bisnis Gelap yang Menggiurkan
Aliran sungai membelah Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi, kini berwarna cokelat pekat. Permukaan airnya bak kerak mengambang. Terbelah-belah. Bercampur tumpukan batu dan pasir menjadi bukit-bukit kecil.
Kecamatan Pangkalan Jambu dulu begitu hijau. Hamparan sawah membentang sejauh mata memandang. Sayang, kini berubah drastis. Demi bisnisnya, pemodal besar mengalihfungsikan area sawah menjadi pertambangan emas tanpa izin (PETI). Para cukong kaya melumat lahan persawahan menjadi pertambangan emas tanpa izin (PETI) satu dekade lebih.
"Saya sepuluh tahun menolak tambang emas. Tapi ada pemodal besar, orang terpandang di kampung yang berani melangkahi hukum adat. Orang ini menambang pakai alat berat. Aliran sungai pun diputus dan dialihkan."
Kata Uncu lirih saat berbincang melalui sambungan telepon, Selasa (6/2/2024) waktu lalu.
Uncu -bukan nama sebenarnya- adalah warga Pangkalan Jambu. Dia prihatin melihat kampungnya yang dulu hijau diobok-obok bisnis PETI.
Kesabarannya habis kala melihat aliran Sungai Pangkalan Jambu diputus. Sawah petani kini kering. Produksi padi turun drastis.
Kondisi petani yang frustasi dimanfaatkan para pemodal berkantung tebal. Mereka dibujuk rayu agar mau bekerja sama dan dijaminkan hidup lebih sukses. Sadar ekonomi keluarga tak lagi bergerak, satu per satu warga kepincut. Mereka nekat meninggalkan tradisi bersawah, beralih menjadi penambang emas ilegal.
Pertambangan PETI yang masif menghilangkan lebih kurang 600 hektare sawah, dari total 3.390 hektare sawah di 12 kecamatan di Kabupaten Merangin. Parahnya lagi, alih fungsi lahan sawah itu juga mengancam ketahanan pangan di Jambi di tengah pasokan beras yang bertahun-tahun selalu mengalami defisit lebih dari 40 persen.
Dampak keberadaan PETI juga membuat lahan sawah produktif terdampak. Merkuri sisa dari aktivitas menambang emas secara ilegal telah mencemari sungai Batanghari. Hal itu diketahui setelah Dosen Universitas Jambi, Ngatijo, melakukan riset.
Temuannya, merkuri di air sungai memang berfluktuasi pada kisaran <0,0005-0,0645 mg/L. Sedangkan pada sedimen sungai terdeteksi dengan kisaran 0,01-0,42 mh/kg. Tentu sangat berbahaya untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali.
Bagaimana mungkin gabah akan berkualitas jika pengairan yang dipakai berasal dari air sungai yang sudah tercemar. Bahkan dalam riset itu pula, dia menemukan merkuri juga sudah masuk ke dalam tanah. Lucunya lagi, tanah bekas tambah juga mereka garap lagi sebagai area persawahan. Padahal, sudah tak mungkin lagi ditanami padi karena hanya akan membahayakan bila dipanen untuk dikonsumsi.
"Kandungan merkuri dalam beras dari lahan bekas tambang disarankan tidak dikonsumsi karena membuat manusia cacat. Bahkan cemaran merkuri dapat menurun ke anak secara genetik," ujarnya.
Sekadar diketahui, kebutuhan beras di Jambi dengan jumlah penduduk sekitar 3.677.678 jiwa yakni sebanyak 89,7 kilogram/kapita/tahun atau sekitar 329.888 ton. Sedangkan produksi gabah kering giling (GKG) tahun lalu hanya 274.557 ton, yang apabila dikonversi ke beras sekitar 178.462 ton.
Tak sekadar persoalan ketersediaan bahan pangan, bisnis PETI membuat lingkungan sekitar kian memprihatinkan. Banjir kerap melanda Jambi. Bahkan di 2015 lalu, banjir di Desa Tiga Alur, Kecamatan Pangkalan Jambu, menewaskan satu orang.
Begitu juga sumber air bersih di Merangin yang terus menyusut. Masyarakat terpaksa membeli air.
Pasir Tambang Ilegal Gagal jadi Bisnis Baru
Maraknya penambangan ilegal di Kabupaten Merangin tak serta merta berjalan mulus. Tidak semua area bisnis PETI berjalan sukses. Ada yang gagal hingga membuat pemodal dan para pekerja putar otak menghidupi bisnis mereka.
Salah satu cara yang dilakukan adalah menjual pasir yang ada di area pertambangan emas untuk proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Kebetulan, sekitar 30 kilometer dari Pangkalan Jambu, sedang dibangun PLTA Batang Merangin. PLTA ini dibangun PT Kerinci Merangin Hindro (KMH).
"Kalau sekarang emas sudah susah dicari. Tersisa batu dan pasir yang ditumpuk-tumpuk di lahan bekas sawah. Daripada tidak bisa dimanfaatkan, maka mereka jual ke Perusahaan (KMH)," kata Uncu.
KMH adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembangkit listrik tenaga air milik grup usaha PT Bukaka Teknik Utama Tbk. Informasi dihimpun, KMH membutuhkan banyak pasir karena harus membangun bendungan setinggi 120 meter dan menggali terowongan bawah tanah sekitar 11,6 kilometer untuk proyek PLTA tersebut. Sehingga membutuhkan pasokan pasir dan batu yang besar untuk pembangunan tersebut.
Disebut-sebut, nilai pembangunan megaproyek ini mencapai triliunan. Bila nantinya beroperasi, proyek energi bersih tenaga air ini akan menghasilkan listrik 350 megawatt.
Sebagian besar pasir yang disuplai untuk membangun bendungan tersebut didatangkan dari Pangkalan Jambu. Pasir didapat dari sisa tambang emas ilegal yang usianya pendek. Dari dokumen penimbangan pasir KMH tahun 2023 yang diperoleh redaksi, salah satu perusahaan di Pangkalan Jambu yang menyuplai pasir adalah sebuah perusahaan yang berpusat di Bangko dan beroperasi di Desa Sungai Jering. Namun, saat ini perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi karena tidak memiliki kontrak dengan PLTA.
“Sekarang warga sudah punya perusahaan sendiri. Sudah ada izin untuk memasukkan batu ke PLTA,” kata Uncu.
Menurut Uncu, pada 2023 lalu pasir dari Pangkalan Jambu yang mengalir ke proyek itu mencapai ribuan ton sehari. Satu perusahaan bisa mengirim sampai 1.400 ton pasir per hari. Pasir-pasir itu digunakan KMH untk meninggikan bendungan yang mengadang aliran Sungai Batang Merangin.
Sumber merdeka.com mengatakan, tahun ini hanya ada dua perusahaan yang memiliki kontrak memasok pasir ke PLTA. Pemasok dari Sungai Manau dan Pangkalan Jambu atau Perentak.
Pembatasan pasokan yang dilakukan PLTA membuat perusahaan di Perentak hanya bisa mengirim 2.000 ton pasir setiap dua minggu. Dari jumlah itu, dalam satu ton, perusahaan ini dapat mengantongi Rp320 juta. Artinya dalam sebulan bisa menghasilkan Rp640 juta.
Tetap kini pasokan pasir hanya 15-30 truk sehari seiring pembangunan bendungan dan terowongan yang hampir rampung. Tiap truk memiliki bobot sekitar 14 ton.
Dikonfirmasi terpisah, Humas PT KMH, Aslori Ilham membenarkan material pembangunan PLTA disuplai oleh dua perusahaan pemasok pasir di Perentak dan Sungai Manau.
"Perusahaan dari Perentak itu memang memasukkan bahan baku pasir ke PLTA. Kami juga membeli bahan baku sesuai dengan titik koordinat. Kami hanya membeli pasir," katanya, saat dikonfirmasi oleh Merdeka.com pada Kamis (07/03).
Dia memastikan langkah perusahaan membeli bahan baku pasir dari Perentak karena suda ada IUP dan titik koordinat dari perusahaan. Begitu juga untuk pemasok dari Sungai Manau. Saat ini, jumlah pasir yang dipasok tak terlalu banyak karena pekerjaan sudah hampir rampung.
"Tapi untuk saat ini tidak banyak lagi dikarenakan pembangunan hampir selesai,” ujarnya.
Aslori menyebut dalam satu bulan pasokan pasir yang masuk ke KMH mencapai 1.000 ton. Jumlah itu tak pasti karena bergantung pada kebutuhan pembangunan PLTA.
"Kita juga tahu bahwa dari Perentak itu banyak tidak memiliki izin. Karena itu, pihak perusahaan sudah memutus kontrak."
PETI Hancurkan Ekologi
Ragam bisnis tambang ilegal yang tumbuh subur di Jambi tentu tak bisa dibenarkan atas nama apapun. Manager Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf mengatakan, penambangan emas ilegal sagat merusak alam. Mereka harus mengeruk alur sungai, sempadan sungai bahkan menghilangkan tutupan hutan di atasnya. Jelas sangat berbahaya secara ekologi.
Perilaku merusak lingkungan ini jelas menimbulkan ancaman bencana banjir dan longsor yang tak main-main. Daerah-daerah yang dulunya aman kini banjir parah,
Sedimentasi karena aktivitas penambangan emas membuat sungai dangkal. KKI Warsi mencatat, pada tahun 2021 sebanyak 20 kali banjir melanda Kota Jambi, Batanghari, Muarojambi, Sarolangun dan Kerinci. Bencana hidrologi ini mengakibatkan dua orang meninggal dunia, 6.265 rumah terendam, 635 hektare lahan terendam.
KKI Warsi mencatat setiap tahun area penambangan emas ilegal semakin meluas. Pada 2016, tercatat 10.926 hektare lahan di Kabupaten Sarolangun dan Merangin menjadi area tambang emas ilegal. Kemudian tahun 2017 naik drastis menjadi menjadi 27.535 di Kabupaten Sarolangun, Merangin dan Bungo.
Luasan area itu melonjak jadi 33.832 ha pada 2019 di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Pada tahun 2020 mencapai 39.557 ha dan pada 2021, wilayah tambang ilegal sudah mencapai 42.362 ha.
“Perluasan area tambang ilegal itu mencapai 288 persen pada 2021 jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2016,” ujar Rudi.
Praktik PETI Rusak Alam Makin Menggila
Rudi menuturkan penambangan emas setiap dekade mengalami peningkatan teknologi. Dengan demikian daya rusaknya sangat masif. Awalnya, penambangan emas dilakukan secara tradisional dengan mendulang di pinggir sungai. Namun sejak tahun 2000-an, penambangan emas menggunakan mesin dompeng.
Alat itu mampu mengisap sedimen sungai dan membawanya ke saringan khusus. Di tempat ini, pasir, kerikil dan lumpur akan terpisah dengan butiran emas dengan bantuan merkuri.
Saat alat ini bekerja, ada ratusan dompeng yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Perlahan air menjadi keruh. Setelah emas di alur sungai mulai habis, para penambang emas kembali berinovasi. Area penambangan tidak lagi berada di sungai utama, melainkan merambah anak-anak sungai menggunakan alat berat.
“Semakin meluas, tidak hanya sungai melainkan sawah, kebun karet, ladang bahkan hutan lindung,” kata Rudi.
Sosialisasi Pemda
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Merangin, Safrani, mengakui tambang di Perentak dan sekitarnya ilegal. Dia juga mengakui praktik itu sangat merusak lingkungan.
Praktik ilegal itu telah membuat wilayah Perentak yang memiliki badan sungai yang sesuai dengan alam namun diubah penambang ilegal dengan mengahlikan sungai sesuai peruntukannya dan menyebabkan bencana alam.
“Jadi dampak dari para penambang Peti ini banyak terjadi kerusakan lingkungan baik itu bencana banjir bandang. Itu pun sudah terjadi di sana? itu semua ulah dari masyarakat tersebut."
Kata Safrani
Dia pastikan, pemda terus berupaya memberikan sosialisasi pada warga bahaya menambang secara ilegal.
Saat ini, katanya, 4.000 hektare lingkungan yang rusak di Kabupaten Merangin akibat PETI.
Menurutnya, 80 persen sawah di wilayah kecamatan Sungai Manau sudah digunakan oleh masyarakat menjadi PETI, sehingga membuat aktivitas pertanian di sana menurun sekali. Tetapi saat ini upaya peremajaan area sawah agar kembali produktif masih terus diusahakan.
"Saat ini pemerintah fokus untuk mengembalikan menjadi sawah kemudian kita juga sudah mengeluarkan filled project penanaman sawah kembali," katanya.
Artikel ini adalah bagian dari fellowship program For The People