Kota Semarang Dulunya adalah Lautan, Begini Sejarahnya
Wilayah Kelenteng Sam Poo Kong dulunya berada di pinggir laut. Kini jaraknya sekitar 7 km dari bibir pantai
Wilayah Kelenteng Sam Poo Kong dulunya berada di pinggir laut. Kini jaraknya sekitar 7 km dari bibir pantai
Semarang merupakan kota terbesar di Jawa Tengah yang punya sejarah panjang. Namun tak banyak yang tahu, dalam sejarah geografisnya, pada 800 tahun lalu, daerah Semarang masih berupa lautan. Lalu apa buktinya?
Bukti pertama kalau dulu Semarang adalah lautan yaitu lokasi dari Kelenteng Sam Poo Kong yang menjadi tempat berlabuhnya Laksamana Cheng Ho.
Contoh ini bisa menjadi gambaran, terutama bagi masyarakat Semarang, mengingat jarak Kelenteng Sam Poo Kong dengan bibir pantai kini mencapai 7 kilometer.
Pada abad ke-15, Laksamana Cheng Ho mendarat di Pantai Simongan. Alasan pendaratan itu tak lain karena seorang juru mudi kapal bernama Wang Ji Hong mengalami sakit keras. Gua Batu yang ada di dekat situ dimanfaatkan menjadi tempat tinggal Cheng Ho untuk mengobati juru mudinya.
Wilayah pantai yang kini menjadi Kelurahan Ngemplak Simongan itu kini berada di tengah-tengah Kota Semarang, tepatnya di wilayah dekat Banjir Kanal Barat.
Sementara itu pada abad ke-9, wilayah Bergota, yang kini berada di tengah Kota Semarang, pada masanya menjadi pelabuhan tempat kapal-kapal besar berlabuh.
Bila dikaitkan dengan konteks saat ini, kawasan pelabuhan Bergota berada di sekitar Rumah Sakit Wira.
Pelabuhan tersebut dilindungi oleh Pulau Bergota. Wilayahnya tak hanya mencakup area Bergota yang dikenal saat ini. Bahkan lebih jauh lagi, Pulau Bergota mencakup pula daerah Mugas.
Pada saat itu, daerah Bergota masih bernama Pragota. Wilayah tersebut masih menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Kuno.
Daerah itu dulunya merupakan pelabuhan yang di depannya terdapat gugus-gugus pulau kecil. Akibat pengendapan, gugusan pulau itu menyatu membentuk daratan.
Pada akhir abad ke-15, Pangeran Made Pandan diketahui menyebarkan agama Islam di daerah perbukitan Pragota. Dari waktu ke waktu daerah itu makin subur.
Di sela-sela kesuburan itu, tumbuh Pohon Asam Arang, sehingga di kemudian hari daerah tersebut dinamakan “Semarang”.
Pada masa setelahnya, wilayah yang memanjang dari Simongan hingga Pasar Bulu berkembang menjadi pelabuhan utama dan satu garis pantai dengan wilayah Laksamana Cheng Ho berlabuh.
Seiring waktu, wilayah Pelabuhan Bergota mulai menjadi daratan. Sekarang Bergota telah menjadi wilayah pemakaman umum.
Bukti geologis yang menunjukkan kalau dulu Semarang adalah lautan berada di Kelurahan Gisikdrono. Di daerah tersebut, banyak ditemukan kerang dengan spesies Balamnus sp yang menjadi ciri dari wilayah pesisir.
Alasan utama yang menjadikan dataran Semarang meluas karena pendangkalan yang cukup parah pada masa itu. Ahli Geologi Belanda Prof. van Bemmelen menyebutkan pergeseran garis pantai saat itu mencapai 8 meter setiap tahun.
Bahkan wilayah sekitar Candi yang berada di daerah perbukitan dulunya masih terkena gelombang laut pada kaki-kaki bukitnya.
Wilayah yang terletak di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) dulunya dikenal sebagai kota yang kaya akan rempah-rempah.
Baca SelengkapnyaJembatan yang satu ini konon menjadi jembatan tertua yang ada di Pulau Sumatera.
Baca SelengkapnyaDulunya Kuningan merupakan wilayah permukiman dan kerajaan.
Baca SelengkapnyaSuku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.
Baca SelengkapnyaPulau yang terletak di Teluk Painan ini dulunya merupakan benteng pertahanan Portugis yang digunakan sebagai loji Belanda untuk perdagangan lada.
Baca SelengkapnyaBanyak warga pulau ini merantau ke kota-kota besar demi mendapatkan penghidupan lebih layak.
Baca SelengkapnyaTanaman ini dibawa oleh orang-orang Belanda ke Nusantara.
Baca SelengkapnyaJembatan ini diapit oleh kawasan perbukitan yang hijau, ditambah dengan aliran Sungai Serayu yang luas
Baca SelengkapnyaSebuah daerah khusus peternakan ini dikenal mirip seperti padang rumput yang berada di Selandia Baru dan didirikan langsung oleh Pemerintah Hinda Belanda.
Baca Selengkapnya