Kala Cianjur jadi Ibu Kota Jawa Barat di Zaman Belanda, Maju karena Hasil Bumi namun Rawan Bencana Alam
Dahulu Cianjur pernah maju saat menjadi ibu kota Jawa Barat, komoditas kopi dan tehnya jadi andalan Eropa.
Dahulu Cianjur pernah maju saat menjadi ibu kota Jawa Barat, komoditas kopi dan tehnya jadi andalan Eropa.
Kabupaten Cianjur sempat disegani oleh pemerintahan kolonial Belanda di masa silam. Ini karena wilayah tersebut memiliki pemandangan yang indah dengan dataran tingginya dan hasil bumi yang melimpah.
Kemajuan wilayah Cianjur, dari yang sebelumnya merupakan bekas daerah kerajaan Sunda mulai terlihat saat masa kepemimpinan Raden Jaya Sasana atau Wiratanu I pada 1677. Ketika itu, wilayah Cianjur mulai memiliki pola administrasi modern dari yang hanya perkampungan tradisional bernama Nagari Cikundul.
Ini tak terlepas dari campur tangan VOC serta Mataram yang sempat memegang monopoli pemerintahan Cianjur, sebelum menyatakan diri untuk merdeka sebagai sebuah pemerintahan. Di masa Wiratanu I inilah, Cianjur mulai menggali potensi hasil bumi sebagai sumber pendapatan ekonomi.
Kemajuan Cianjur dibanding wilayah-wilayah pulau Jawa bagian barat lainnya kian terasa saat kepemimpinan Wiramanggala atau Wiratanu II pada 1691. Di masa ini, Cianjur statusnya berubah menjadi karesidenan dengan pemimpinnya yakni seorang bupati.
Sayangnya, kejayaan Cianjur sebagai ibu kota Priangan harus berakhir di tahun 1864 akibat bencana alam besar di masa itu.
Gambar Pendopo Cianjur di abad ke-20/Tropen Museum.
Mengutip Jurnal Metahumaniora Universitas Padjajaran berjudul “Priangan Abad ke-19, Tinjauan Sejarah dan Demografi” di laman pustaka.upad.ac.id, kawasan Cianjur di masa Wira Tanu sudah dikenal sebagai kabupaten dengan hasil bumi yang melimpah.
Ketika itu ada dua komoditas unggulan, yakni teh dan kopi dengan kualitas yang disukai oleh VOC. Ini menjadi peluang ekonomi baru bagi kemajuan wilayah Cianjur, hingga pemerintahan di sana terus menggenjot produksi teh dan kopi untuk keperluan ekspor.
Pembudidayaan komoditas ini terus dimaksimalkan hingga masa kepemimpinan Raden Astramanggala atau Wira Tanu III. Lewat pemerintahannya, hasil produksi teh dan kopi bisa mencapai 50 Kilogram dan terus naik sampai hampir 100 Kilogram.
Ratusan gulden kemudian masuk sebagai pendapatan daerah, yang digunakan untuk pembangunan wilayah tersebut.
Salah satu ciri kota modern adalah terdapatnya gedung pemerintahan terpusat, seperti Pendopo Cianjur. Gedung ini dibangun pada 1700-an, sebagai rumah dinas pemimpin setingkat gubernur di Cianjur.
Mengutip laman Protokol dan Komunikasi Kabupaten Cainjur, wilayah tersebut pernah menjadi sebuah kota modern dengan bangunan megahnya. Di gedung pendopo misalnya, kala itu dibuat dengan gaya permanen, campuran desain lokal dan Eropa.
Pada bagian depan bangunan tedapat teras dan pilar besar bergaya Eropa, serta pintu dan jendela berukuran besar. Atap terbuat dari genting dan bersusun untuk menutupi bangunan berongga dari batu berbentuk kuncup bunga.
Untuk bagian depan kompleks pendopo dijumpai lonceng logam berukuran cukup besar berangka tahun 1774 yang digantungkan pada tiang dari beton, sebagai penanda imbauan kepada masyarakat.
Dalam kurun waktu 1700-an sampai 1800-an, Cianjur banyak diterpa bencana alam. Beberapa di antaranya menyebabkan kerusakan berarti, seperti gempa bumi dan letusan Gunung Gede Pangrango.
Beberapa kali dilanda gempa besar membuat seisi kota mengalami porak poranda, hingga membutuhkan dana besar untuk membangunnya kembali. Walau demikian, statusnya masih sebagai ibu kota Jawa Barat, karena dianggap strategis dan dekat dengan pelabuhan Cirebon, Batavia serta Jawa Tengah (sisi selatan).
Pada masa ini, yang kepemimpinannya dilaksanakan oleh Wira Tanu III, wilayah Cianjur terus diperluas. Ini sebagai hadiah dari VOC karena produksi kopinya yang mampu memenuhi kebutuhan ekspor Eropa, termasuk tehnya.
Namun, seringnya terjadi bencana membuat Gubernur Jenderal yang berkuasa saat itu Ludolph Anne Jan Wilt, Baron Sloet van de Beele mengutus Residen Priangan, Christiaan Van Der Moore harus memindahkan pemerintahan Jawa Barat ke wilayah Bandung yang dianggap lebih aman.
Sebenarnya, selain karena bencana alam, wilayah Bandung yang kala itu sempat dianggap sebagai negeri antah berantah memiliki potensi ekonomi yang dianggap lebih baik.
Tanahnya tak kalah subur, karena bisa ditanami kopi, teh, komoditas lainnya bahkan kina. Karena peluang ini, membuat ibu kota Jawa Barat akhirnya dipatenkan di wilayah Bandung pada 1826.
Mengutip Youtube Jejak Siborik, ketika itu Kina menjadi komoditas paling laku di dunia karena kebutuhannya yang tinggi. Di Hindia Belanda saja permintaannya tak pernah sepi, karena manfaat kina yang salah satunya untuk menekah wabah.
Sejak itu, wilayah Jawa Barat terus berkembang menjadi daerah jajahan Belanda dengan komoditas kopi, teh dan kina yang menguntungkan.
Gambar Pendopo Cianjur yang jadi simbol kemegahan/Prokopim Cianjur
Ini dia emat kopi unggulan Jawa Barat yang asalnya dari Bandung. Ada yang beraroma cokelat sampai buah tropis
Baca SelengkapnyaJenis-jenis kopi Indonesia yang sudah mendunia dengan cita rasa khas dan unik.
Baca SelengkapnyaJatim punya ratusan desa devisa, jahe hingga bonggol jati laris di pasar luar negeri.
Baca SelengkapnyaKopi, minuman yang telah menemani pagi dan malam banyak orang di seluruh dunia, tidak hanya kaya akan rasa tetapi juga penuh dengan tradisi dan inovasi.
Baca SelengkapnyaPerkembangan komoditas karet di wilayah Aceh Timur tak lepas dari peran para pengusaha kolonialisme Belanda.
Baca SelengkapnyaRoti Sele Samahani ini jadi pendamping kopi yang nikmat.
Baca SelengkapnyaDulunya jenis kopi ini menjadi favorit Ratu Belanda yang diproduksi khusus dari biji kopi terbaik.
Baca SelengkapnyaTerdapat 122 ribu unit kendaraan dari arah Jakarta menuju Jawa yang melewati Jalan Tol Cipali
Baca SelengkapnyaPak Sukandar sudah lima tahun menjadi agen BRILink di tengah Pasar Induk Kramat Jati.
Baca Selengkapnya