
Heboh Isu Pandemi 2.0 di Tahun Ini, Begini Penjelasan Kemenkes dan IDI
Pandemi 2.0 diprediksi terjadi tahun 2023 ini.
Pandemi 2.0 diprediksi terjadi tahun 2023 ini.
Kabar pandemi 2.0 menghebohkan dunia maya. Isu tersebut mencuat usai ahli epidemiologi molekuler sekaligus praktisi kesehatan, Tifauzia Tyassuma membuat cuitan di akun media sosial X, yang sebelumnya Twitter.
Tifa, sapaan Tifauzia Tyassuma, menyebut gelombang pandemi 2.0 terjadi pada 2023. Prediksi ini maju dari perkiraan sebelumnya terjadi pada 2025.
“Pandemi 2.0 yang dijadwalkan tahun 2025, ternyata dimajukan, bukan di 2024, tetapi di 2023,” tulis Tifa di akun X, dikutip Rabu (13/9).
Tifa mengatakan, dalam waktu sebulan atau dua bulan ke depan, pemerintah akan menerapkan lockdown, work from home (WFH) dan pakai masker.
Menurut Tifa, pemerintah akan beralasan, pemberlakuan aturan tersebut untuk melindungi masyarakat dari bahaya polusi udara. Selain itu, akan ada chemtrails atau penaburan zat kimia di langit hingga rekayasa langit.
merdeka.com
Untuk menghadapi pandemi 2.0, Tifa mengimbau masyarakat meningkatkan imunitas. Membeli Ivermectin dan Hydroxychloroquine serta menjadi orang baik.
“Jadilah orang baik, perbaiki Ibadah, salat ditambah khusyu dan tepat waktu, rajin-rajin sedekah, perbanyak amal jariyah,” kata Tifa.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi merespons cuitan Tifa. Dia mengatakan, belum ada rujukan terkait istilah pandemi 2.0.
Nadia juga membantah pernyataan Tifa akan ada penerapan lockdown. Nadia mengatakan, pemerintah biasanya hanya menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau pembatasan tertentu bila terjadi wabah.
“Dan kebijakan ini tentunya melalui proses yang dikaji secara ilmiah,” sambung Nadia.
Saat ini, pemerintah memang mengimbau masyarakat bekerja dari rumah atau WFH serta menggunakan masker saat keluar rumah. Namun, kata Nadia, imbauan WFH dan menggunakan masker semata karena polusi udara.
Nadia kemudian menyinggung imbauan Tifa agar masyarakat membeli Ivermectin dan Hydroxychloroquine. Menurut Nadia, imbauan itu tidak berdasar pada kajian ilmiah.
“Anjuran membeli Ivermectin (obat cacing) dan Hydroxychloroquine untuk jaga-jaga tidak ada dasar ilmiahnya. Informasi ini disinformasi dan masyarakat untuk lebih hati-hati dalam membaca pesan,” ujar Nadia.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan, pernyataan Tifa soal pandemi 2.0 tidak mewakili IDI, melainkan pendapat personal.
"Bukan (dari IDI), itu pendapat personal," kata Adib, Kamis (7/9).
Adib mengatakan, masyarakat tak boleh percaya begitu saja pada informasi-informasi yang belum jelas pembuktian ilmiahnya.
"Saya kira dasar di dalam kita menyikapi problema kesehatan itu tentunya yang berdasar pada evidence based. Kita tidak melihat satu dasar dalam konteks informasi yang belum ada dasar-dasar ilmiah," kata Adib.
"Kami ingin mengimbau kepada masyarakat untuk mencari referensi terkait problematika kesehatan dari referensi utama. Artinya, kami dari Ikatan Dokter Indonesia atau himpunan dokter spesialis," kata Adib, dikutip dari Liputan6.com.
Muncul isu pandemi 2.0 terjadi tahun ini.
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kemenhub berupaya netral dalam melakukan penelitian atau pengungkapan terhadap rangka eSAF yang diisukan memiliki karat dan kropos di beberapa bagian.
Baca SelengkapnyaSementara dari hasil autopsi jasad Ai Maimunah, dokter menemukan adanya kerusakan pada organ tubuh, mulai dari kerongkongan hingga usus halus.
Baca SelengkapnyaMahasiswa UMM bikin kreasi permen pencegah diabetes.
Baca SelengkapnyaPemerintah telah mengumumkan perubahan dalam mekanisme penjaminan pelayanankesehatan terkait Covid-19
Baca SelengkapnyaPara ilmuwan mengungkap virus yang menginfeksi bakteri dalam kotoran hewan dan sedang menguji apakah bakteri ini ampuh sebagai antibiotik.
Baca SelengkapnyaPemeriksaan ini menggunakan metode nekropsi (bedah) dan patologi (pengecekan sel, jaringan dan organ).
Baca SelengkapnyaApakah minum kopi segalon bisa membahayakan kesehatan? Ini penjelasan dokter.
Baca Selengkapnya