Tak Semua yang ke Dokter Kandungan adalah Wanita Hamil: Sejumlah Kondisi yang Mengharuskan Wanita ke Spesialis Kandungan
Kenali berbagai penyakit dan kondisi kesehatan reproduksi wanita yang memerlukan pemeriksaan segera ke dokter kandungan.

Di sebuah klinik kesehatan di pinggiran Jakarta, seorang perempuan muda, sebut saja Rina, duduk gelisah di ruang tunggu. Matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang dokter kandungan. Di sisinya, seorang ibu paruh baya menggendong bayi, sementara pasangan suami-istri di sudut ruangan tampak tersenyum menanti hasil USG. Rina, yang datang seorang diri, merasa sorot mata orang-orang seolah bertanya, “Apa yang dia lakukan di sini? Hamil kah dia?” Stereotip bahwa kunjungan ke dokter kandungan hanya untuk kehamilan atau persalinan begitu kuat di masyarakat, hingga Rina merasa perlu menunduk setiap kali ada yang meliriknya. Padahal, Rina datang bukan karena hamil, melainkan karena nyeri haid yang tak tertahankan selama berbulan-bulan.
Kisah Rina bukanlah hal yang asing. Banyak perempuan di Indonesia, dan bahkan di seluruh dunia, menghadapi stigma serupa saat mengunjungi dokter kandungan. Dalam benak masyarakat awam, dokter kandungan identik dengan kehamilan atau kelahiran. Namun, realitasnya jauh lebih luas. Dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) menangani berbagai kondisi kesehatan reproduksi perempuan, mulai dari gangguan haid, infeksi, hingga kanker. Artikel ini akan mengupas mengapa perempuan, baik yang datang sendiri maupun ditemani, perlu ke dokter kandungan, serta mematahkan stereotip yang kerap menyelimuti kunjungan tersebut.
Stereotip yang Membelenggu: “Ke Dokter Kandungan Pasti Hamil”
Di Indonesia, budaya patriarkal masih memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Seorang perempuan yang datang sendiri ke dokter kandungan sering dianggap “aneh” atau bahkan dihakimi. “Kalau belum menikah, ngapain ke dokter kandungan? Kalau sudah menikah, pasti hamil,” begitu kira-kira anggapan yang beredar.
Data dari Kementerian Kesehatan RI (2023) menunjukkan bahwa hanya 57% perempuan usia reproduktif di Indonesia rutin memeriksakan kesehatan reproduksinya. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (78%) atau Singapura (85%). Salah satu penyebabnya adalah rasa malu atau takut dihakimi, terutama bagi perempuan yang belum menikah. Sebuah studi dalam Journal of Women’s Health (2022) mengungkapkan bahwa 62% perempuan muda di negara berkembang, termasuk Indonesia, merasa canggung mengunjungi dokter kandungan karena stigma sosial. Stereotip ini tidak hanya menghambat perempuan mencari perawatan, tetapi juga meningkatkan risiko keterlambatan diagnosis penyakit serius.
Rina, misalnya, menunda kunjungannya ke dokter selama enam bulan karena takut dianggap “tidak pantas” oleh keluarga atau tetangga. Setelah akhirnya memberanikan diri, dokter menemukan bahwa Rina menderita endometriosis, kondisi di mana jaringan rahim tumbuh di luar rahim, menyebabkan nyeri hebat dan potensi infertilitas jika tidak ditangani.

Kondisi yang Membawa Perempuan ke Dokter Kandungan
Dokter kandungan menangani berbagai masalah kesehatan reproduksi, baik yang ringan maupun kompleks. Berikut adalah beberapa kondisi umum yang mengharuskan perempuan memeriksakan diri:
Haid yang tidak teratur, nyeri berlebihan (dismenore), atau perdarahan berat (menorrhagia) sering dianggap “biasa” oleh banyak perempuan. Padahal, ini bisa menjadi tanda masalah serius seperti sindrom ovarium polikistik (PCOS) atau miom. Menurut The Lancet (2023), PCOS memengaruhi 8-13% perempuan usia reproduktif secara global, dan di Indonesia, prevalensinya diperkirakan mencapai 10% berdasarkan studi di Jurnal Kedokteran Indonesia (2021). PCOS tidak hanya mengganggu siklus haid, tetapi juga meningkatkan risiko diabetes dan infertilitas.
Rina, yang awalnya mengira nyerinya “cuma haid biasa,” ternyata harus menjalani terapi hormon untuk mengelola endometriosisnya. “Kalau saya tahu lebih cepat, mungkin tidak separah ini,” ujarnya dengan nada menyesal.
Infeksi seperti keputihan abnormal, infeksi jamur, atau infeksi menular seksual (IMS) seperti klamidia sering kali memerlukan penanganan dokter kandungan. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2024) menunjukkan bahwa 1 dari 5 perempuan di Asia Tenggara mengalami infeksi vagina setiap tahunnya. Di Indonesia, keputihan menjadi keluhan utama di klinik ginekologi, dengan 60% kasus terkait infeksi bakteri atau jamur, menurut laporan BPJS Kesehatan (2023).
Kanker serviks dan ovarium adalah ancaman serius bagi perempuan Indonesia. Menurut Globocan (2020), kanker serviks menyumbang 36.000 kasus baru setiap tahun di Indonesia, menjadikannya kanker kedua terbanyak pada perempuan setelah kanker payudara. Sayangnya, 70% kasus terdeteksi pada stadium lanjut karena kurangnya skrining rutin seperti Pap smear atau tes HPV.
Endometriosis dan miom (tumor jinak rahim) adalah kondisi yang sering menyebabkan nyeri pelvis atau infertilitas. Menurut American Journal of Obstetrics and Gynecology (2022), endometriosis memengaruhi 10% perempuan di seluruh dunia, dengan angka serupa diperkirakan di Indonesia. Miom, di sisi lain, lebih umum pada perempuan di atas 30 tahun, dengan prevalensi hingga 30% di Asia Tenggara (studi Obstetrics & Gynecology International, 2021).
Bagi perempuan yang belum menikah atau baru merencanakan pernikahan, dokter kandungan juga berperan memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi, vaksin HPV, atau pemeriksaan kesuburan. Namun, stigma sering membuat perempuan enggan berkonsultasi. “Saya pernah ditanya, ‘Ngapain cek kesuburan kalau belum nikah?’ Padahal saya cuma ingin tahu kondisi tubuh saya,” ujar Maya, seorang profesional berusia 32 tahun.
Mematahkan Stigma: Langkah Menuju Literasi Kesehatan
Stigma terhadap kunjungan ke dokter kandungan tidak hanya berasal dari masyarakat, tetapi juga dari kurangnya edukasi di tingkat keluarga dan sekolah. Sebuah studi dalam BMJ Open (2023) menemukan bahwa negara dengan tingkat literasi kesehatan tinggi, seperti Jepang, memiliki tingkat kunjungan rutin ke dokter kandungan 30% lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Di Indonesia, edukasi kesehatan reproduksi masih minim, terutama di daerah pedesaan.
Beberapa langkah untuk mematahkan stigma:

Kehamilan, Persalinan, dan Kesehatan Seksual
Perawatan prenatal rutin sangat penting selama kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan janin. Komplikasi kehamilan seperti preeklampsia, eklampsia, diabetes gestasional, kehamilan ektopik, plasenta previa, dan gawat janin memerlukan penanganan medis segera.
Dokter kandungan berperan penting dalam proses persalinan, baik normal maupun caesar. Selain itu, dokter kandungan juga dapat membantu mengatasi masalah kesehatan seksual seperti nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia), vagina kering, dan gangguan libido.
Pemeriksaan rutin dan konsultasi dengan dokter kandungan sangat penting untuk menjaga kesehatan reproduksi wanita sepanjang hidupnya.
Kapan Harus Periksa?
Wanita dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin ke dokter kandungan setidaknya sekali setahun, terutama setelah aktif secara seksual atau setelah usia 21 tahun. Segera temui dokter kandungan jika mengalami gejala-gejala yang disebutkan di atas atau jika memiliki kekhawatiran tentang kesehatan reproduksi Anda. Pemeriksaan rutin sangat penting untuk deteksi dini penyakit dan pencegahan masalah kesehatan. Ingat, informasi ini bersifat umum dan tidak dapat menggantikan konsultasi dengan dokter. Jika Anda memiliki kekhawatiran tentang kesehatan Anda, selalu konsultasikan dengan profesional medis.