70 Persen Korban Luka Bakar di Gaza adalah Anak-Anak, Sebagian Besar di Bawah Usia 5 Tahun
Ini berdasarkan hasil laporan Dokter Lintas Batas atau Doctors Without Borders.

Perang genosida Israel yang masih berlangsung di Gaza telah mengakibatkan krisis kemanusiaan yang mengerikan, terutama bagi anak-anak. Dokter Lintas Batas atau Doctors Without Borders (MSF) melaporkan fakta yang mengiris hati yaitu 70 persen dari korban luka bakar di Gaza adalah anak-anak.
"Luka bakar bukan hanya sekedar luka biasa – ini adalah hukuman penderitaan yang berkepanjangan, dan hal ini lebih parah lagi di Gaza, Palestina," jelas MSF dalam pernyataannya, dikutip dari Middle East Monitor, Rabu (30/4).
“Banyak orang mengalami luka bakar yang meluas yang meliputi sebagian besar badan mereka – beberapa orang mengalami luka bakar hingga 40 persen dari seluruh permukaan badan mereka,” lanjut pernyataan tersebut.
Luka bakar ini salah satunya akibat dari ledakan bom Israel.
“Ketika otoritas Israel terus mengepung Gaza, memblokir akses ke bantuan dasar, pasokan medis dan perlengkapan penyelamat, banyak pasien terpaksa menanggung rasa sakit yang luar biasa dengan bantuan yang terbatas atau tidak ada sama sekali,” tambah pernyataan tersebut.
Klinik MSF di Kota Gaza rata-rata menangani lebih dari 100 pasien luka bakar dan cedera lainnya setiap hari di bulan ini.
“Sejak Mei 2024, tim MSF yang bekerja di rumah sakit Nasser telah melakukan lebih dari 1.000 operasi bedah untuk pasien luka bakar, 70 persen di antaranya adalah anak-anak, sebagian besar berusia di bawah lima tahun,” ungkap MSF, seraya menambahkan penyebab luka bakar tersebut berkisar dari ledakan bom hingga air mendidih atau bahan bakar yang digunakan untuk memasak atau memanaskan ruangan di tempat penampungan sementara.
Ledakan Bom
Luka bakar yang diderita para korban, terutama anak-anak, disebabkan oleh berbagai faktor yang terkait dengan konflik dan kondisi darurat yang terjadi di Gaza. Ledakan bom merupakan penyebab utama, meninggalkan luka bakar yang parah dan membutuhkan perawatan medis khusus. Selain itu, metode memasak improvisasi yang dilakukan warga di tengah keterbatasan akses bahan bakar dan peralatan dapur juga berkontribusi pada peningkatan kasus luka bakar.
Minimnya akses terhadap sumber daya dan fasilitas medis yang memadai semakin memperburuk situasi. Banyak korban luka bakar terpaksa berjuang melawan rasa sakit dan infeksi tanpa perawatan yang tepat. Kondisi ini meningkatkan risiko komplikasi serius, bahkan kematian, terutama bagi anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya masih rentan.
MSF telah berupaya memberikan bantuan medis sebaik mungkin, namun keterbatasan sumber daya dan akses yang sulit tetap menjadi tantangan besar. Organisasi ini menyerukan kepada komunitas internasional untuk meningkatkan bantuan kemanusiaan dan memastikan akses yang aman dan tanpa hambatan bagi tenaga medis untuk memberikan perawatan yang dibutuhkan bagi para korban luka bakar di Gaza.
"Luka bakar parah memerlukan perawatan yang kompleks dan jangka panjang, termasuk beberapa kali operasi, penggantian balutan luka setiap hari, fisioterapi, penanganan nyeri, dukungan psikologis, dan lingkungan yang steril untuk mencegah infeksi. Namun, setelah 50 hari tidak ada pasokan yang masuk ke Gaza karena blokade, tim MSF kehabisan obat penghilang rasa sakit, bahkan yang paling dasar, sehingga pasien tidak mendapatkan pereda nyeri yang memadai. Pada saat yang sama, sejak awal perang, hanya sedikit dokter bedah di Gaza yang memiliki kemampuan untuk menangani operasi plastik perawatan luka bakar yang kompleks," jelas MSF.
Sejak Desember 2024, tim MSF yang bekerja di klinik Kota Gaza dan rumah sakit lapangan di Deir al-Balah, serta rumah sakit Nasser, telah menyediakan lebih dari 6.518 pembalut luka bakar, tetapi hampir setengah dari pasien belum kembali untuk perawatan lanjutan karena layanan terhenti dan hampir tidak mungkin untuk mencapai pusat kesehatan.
MSF menyatakan bahwa, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), “lebih dari setengah fasilitas kesehatan yang berfungsi di Gaza terletak di daerah yang berada di bawah perintah evakuasi, menurut OCHA, sehingga layanan kesehatan hampir tidak dapat diakses.”