Sejak Kecil Anak-Anak Israel Sudah Didoktrin untuk Membenci Orang Palestina, dari Buku Sekolah Sampai Nyanyian
Sudah tidak aneh lagi jika anak-anak Israel merayakan genosida di Gaza.

Sebuah video yang beredar di media sosial memperlihatkan anak-anak sekolah dasar di Israel merayakan kelulusan dengan menyanyikan lagu puji-pujian bagi militer Israel sambil membawa senjata mainan memperagakan gerakan menembak.
Penampilan ini merupakan bagian dari pola yang lebih luas dari militarisasi dan indoktrinasi dalam masyarakat Israel, seperti yang dibuktikan oleh upaya sejarah dan berkelanjutan untuk membentuk identitas nasional dan sikap terhadap warga Palestina melalui pendidikan dan media.
Pada November 2023, satsiun televisi Israel, Kan, mengunggah video di halaman X resminya yang menampilkan anak-anak Israel menyanyikan lagu yang merayakan genosida terhadap warga Palestina di Gaza. Video tersebut dihapus setelah mendapat reaksi keras secara online.
Pencucian otak
Meski video itu diam-diam dihapus dari media sosial, lagu tersebut tetap menjadi topik diskusi dan kontroversi. Banyak orang di seluruh dunia terkejut melihat anak-anak menyanyikan dengan gembira tentang “menghabisi” seluruh rakyat Palestina di Gaza “dalam satu tahun”.
Namun, tinjauan lebih dekat terhadap literatur dan kurikulum Israel menunjukkan bahwa perayaan terbuka terhadap genosida ini adalah hasil alami dari indoktrinasi berkelanjutan Israel – atau lebih tepatnya, pencucian otak – terhadap anak-anak untuk memastikan mereka tidak memandang warga Palestina sebagai manusia dan sepenuhnya mendukung apartheid dan penjajahan.
Aktvis HAM Palestina-Kanada Rifat Audeh menulis di Aljazeera, ada banyak bukti tentang pencucian otak Israel terhadap warganya untuk menghapus kemanusiaan warga Palestina selama beberapa dasawarsa.
Cendekiawan Israel Adir Cohen, misalnya, dalam bukunya berjudul An Ugly Face in the Mirror – National Stereotypes in Hebrew Children’s Literature, menganalisis sekitar 1.700 buku anak-anak berbahasa Ibrani yang diterbitkan di Israel antara 1967 dan 1985, dan menemukan bahwa 520 di antaranya berisi deskripsi negatif dan merendahkan tentang warga Palestina.
Ia mengungkapkan bahwa 66 persen dari 520 buku tersebut menyebut orang Arab sebagai kasar; 52 persen sebagai jahat; 37 persen sebagai pembohong; 31 persen sebagai serakah; 28 persen sebagai bermuka dua; dan 27 persen sebagai pengkhianat.
Deskripsi negatif yang terus-menerus ini mendehumanisasi warga Palestina di mata generasi Israel.
Kritikus sastra dan akademisi Palestina terkemuka, Edward Said, juga menguraikan isu ini dalam bukunya tahun 1979, The Question of Palestine, mencatat bahwa literatur anak-anak Israel “terdiri dari orang Yahudi pemberani yang selalu berhasil membunuh orang Arab rendahan dan pengkhianat, dengan nama seperti Mastoul (gila), Bandura (tomat), atau Bukra (besok).

Orang Arab sebagai Nazi
Seperti yang dikatakan seorang penulis untuk Haaretz pada 20 September 1974, “buku anak-anak ‘berurusan dengan topik kita: orang Arab yang membunuh orang Yahudi demi kesenangan, dan anak laki-laki Yahudi murni yang mengalahkan ‘babi pengecut!’”Israel juga menggunakan memori menyakitkan Holocaust untuk membuat anak-anak Israel tidak peka terhadap penderitaan warga Palestina dan mendukung tanpa ragu perlakuan Israel terhadap mereka.
Dalam bukunya tahun 1999, One Nation Under Israel, sejarawan Andrew Hurley menjelaskan bagaimana Israel memanfaatkan pendidikan Holocaust yang diberikan kepada anak-anak Israel untuk melawan warga Palestina.
“Pikiran seorang anak (atau siapa pun) tidak dapat menyerap kengerian Holocaust tanpa menemukan seseorang untuk dibenci,” ujar Hurley. “Karena tidak ada Nazi di sekitar yang bisa dibalas, [Mantan Perdana Menteri Israel] [Menachem] Begin, [Yitzhak] Shamir, dan [Ariel] Sharon telah menyelesaikan masalah ini dengan menyebut orang Arab sebagai Nazi masa kini dan sasaran yang tepat untuk pembalasan.”
Buku teks resmi

Perdana Menteri Israel saat ini, Benjamin Netanyahu, tampaknya dengan antusias melanjutkan tradisi ini dan bahkan mengklaim bahwa seorang Palestina yang memberi Adolf Hitler ide untuk Holocaust.
Profesor Israel Meytal Nasie sangat mendukung pandangan Hurley di atas tentang dampak cara pengajaran Holocaust. Dalam studinya tahun 2016, Young Children’s Experiences and Learning in Intractable Conflicts, ia menemukan bahwa 68 persen anak-anak Israel menyarankan “memukuli,” “berkelahi,” “membunuh,” atau “mengusir” orang Arab sebagai solusi.
Nasie menyatakan bahwa menanamkan keyakinan ini pada usia dini, secara sering dan intens, mengarah pada penanaman narasi terkait konflik ini secara mendalam dalam repertoar sosio-psikologis anak-anak.
Tentu saja, pencucian otak negara Israel terhadap warganya melawan warga Palestina tidak terbatas pada kebohongan konyol tentang sejarah yang diceritakan oleh pemimpin politik atau literatur anak-anak. Upaya propaganda ini sangat sistemik dan menjadi inti dari pendidikan Israel. Lihat saja buku teks resmi Israel.
Situasinya tidak berubah sejak 20 tahun lalu
Untuk makalah penelitiannya tahun 1998, The Rocky Road Toward Peace: Beliefs on Conflict in Israeli Textbooks, akademisi Israel Daniel Bar-Tal menganalisis 124 buku teks Israel tentang berbagai mata pelajaran dan untuk berbagai kelompok usia yang disetujui oleh Kementerian Pendidikan Israel untuk digunakan di sekolah-sekolah agama dan sekuler di seluruh negeri.
Studi Bar-Tal berasal dari lebih dari 20 tahun lalu, tetapi penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa situasinya hampir tidak berubah saat ini. Misalnya, untuk bukunya tahun 2013, Palestine in Israeli School Books: Ideology and Propaganda in Education, cendekiawan Israel Nurit Peled-Elhanan menganalisis buku teks sejarah, geografi, dan studi kewarganegaraan Israel untuk kelas 8-12 dan mencapai kesimpulan yang mirip dengan Bar-Tal: Bahwa dalam buku teks sekolah Israel, warga Palestina masih digambarkan sebagai orang yang jahat, dan orang Israel sebagai korban tak berdosa dari sejarah dan keadaan.
Jadi, tidak ada yang seharusnya terkejut melihat anak-anak Israel menyanyikan dengan gembira tentang genosida warga Palestina. Israel telah mencuci otak mereka untuk melakukan hal itu selama beberapa generasi.