Pesan Ilham Habibie: Waspada Tsunami Impor Imbas Tarif Trump, Terutama Produk dari China
Indonesia pada 7 Juli 2025 mendatang dijadwalkan bakal meneken nota kesepahaman (MoU) dengan pihak Washington DC, terkait kesepakatan dagang.

Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Ilham Akbar Habibie berharap pemerintah bisa lebih fleksibel dalam melakukan negosiasi tarif dagang, termasuk dengan Amerika Serikat. Lantaran tsunami barang impor di pasar RI saat ini sudah semakin deras.
Dalam konteks ini, putra sulung mantan presiden BJ Habibie tersebut menyoroti peralihan pasar ekspor dari suatu negara, imbas adanya tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Semisal China, yang bakal memperluas ekspor ke negara lain seperti Indonesia.
"Ini (tsunami ekspor) memang akibat dan itu sudah terjadi. Ini bukan satu hal yang kita harus antisipasi. Kita sudah di tengah di dalamnya ya. Kalau kita lihat pasar kita di Indonesia, banyak sekali produk-produk dari luar, terutama dari China," ucapnya di sela acara Seminar Nasional Outlook Industrialisasi Indonesia di ICE BSD, Sabtu (5/7).
"Karena kalau kita lihat, ekspor China ke Amerika itu kurang lebih 35 persen. Itu kan barangnya ke lain tempat. Di antaranya juga ke Indonesia. Jadi itu harus kita siap-siap," kata Ilham.
Di sisi lain, dia mewajari posisi Indonesia dalam perundingan dagang dengan AS, yang memberikan sejumlah penawaran kepada Negeri Paman Sam. Sebagai senjata untuk menegosiasikan tarif impor oleh Donald Trump, agar tidak terlalu besar.
Untuk diketahui, Indonesia pada 7 Juli 2025 mendatang dijadwalkan bakal meneken nota kesepahaman (MoU) dengan pihak Washington DC, terkait kesepakatan dagang dan investasi senilai USD 34 miliar. Dalam kesepakatan itu, Indonesia berupaya menyeimbangkan neraca dagang dengan AS, termasuk dengan impor energi senilai USD 15,5 miliar dari Amerika Serikat.
Jangan Terlalu Longgar
Kendati begitu, Ilham berharap pemerintah tidak terlalu longgar dalam menjalin kesepakatan dagang dan tarif dengan negara lain. Pasalnya, dia khawatir itu berpotensi semakin mengancam industri dalam negeri, hingga berpotensi menyebabkan gelombang PHK lanjutan.
"Itu juga ada perubahan (regulasi dagang) untuk melunakan posisi misalnya dari negara lain, terutama Amerika Serikat ya. Di lain pihak kita juga harus was-was. Kalau kita terlalu longgar dalam hal itu, nanti kita sendiri yang kena getahnya," pinta dia.
"Kalau kita tidak hati-hati, kalau misalnya kita menghadapi andainya tsunami barang dalam waktu yang sekejap, itu bisa mematikan industri, ekstremnya ya. Sebagian kita sudah mulai lihat ada beberapa sektor industri, misalnya tekstil yang sudah banyak melepaskan karyawan. Ada juga sektor-sektor lain," ungkapnya.
Andalkan Kekuatan Sendiri
Lebih lanjut, pelaku industri pun disebutnya tengah menanti penentuan tarif oleh AS. Di samping itu, dia mendorong penguatan industri agar bisa lebih mandiri. Sehingga tidak terlalu bergantung pada barang-barang impor.
"Memang saat ini karena belum tahu bagaimana tarif itu finalnya, kita masih menanti penentuan tarif yang final. Setelah itu kita bisa memposisikan diri bagaimana kita harus bekerja, berdagang, dan memberikan kontribusi kepada ekonomi kita dan ekonomi dunia," urainya.
"Sehingga kita memang harus mulai juga mengandalkan lebih banyak kepada kekuatan kita sendiri. Saya tidak katakan di sini semua-muanya kita buat sendiri, tapi mungkin ketergantungan kita dengan hal-hal yang kita harus impor kadang berlebih. Sehingga kita harus memperbaiki hal itu," pungkasnya.