Tradisi Unik Warga Trenggalek Menghitung Jumlah Saudara Dipercaya Berikan Keselamatan dan Keberkahan Hidup Dunia Akhirat, Begini Caranya
Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak zaman nenek moyang
Tradisi ini sudah dilakukan turun-temurun sejak zaman nenek moyang
Bulan Suro merupakan bulan suci dalam kalender Jawa. Masyarakat Jawa meyakini bulan ini penuh keberkahan. Mereka menjalankan berbagai ritual dan tradisi untuk memperoleh keselamatan, kebahagiaan, dan melindungi diri dari kejadian yang tidak diinginkan.
Warga Trenggalek punya tradisi unik yang dilaksanakan setiap 1 Muharram atau 1 Suro, namanya Ngitung Batih. Tradisi menghitung jumlah saudara ini dipercaya mendatangkan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.
(Foto: Pmekab Trenggalek)
Ngitung batih adalah menjumlah anggota keluarga per rumah. Arti ini juga berkaitan dengan jumlah uba rampe takir plonthang yang akan disiapkan.
Misalnya keluarga A berjumlah 7 orang, maka perlu dibuat takir plonthang sebanyak tujuh buah. Tujuannya untuk menyelamatkan batin dirisendiri agar jiwa dan raga tetap utuh, serta untuk memperoleh keselamatan, keberkahan, kebahagiaan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Tradisi yang sudah dilakukan secara turun-temurun ini juga diyakini bisa melindungi diri dari kejadian yang tidak diinginkan
Masyarakat Desa Dongko Kabupaten Trenggalek masih mempercayai mitologi Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan Jawa. Kepercayaan ini berkembang melalui kehadiran para penguasa kerajaan masa Mataram yang diyakini memiliki hubungan baik dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Masyarakat meyakini dan menghormati keberadaan cerita legenda yang berkembang di kawasan Desa Dongko. Menurut cerita tutur yang diyakini masyarakat, bulan Suro digunakan Kanjeng Ratu Kidul untuk mengadakan pesta sendiri.
Mengutip dari artikel Tradisi Ngitung Batih Suranan di Desa Dongko Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek (Kajian Folklor) karya Nadila Ratnasari, ubarampe utama dalam Tradisi Ngitung Batih Suranana adalah takir plonthang yang dibuat berdasarkan jumlah keluarga dalam setiap rumah. Takir itu kemudian digantung di depan gerbang rumahnya setiap warga.
Tujuan diletakkan di depan rumah untuk persediaan makan pada saudara, terutama anak buah Kanjeng Ratu Kidul yang akan melewati kawasan Desa Dongko ini. Masyarakat Dongko juga percaya bahwa mengikuti tradisi Ngitung Batih bertujuan untuk menolak hal-hal yang dapat membawa bencana.
Pelaksanaan tradisi Ngitung Batih dibagi dalam tiga tahapan, yakni tahap persiapan, pelaksanaan, serta tahap penutupan.
Tahapan ini terdiri dari beberapa kegiatan. Pertama, menyiapkan ubarampe. Kedua, keramas dan bebersih badan atau mandi besar menggunakan air sebagai penanda menyambut datangnya tahun baru bagi masyarakat Jawa.
Ketiga, mengundang saudara dan tetangga untuk kenduri. Biasanya kenduri ini dilakukan setelah zuhur atau setelah jam 12 siang, bisa juga dilakukan setelah magrib, tergantung kondisi dan kesiapan keluarga yang mempunyai hajat. Jumlah tetangga yang diundang terserah si empunya hajat.
Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan Kenduri Ngitung Batih Suranan, memanjatkan doa, kemudian makan bersama.
Tahap penutup terdiri dari uba rampe ambengan berupa takir plontang dan panjang ilangy ang telah didoakan digantung di pintu gerbang depan rumah yang mempunyai hajat. Takir plonthang yang diletakkan di sebelah kiri sebagai bentuk memohon keselamatan.
Sementara panjang ilang yang diletakkan disebelah kanan berisi cok bakal akan menjadi saksi wujud rasa hormat manusia kepada bumi dan alam semesta.
Saking serunya, tradisi Ngubyag sampai diikuti oleh warga luar kota.
Baca SelengkapnyaTradisi nadran yang dilakukan masyarakat pesisir Indramayu menyimpan makna khusus.
Baca SelengkapnyaTradisi ini diharapkan dapat membantu anak untuk mengatasi kesulitan dalam hidupnya, terhindar dari rintangan, dapat mandiri dan tanggung jawab.
Baca SelengkapnyaTradisi warga Karundang Tengah, Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten ini terbilang unik.
Baca SelengkapnyaPanitia menyiapkan 9 ton nasi, 14 ekor kerbau, dan 80 ekor kambing untuk tradisi Buka Luwur.
Baca SelengkapnyaWalau saling pukul pakai rotan, namun warga di sini tidak saling dendam
Baca SelengkapnyaTradisi ini digelar setahun sekali, tepatnya pada hari Rabu terakhir di Bulan Safar.
Baca SelengkapnyaTradisi ini digelar sebagai bentuk doa agar terhindar dari bencana dan selalu diberi hasil alam melimpah.
Baca SelengkapnyaWarga secara kompak menggotong rumah ke kampung tetangga untuk mengingat kejamnya tentara Jepang di masa penjajahan
Baca Selengkapnya