Aliansi Keadilan kecam pidana penjara ke anak korban perkosaan yang aborsi
Merdeka.com - Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan mengecam keras sanksi pidana penjara terhadap WA (15), anak korban perkosaan yang melakukan aborsi. Peneliti ICJR Maidina Rahmawati yang mewakili aliansi tersebut mengatakan, pemidanaan terhadap anak korban perkosaan jelas tidak diperkenankan.
"Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan mengecam keras penjatuhan pidana penjara 6 bulan terhadap Anak Korban Perkosaan yang melakukan aborsi," ujar Maidina, dalam media briefing Jangan Hukum Korban Perkosaan!, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (5/8).
Kasus hukum yang membelit WA (15), seorang anak di Jambi yang diperkosa oleh kakak kandungnya hingga hamil berbuntut panjang. WA menerima vonis 6 bulan penjara yang dianggap, tidak seharusnya seorang korban menerimanya.
Karena itu, selain mengecam keras, mereka juga menuntut jalannya pemeriksaan harus dilakukan secara hati-hati dalam persidangan di tingkat banding, terhadap anak korban perkosaan.
Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan juga menegaskan bahwa pemidanaan terhadap anak korban perkosaan jelas tidak diperkenankan. Mereka menilai, terdapat pelanggaran serius dalam proses pemeriksaan perkara tersebut.
"Pelanggaran serius hak atas bantuan hukum yang efektif dan kredibel. Catatan krusial lain, penasihat hukum yang mendampingi Anak Korban perkosaan sama dengan penasihat hukum untuk pelaku perkosaan dengan interest of justice yang jelas berbeda," kata Maidina.
Selain itu, menurut mereka, terdapat indikasi adanya penyiksaan pada tahap penyidikan. Mereka juga menyoroti perlakuan selama persidangan, dimana pengadilan menahan korban. Hasil penelitian kemasyarakatan juga dirasa tidak secara detail memeriksa kondisi anak dan latar belakang anak yang terang-terang korban perkosaan.
Mereka juga menilai ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Hakim, katanya, wajib untuk berperilaku adil dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum. "Penjatuhan pidana pada anak korban perkosaan yang melakukan aborsi sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan," ucapnya.
Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan juga menganggap bahwa unsur tindak pidana yang didakwa dalam persidangan tidak terbukti. Dikarenakan tidak ada pembuktian dalam perisidangan bahwa benar bayi yang ditemukan oleh warga adalah bayi yang dikandung oleh WA. "Bahkan tidak diketahui penyebab kematian bayi yang ditemukan."
Selain itu, mereka menilai, penuntut umum maupun majelis hakim sama sekali tidak menggali aspek psikologis WA yang didakwa melakukan aborsi. Ini dikarenakan, tidak ada pemeriksaan terkait dengan perkosaan yang dialaminya.
"Fakta bahwa Anak adalah korban perkosaan yang mengalami trauma diabaikan, padahal korban perkosaan dilindungi hukum untuk melakukan aborsi," ujarnya.
Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan juga merasa terdapat alasan penghapus pidana untuk anak korban perkosaan. Aliansi yang terdiri dari ICJR, Rumah Cemara, LBH Apik Jakarta, LBH Masyarakat, PKBI, SGRC, Kita Sama, Pasukan Jarik, Rutgers WPF Indonesia, Save All Women and Girls (SAWG), Konsorsium PERMAMPU, dan IPAS menilai, anak korban perkosaan tidak dapat dipidana.
"Seharusnya penuntut umum dan majelis hakim mampu melihat bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada Anak korban perkosaan," kata Maidina.
"Kondisi trauma psikologis akibat perkosaan sebanyak 9 kali dan ancaman diusir oleh Ibu korban menandakan adanya daya paksa atau keadaan memaksa atau keadaan darurat yang menghapuskan alasan pemidanaan," sambungnya.
Sampaikan 3 tuntutan
Maidina Rahmawati menyampaikan, tuntutan pertama adalah, Aliansi meminta Pengadilan Tinggi (PT) Jambi dapat menggelar sidang terbuka dalam proses pengajuan banding. Pengacara korban sendiri diketahui telah mengajukan banding ke PT Jambi.
"Sebab selama proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri (PN), pertimbangan psikologis anak korban perkosaan telah diabaikan," ujarnya.
Mereka berharap, lewat sidang terbuka, pengadilan tinggi dapat meminta pertimbangan keterangan ahli psikologis atau psikiatri. Sehingga, psikologis WA yang dengan segala pengalaman traumatiknya harus melakukan aborsi juga dipertimbangkan.
Selain karena tidak adanya pertimbangan psikologis anak korban perkosaan, kata dia, terdapat indikasi terjadinya penyiksaan. Kemudian, lanjut Maidina, tidak ada pembuktian yang sah dan meyakinkan bahwa bayi yang ditemukan warga adalah bayi WA.
"Karenanya (Tuntutan kedua), Majelis Hakim PT untuk memeriksa validitas alat bukti yang dihadirkan dalam sidang di tingkat PN," ucap Maidina.
Pada tuntutan ketiga, Aliansi Keadilan untuk Korban Perkosaan meminta Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dapat bekerja sama dengan Lembaga Perlindingan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mengambil langkah tanggung jawab atas rehabilitasi psikologis dan sosial.
"Untuk Anak Korban Perkosaan (WA) beserta keluarganya," imbuhnya.
Reporter: Yunizafira PutriSumber: Liputan6.com
(mdk/rzk)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jenderal Sigit memberikan atensi seluruh jajaran menjaga kamtibmas selama Ramadan untuk menjaga kekhusyukan masyarakat selama menunaikan ibadah puasa.
Baca SelengkapnyaApi dapat dijinakkan oleh petugas sekitar empat jam lebih setelah berkobar sejak pukul 19.30 Wib.
Baca SelengkapnyaKomisi VIII DPR beraudiensi dengan Kementerian PPPA kemarin.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
TNI-AL bertanggung jawab untuk melakukan proses pengobatan terhadap korban.
Baca SelengkapnyaMomen Pangkostrad berikan selamat pada anggotanya yang baru saja mendapat kenaikan jabatan.
Baca SelengkapnyaPara pelaku terancam hukuman sepuluh tahun penjara lantaran praktik aborsinya.
Baca SelengkapnyaMelihat kondisi korban, diyakini keempatnya sudah tewas lebih dari tiga hari.
Baca SelengkapnyaSatu pelaku pemerkosaan terhadap seorang wanita di Danau Mawang diamankan berinisial AR.
Baca SelengkapnyaIstana mempersilakan masyarakat melapor ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) apabila memang ada kecurangan dalam proses Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya