Sosok Ini Dilarang Masuk Sekolah Penerbangan oleh Ayahnya, Tak Disangka Kini Dikenang sebagai Bapak TNI AU
Ia pernah diramalkan tak berumur panjang oleh sang kakek.
Ia pernah diramalkan tak berumur panjang oleh sang kakek.
Sosok ini dulunya memiliki mimpi menjadi penerbang handal. Namun sang ayah tak memberinya izin karena menginginkannya menjadi seorang dokter.
Ternyata setelah dewasa ia justru menjadi tokoh yang berpengaruh di dunia penerbangan dan dikenal sebagai Bapak TNI Angkatan Udara.
Meski tak diizinkan oleh sang ayah, ia justru menjadi penerbang AURI pertama. Orang pertama di Indonesia yang menerbangkan pesawat udara berbendera merah putih. Di mana ketika itu belum banyak yang berani.
Pria kelahiran Pungkursari, Kota Salatiga, Jawa Tengah, 3 Juli 1916 ini dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan dan penerbangan Indonesia.
Ia pernah diramalkan tidak berumur panjang oleh sang kakek, dan kejadian itu terbukti. Ia gugur dalam mengemban misi kemanusiaan.
Mengutip buku Salatiga Sketsa Kota Lama, di usia remaja ia pernah mengubur keinginannya menjadi seorang penerbang pesawat.
Sebelumnya, dia pernah mencoba mendaftar di sekolah penerbangan Kalijati dan diterima.
Ayahnya ingin menjadi seorang dokter, dibanding penerbang pesawat. Ia pun memilih mengalah dan mengikuti sekolah kedokteran.
Namun satu tahun kemudian ia kembali mendaftar sekolah penerbangan tanpa sepengetahuan ayahnya.
Agar diizinkan, ia pun mengirimkan surat ke Resident dan Asisten Resident Semarang agar mencarikan izin.
Dengan langkah ini, akhirnya keinginan mengikuti sekolah penerbangan berhasil ia dapatkan.
Selama mengikuti pendidikan, ia memiliki prestasi yang amat menonjol. Sekolah penerbangan yang seharusnya dilaksanakan selama tiga tahun, berhasil dipangkasnya jadi dua tahun melalui program akselerasi.
Hal ini membuatnya mendapatkan keleluasaan untuk memilih tempat kerja.
Tak sampai di situ, setelah bekerja di Yogyakarta, Ia juga mampu beradaptasi dengan mudah dan menjadi andalan para atasan.
Tak heran jika selama bekerja di Yogyakarta, ia diizinkan menetap di Hotel Tugu dan jadi satu-satunya pribumi yang tinggal di sana.
Menurut penulis buku Salatiga Sketsa Kota Lama, Eddy Supangkat, selepas angkatan udara Belanda dibubarkan Pemerintah Jepang. Ia kemudian bekerja di perusahaan bus antar kota ESTO.
Di masa awal kedatangan Jepang, Ia memang sempat pulang kampung ke Salatiga dan tidak lagi bekerja di instansi penerbangan.
Memiliki kemampuan di bidang mesin membuatnya bekerja di perusahaan transportasi umum itu sampai beberapa waktu.
Sosok yang tak mudah menyerah ini ialah Agustinus Adisoetjipto.
Di tengah kondisi yang belum stabil, Ia lantas memiliki keinginan yang nekat yakni mendirikan sekolah penerbangan.
Adisoetjipto lantas membangun sekolah tersebut bersama rekannya Soeryadarma.
Di sana, ia bersama Soeryadarma sendiri yang menjadi pembina dan instruktur penerbangan sebagai bentuk kecintaannya di dunia pesawat terbang.
Saat itu sekolah penerbangan ia bangun dengan tenaga seadanya, termasuk dengan memanfaatkan pesawat peninggalan penjajah yang ia modifikasi ulang.
Sampai pada 27 Agustus 1946, Adisoetjipto menjadi orang pertama yang menerbangkan pesawat berbendera merah putih di Pangkalan Udara Maguwo.
Sebelum merintis karir di dunia penerbangan, sang kakek yang juga seorang keturunan empu pernah meramalkan sosok Adisutjipto juga pernah diramalkan tidak berumur panjang.
Adisoetjipto dulu sempat dijuluki Palgunadi, yakni tokoh pewayangan yang jujur, gagah berani namun mati muda.
Kakek Adisoetjipto sendiri dikenal sebagai pengikut Pangeran Diponegoro.
Kecintaannya di penerbangan membuat sosoknya terus mengabdi hingga akhir hayat.
Pada 29 Juli 1947, ia berkesempatan menerbangkan pesawat yang berisi bantuan obat-obatan dari India. Saat itu dia dipercaya untuk bekerja sama dengan Palang Merah Internasional.
Sayangnya misi ini dinilai menghambat Belanda yang kembali masuk ke Indonesia. Di langit Desa Ngotho, Kabupaten Bantul, pesawat yang diterbangkan oleh Adisoetjipto lantas dihujani peluru oleh pesawat pemburu.
Pesawat tersebut lalu jatuh dan terbakar hebat. Adisoetjipto lantas meninggal dunia dan gugur saat itu. Namanya kemudian diabadikan menjadi sebuah bandara yang kini dikenal sebagai Bandara Adisucipto Yogyakarta.
Dalam buku Salatiga Sketsa Kota Lama yang ditulis Eddy Supangkat, Adisoetjipto juga dikenal sebagai "Bapak TNI Angkatan Udara".
Pelaku dan barang bukti sajam dibawa ke Mako Polsek Pinang untuk proses hukum lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaDulunya banyak siswa yang bersekolah di sini, namun kini tinggal kenangan.
Baca SelengkapnyaPungutan atau infak pembangunan musala itu dilakukan pada tahun 2022. Dari total 534 siswa, 460 di antaranya sudah membayar.
Baca SelengkapnyaProses belajar mengajar di sekolah kembali dilaksanakan secara tatap muka setelah kondisi udara membaik.
Baca SelengkapnyaKeduanya jatuh dari ketinggian 2 meter lebih dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Baca SelengkapnyaLemparan itu mengenai kepala anaknya. Akibatnya, korban yang baru berumur 8 tahun itu mengalami luka bocor.
Baca SelengkapnyaPihak sekolah memilih untuk bungkam atas kasus yang menimpa peserta didiknya.
Baca Selengkapnya50 siswa jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kabupaten Kutai Timur mengikuti Pendidikan Wawasan Kebangsaan.
Baca Selengkapnya