Sejarah Rebo Wekasan di Masyarakat Tegal sebagai Tradisi Menolak Malapetaka
Masyarakat Tegal menyakini bahwa pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar, akan banyak bencana dan malapetaka yang menghantui.
Masyarakat Tegal menyakini bahwa pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar, akan banyak bencana dan malapetaka yang menghantui.
Dalam kalender Hijriyah, bulan Safar merupakan bulan ke dua dalam kalender Islam.
Urutannya adalah Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah, dan Zulhijjah.
Hingga saat ini, Tradisi Rebo Wekasan di Desa Sitanjung Lebaksiu Tegal masih terus dilaksanakan.
Masyarakat Tegal menyakini bahwa pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar, akan banyak bencana dan malapetaka yang menghantui.
Mengutip jurnal Rebo Wekasan dalam Ranah Sosial Keagamaan di Kabupaten Tegal Jawa Tengah (Analisis Terhadap Ritual Rebo Wekasan di Desa Sitanjung Lebaksiu) yang ditulis oleh Ahmad Nurozi, Rebo Wekasan merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat karena factor akulturasi budaya Jawa dengan Islam secara intensif.
Faktor yang melatar belakangi Rebo Wekasan adalah pembingkaian adat dan tradisi non Islam dengan nilai-nilai Islam tersebut dapat terwujud karena warisan budaya Jawa yang halus dapat dipertahankan dan menyatu apabila dipadukan dengan unsur-unsur Islam.
Tradisi Rebo Wekasan dilatarbelakangi adanya pendapat Abdul Hamid Quds yang dituangkan dalam kitab Kanzun Najah wa-Surur fi Fadhail al-Azminah wa-Shuhur.
Dijelaskan dalam kitab tersebut, setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi. Hari tersebut dianggap sebagai hari yang terberat sepanjang tahun.
Oleh karena itu, barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat, di mana setiap rakaat setelah surat al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali, lalu surat al-Ikhlas 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; kemudian setelah salam membaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.
Atas dasar pendapat dan kisah tersebut, sebagian masyarakat menyakini bahwa bulan Safar adalah adalah bulan sial sehingga harus mengadakan sebuah ritual untuk menolak bala bencana sebagaimana tradisi-tradisi selamatan lainnya yang diperingati untuk memperoleh keselamatan. (Foto : desasuci.gresikkab.go.id)
Dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa masih melakukan berbagai upaya agar terhindari dan bencana dan malapetaka tersebut,
seperti mencukur beberapa helai rambut dan tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga mereka.
(Foto : budaya.blog.unisbank.ac.id)
Selain itu, masyarakat banyak yang melaksanakan ritual shalat Rebo Wekasan, mengunjungi sanak saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang kemudian ditutup dengan pertunjukan wayang, mandi Safar di sungai. (Foto : budaya.blog.unisbank.ac.id)
Dalam bahasa Jawa, mlumah berarti terlentang dan murep artinya tengkurap.
Baca SelengkapnyaTradisi ini diharapkan dapat membantu anak untuk mengatasi kesulitan dalam hidupnya, terhindar dari rintangan, dapat mandiri dan tanggung jawab.
Baca SelengkapnyaTradisi upah-upah biasanya dilengkapi dengan jamuan kecil maupun besar serta doa dan selamat atas tercapainya suatu hal.
Baca SelengkapnyaTradisi Kepungan Tumpeng Tawon a dilakukan oleh masyarakat Desa Mangunweni Kebumen.
Baca SelengkapnyaUpacara ini sebagai wujud dari ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap para leluhur yang dilaksanakan setiap tahun pada hari tertentu.
Baca SelengkapnyaMauludan merupakan perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kemuja, Kabupaten Mendo Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Baca SelengkapnyaMasyarakat di Desa Margopatut Nganjuk memiliki tradisi Ngalor Ngulon terkait dengan syarat seseorang yang akan menikah.
Baca SelengkapnyaTradisi Menahan Hujan merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Mulyoagung, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban.
Baca SelengkapnyaTradisi Mantu Kucing dilakukan oleh masyarakat di Dusun Njati, Pacitan, Jawa Timur sejak 1960-an.
Baca Selengkapnya