Arkeolog Dikejutkan dengan Temuan Keju Termahal di Kepala dan Leher Mumi Kuno
Ilmuwan pantas terkejut dengan penemuannya ini. Karena baru kali ini ditemukan keju tertua di dunia yang dilumuri di wajah mumi kuno.
Arkeolog Dikejutkan dengan Temuan Keju di Kepala dan Leher Mumi Kuno Sekitar 20 tahun lalu, sekelompok arkeolog menemukan sesuatu yang tidak biasa di kepala dan leher beberapa mumi di pemakaman Xiaohe, yang terletak di Cekungan Tarim, Tiongkok Barat Laut.
Zat berwarna keputihan tersebut terlihat sangat tua, namun tidak ada seorang pun tahu persis apa itu. Kini, sebuah penelitian baru menemukan bahwa apa yang sedang dilihat adalah keju tertua di dunia. Mumi-mumi di Cekungan Tarim ini berasal dari periode sekitar 3.300 hingga 3.600 tahun yang lalu, atau pada masa Zaman Perunggu.
-
Apa yang ditemukan arkeolog di kotoran mumi? Penelitian ini mengungkap penduduk Karibia kuno memakan berbagai macam tanaman, tembakau, bahkan kapas.
-
Apa yang ditemukan arkeolog di kuburan hewan? Tidak hanya gulungan papirus, para arkeolog juga menemukan berbagai artefak lainnya. Para arkeolog Polandia menemukan gulungan papirus berisi daftar perwira Romawi yang ditempatkan di situs Berenike, Mesir. Mereka juga menemukan tembikar dari Italia, koin Romawi, dan gesper mantel yang mungkin milik seorang perwira.
-
Apa temuan arkeolog di kuil? Arkeolog di Peru menemukan kuil yang digunakan untuk upacara berusia 4.000 tahun. Selain itu, ditemukan juga kerangka manusia di dalam kuil tersebut.
-
Siapa yang menemukan kepala mumi? Dilansir dari IFL Science, kepala mumi itu ditemukan oleh seorang pria yang sedang membersihkan rumah saudara laki-lakinya yang telah meninggal.
-
Apa yang ditemukan arkeolog? Arkeolog Dikejutkan dengan Penemuan Fosil Dinosaurus Bertangan Mungil Menariknya tangan dinosaurus ini lebih kecil dibandingkan T-Rex. Tyrannosaurus rex dikenal sebagai dinosaurus buas yang memiliki tangan kecil. Kini, kelompok dinosaurus dengan karakteristik seperti itu mendapat anggota baru dengan ditemukannya sebuah spesies dinosaurus baru di Formasi La Colonia, Patagonia, Amerika Selatan.
Mengutip IFLScience, Jumat (27/9), dengan kemajuan teknologi analisis DNA selama lebih dari satu dekade, tim arkeolog mampu mengidentifikasi bahwa zat putih tersebut adalah sejenis keju. Mereka berhasil mengekstraksi DNA mitokondria dari sampel itu, menemukan jejak DNA sapi dan kambing, serta materi genetik dari mikroorganisme lainnya.
Keju kuno ini adalah keju kefir, mirip dengan yogurt namun lebih asam dan memiliki konsistensi yang lebih kental. Menariknya, bakteri dan jamur yang ada dalam keju tersebut ternyata sama dengan yang ditemukan dalam biji kefir saat ini, memberikan wawasan baru tentang bagaimana bakteri Lactobacillus kefiranofaciens telah berevolusi selama 3.600 tahun terakhir.
Saat ini, ada dua jenis utama L. kefiranofaciens, satu berasal dari Rusia, dan satu lagi dari Tibet. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa bakteri dalam keju tertua di dunia ini lebih mirip dengan varietas yang ditemukan di Tibet, menenggelamkan anggapan bahwa kefir berasal dari pegunungan Kaukasus di Rusia.
“Penelitian kami mengindikasikan bahwa budaya kefir telah dilestarikan di wilayah Xinjiang, Tiongkok Barat Laut sejak zaman Perunggu,” kata Qiaomei Fu dari Institut Paleontologi Vertebrata dan Paleoantropologi, Akademi Ilmu Pengetahuan Tiongkok.
“Ini adalah studi yang sangat unik, memungkinkan kita mempelajari bagaimana bakteri telah berevolusi selama lebih dari 3.000 tahun. Selain itu, melalui penelitian produk susu, kita mendapatkan pengetahuan baru tentang kehidupan manusia purba dan bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungannya. Ini baru permulaan, dan kami berharap teknologi ini akan membantu mengungkap artefak lain yang sebelumnya tak terdeteksi," jelasnya.
Adapun alasan keju ini dioleskan pada kepala dan leher mumi, kemungkinan besar karena keju tersebut merupakan sumber daya yang sangat berharga di masa hidup mereka.
“Yang menjadi perhatian utama adalah betapa pentingnya keju ini bagi kehidupan mereka. Keju ini ditemukan di 10 makam dan pada beberapa mumi,” kata Fu.
Reporter magang: Nadya Nur Aulia