Hari Buku: Gatolotjo dan Darmogandoel, Karya Legendaris yang Bangkit dari Pelarangan
Tan Khoen Swie telah menunjukkan bahwa satu orang bisa mengubah wajah literasi. Pertanyaannya kini: siapa yang akan melanjutkan nyalanya?

“Anjariosaken Bantahinipun Gatolotjo Tanding Kalijan Dewi Perdjiwati, Dados Lambang Pamoring Djalu Wanito, Tuwin Dumadosipun Widjining Menuso.”
Kalimat lawas ini pernah menghiasi sampul depan buku Gatolotjo, sebuah karya adiluhung dari masa silam yang diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie (TKS) di Kediri. Ditulis oleh R.M. Suwandi dari Surakarta, buku ini bersama Darmogandoel pernah menjadi bagian dari etalase sastra Nusantara.
Namun, keduanya juga pernah dianggap “terlarang” pada era Orde Baru karena dinilai melecehkan nilai-nilai agama.
Padahal di masa Hindia Belanda, karya-karya seperti Gatolotjo beredar bebas dan menjadi bacaan populer, dijual seharga 1,75 gulden. Buku ini adalah representasi zaman, ketika literasi tumbuh bukan dari institusi negara, melainkan dari keberanian penerbit-penerbit kecil—termasuk Tan Khoen Swie, seorang Tionghoa pribumi yang mendirikan imperium penerbitan dari kota kecil: Kediri.
Putra bungsu TKS, Michael Tanzil, beberapa tahun lalu menerbitkan ulang Gatolotjo sebagai upaya menghidupkan kembali warisan ayahnya. Namun, publikasi ulang itu juga mengingatkan kita akan kenyataan pahit: bahwa buku-buku seperti ini kini hanya hidup dalam koleksi museum, perpustakaan kraton, atau ruang baca kampus luar negeri seperti Universitas Groningen, Belanda. Sementara di negerinya sendiri, buku-buku warisan agung itu perlahan menghilang ditelan arus zaman.
Lebih miris lagi, saat kita memperingati Hari Buku Dunia pada 23 April Indonesia justru sedang menghadapi darurat literasi. Menurut survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, Indonesia menduduki peringkat bawah dalam hal kemampuan membaca siswa. Ironis, di negeri yang pernah memiliki penerbit legendaris seperti Tan Khoen Swie, budaya membaca kini berada di ujung tanduk.
Padahal Pemerintah Kota Kediri sempat memberikan ruang untuk mengenang dan meneruskan jejak intelektual itu. Pada tahun 2006 dan 2008, di bawah Wali Kota H.A. Maschut, Pemkot Kediri mencetak ulang Serat Babad Khadiri karya Mas Ngabehi Purbowidjaja dan Mas Ngabehi Mangoenwidjaja. Naskah asli berbahasa Jawa Hanacaraka itu pertama kali diterbitkan TKS pada 1932, kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh almarhumah Siti Halimah Soeparno, guru Bahasa Jawa di Kediri.
Kini, di tengah euforia digital dan konten instan, nama Tan Khoen Swie mungkin asing di telinga generasi muda. Namun jejaknya masih tertulis dalam sejarah perbukuan Indonesia sebagai bukti bahwa semangat literasi pernah menyala dari sudut kota kecil, bukan dari pusat kekuasaan.
Sudah saatnya Indonesia kembali menyalakan lentera baca. Bukan hanya dengan membangun gedung perpustakaan, tetapi juga dengan merawat karya, menghargai sejarah penerbitan, dan menjadikan buku sebagai bagian dari peradaban, bukan sekadar simbol seremonial.
Tan Khoen Swie telah menunjukkan bahwa satu orang bisa mengubah wajah literasi. Pertanyaannya kini: siapa yang akan melanjutkan nyalanya?