Mengulik Sara Wangahalo, Sistem Penanggalan Tradisional Milik Masyarakat Nias
Beberapa etnis suku di Indonesia mempunyai sistem penanggalan tradisional untuk kegiatan sehari-harinya.
Beberapa etnis suku di Indonesia mempunyai sistem penanggalan tradisional untuk kegiatan sehari-harinya.
Suku Nias merupakan kelompok masyarakat yang memiliki segudang kebudayaan tradisional yang sampai saat ini masih terus dilestarikan. Sebelum mengenal kalender Masehi, warga Suku Nias sudah memiliki sistem penanggalan sendiri yang bernama Sara Wangahalo.
Sara Wangahalo merupakan kalender tahunan yang digunakan oleh warga Suku Nias dalam kegiatan pertanian. Penentuan Sara Wanghalo sendiri berasal dari siklus bulan atau fase bulan yang memiliki perhitungan tertentu.
Tak hanya itu, sistem penanggalan Suku Nias ini juga kerap digunakan untuk menentukan hari baik dan hari buruk dan untuk memecahkan lahirnya kota Gunungsitoli, Ibukota Nias.
Penasaran dengan sistem penanggalan unik dari Nias? Simak ulasannya yang dihimpun dari beberapa sumber berikut ini.
Mengutip dari beberapa sumber, sistem penanggalan Suku Nias masih berkaitan dengan waktu musim pertanian dari menanam hingga panen. Mereka biasa menyebut penanggalan ini dengan istilah bulan, berpatok pada fase bulan selama 29 hinggga 30 hari.
Selama 30 bulan (hari) terbagi dalam 2 fase yaitu 15 Bulan terang dan 15 terakhir Bulan mati. Dalam 1 tahun pertanian terdiri dari 12 hingga 13 siklus bulan, sehingga terdapat perhitungan 354/355/383/384 dan seterusnya.
Dalam menentukan awal bulan, warga Suku Nias mengandalkan pada kemunculan bulan dengan istilah Bulan Sabit Kecil.
Melansir dari Jurnal Ilmu Falak dan Astronomi "Sistem Penanggalan Suku Nias Perspektif Ilmu Falak dan Astronomi" (2021), dalam siklus 1 periode musim pertanian, terdiri dari 19 tahun dengan siklus metonik dan diakhiri siklus tahunan pertanian.
Setiap menentukan awal tahun, mereka mengacu pada munculnya Bintang Orion.
Dalam acuan ini, disebut dengan istilah sistem penanggalan Luni-Solar yang mengandalkan Bulan dan Matahari untuk musim pertanian.
Selain digunakan untuk menentukan musim tanam, Sara Wangahalo juga digunakan untuk pengacuan atau penetapan bulan baik dan buruk.
Penentuan ini dilakukan dan hanya diketahui oleh seorang pemuka agama adat atau disebut Ere yang di mana setiap daerah memiliki ketentuannya masing-masing.
Hal ini tak lepas dari sistem kepercayaan warga Nias warisan nenek moyang yang menganut ajaran Animisme.
Bagi warga Suku Nias, penentuan bulan baik dan bulan buruk sudah menjadi tradisi dan kearifak lokal setempat. Tak sedikit dari mereka bersosialisasi dengan alam sekitar agar kehidupannya berjalan sesuai apa yang telah diharapkan.
Keuneunong ini diadaptasi dari zaman Sultan Iskandar Muda di mana saat itu Kerajaan Aceh memiliki sistem penanggalan sendiri yang berbeda dengan kalender Masehi
Baca SelengkapnyaTradisi perang pandan di Bali yang biasa sebabkan luka-luka para pemainnya.
Baca SelengkapnyaKemunculan dongkrek awalnya sebagai upaya menolak bala atas pagebluk atau wabah penyakit.
Baca SelengkapnyaPanitia menyiapkan 9 ton nasi, 14 ekor kerbau, dan 80 ekor kambing untuk tradisi Buka Luwur.
Baca SelengkapnyaTradisi ini terus dilestarikan masyarakat Sedulur Sikep agar tidak punah
Baca SelengkapnyaIndonesia tumbuh dengan ragam budaya. Setiap budaya memiliki kekhasannya tersendiri. Salah satu ciri khas dari ragam budaya ini adalah kain tradisional.
Baca SelengkapnyaTradisi Cembengan merupakan tradisi yang diadopsi dari etnis Tionghoa, yaitu Cing Bing.
Baca SelengkapnyaFamasulo, tradisi gotong royong antar masyarakat di Nias ketika pesta pernikahan akan berlangsung.
Baca SelengkapnyaDengan sistem gaji tunggal, PNS hanya akan menerima satu penghasilan.
Baca Selengkapnya