Kisah Lurik Sekar Asri asal Klaten yang Ingin Memanusiakan Manusia
Siti Rohmah (43) dan Riyanto (46) merupakan salah satu perajin kain lurik yang masih bertahan di Desa Kedungampel, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten.
Mereka membuat aneka variasi kain tradisional khas Jawa tersebut, dengan menyesuaikan dengan pasar masa kini, seperti kemeja, blazer, kebaya sampai topi.
Sisi menarik dari usaha bernama Lurik Sekar Asri sendiri terdapat di prosesnya yakni ATBM alias alat tenun bukan mesin.
Ada banyak pegawai yang terlibat di usaha yang mereka rintis, dan seluruhnya merupakan warga di sekitar tempat tinggal.
Kisah upaya Siti Rohmah dan Riyanto kemudian menginspirasi karena melalui selembar kain lurik, terdapat upaya memanusiakan manusia.
Demi menyambung hidup di tengah kondisi ekonomi yang masih belum 100 persen pulih semenjak pandemi Covid-19 beberapa tahun silam.
Berikut kisahnya.
Merangkul Warga dalam Memproduksi Lurik
Kepada Merdeka.com, Jumat (26/4) lalu, Siti Rohmah mengatakan bahwa ketika awal berdiri usaha lurik di tempatnya langsung melibatkan warga sekitar.
Saat itu di tahun 2018, mereka berhasil memberdayakan sebanyak 33 warga sekitar, yang rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun.
Kebanyakan warga setempat bekerja sebagai petani, namun dengan kondisi ekonomi yang belum stabil setelah pandemi Covid-19 empat tahun ke belakang.
“Dulu sebelum Covid-19, penenunnya saya itu ada 33 dan dikerjakan dari rumah masing-masing. Jadi niatnya itu membantu perekonomian warga yang terdampak pandemi,” kata Siti Rohmah
Mereka kemudian mendapat tugas untuk memintal benang, mengecilkan ukuran, memberi warna sampai menenun menjadi kain lurik setengah jadi. Hasil dari warga kemudian disempurnakan di garmen milik Siti untuk dijadikan aneka variasi kain lurik.
berita untuk kamu.
Ajak Warga Agar Tetap Produktif
Beberapa bulan belakangan, pesanan lurik kasar yang menjadi produk andalan Siti Rohmah mengalami penurunan.
Kondisi ini membuat dirinya terpaksa merumahkan 33 pegawainya yang sebelum pandemi bekerja di tempatnya.
Ini dipicu adanya invasi lurik halus dari Bandung, dengan harga yang lebih murah. Sehingga, kain lurik kasar dengan proses produksi ATBM yang panjang dan lebih mahal menjadi sepi peminat.
Namun, Siti tak ingin warganya berhenti bekerja. Sehingga ia bersama Riyanto terus menawarkan produksi namun dengan skala kecil, salah satunya produk selendang untuk para petani bekerja di sawah.
“Jadi penurunan ini terjadi sejak Desember setelah maraknya lurik dari Bandung dengan harga yang lebih murah. Tapi kami tetap tawarkan untuk memproduksi, karena ada beberapa yang alat tenunnya dari kami, kami tawarkan untuk membuat selendang ke sawah daripada mereka nganggur, walau hasilnya sangat kecil hanya Rp170 ribu dalam sebulan, tetapi mereka tetap dapat pemasukan,” terang dia.
“Sedangkan kalau dulu saat masih ramai pesanan, satu kali proses yang dikerjakan warga bisa sampai Rp700 ribu, sedangkan kalau bisa dua kali dalam sebulan kan bisa Rp1,4 juta,” kata Siti Rohmah.
Tak Ingin Punya Karyawan Lepasan
Karena proses produksi yang rumit dan melibatkan banyak orang, keduanya benar-benar terbantu melalui tenaga dari masyarakat sekitar.
Kondisi ini akan semakin terasa ringan, ketika banyak orderan kain lurik untuk kebutuhan karnaval dan kebudayaan nasional
Namun, mereka memiliki prinsip agar karyawan yang bekerja bisa berlanjut. Artinya, para pegawai di sini diupayakan agar berkelanjutan dan bukan merupakan pegawai lepasan maupun Borongan.
“Kalau kami pinginnya mereka bisa bekerja tetap, dan kami tidak ingin menambah orang (lepasan) saat pesanan banyak. Jadi warga bisa tetap bekerja dan mendapatkan pemasukan rutin,” terang Siti.
“Semoga bisa tetap memanusiakan manusia,” tambah Riyanto.
Agar usahanya bisa tetap berlangsung, Siti Rohmah dan Riyanto saat ini terus mengupayakan produktivitas usahanya.
Tahun 2023 lalu, mereka meminjam fasilitas Kredit Usaha Pedesaan, yang salah satu peruntukannya untuk menambah anggaran produksi.
Sebelumnya, Riyanto sudah menjadi nasabah BRI sejak 1999 silam dengan meminjam Rp2 juta pada saat itu.
“Terakhir saya pinjam Rp200 jutaan lebih, untuk keperluan pribadi dan sisanya untuk membantu lurik,” terang Riyanto.
Riyanto dan Siti Rohmah berharap permintaan lurik tradisional bisa kembali meningkat, sehingga dirinya bisa kembali memberdayakan warga sekitar secara layak dan maksimal.
- Nurul Diva Kautsar
Bukan hanya manusia, ini sosok binatang paling berjasa dalam kemerdekaan Indonesia. Siapa yang dimaksud?
Baca SelengkapnyaKonon menurut cerita kedua pohon ini berasal dari sepasang pengantin yang bertengkar
Baca SelengkapnyaDi masa tuanya, ia masih harus bekerja untuk mengisi perut keluarganya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Itu perlu diantisipasi terutama kecelakaan lalu lintas dan kemacetan" ujar Slamet
Baca SelengkapnyaMengucek mata adalah kebiasaan yang sering dilakukan, tetapi pakar kesehatan mata setuju bahwa itu tidak sehat.
Baca SelengkapnyaDagangannya kerap tak laku. Hal ini membuatnya terpaksa harus melewati masa sulitnya di masa tua.
Baca SelengkapnyaMengapa orang Sunda memukul lesung saat terjadi gerhana bulan? begini kisahnya
Baca SelengkapnyaNida bersama suaminya kemudian membuat laporan Polisi.
Baca SelengkapnyaKulit keriput dan kendur adalah masalah kulit yang muncul seiring bertambahnya usia. Yuk, simak cara mengatasi keduanya hanya dengan satu jenis buah ini!
Baca Selengkapnya