RUU Penyiaran, NasDem Harap Masyarakat Proaktif Beri Masukkan
Sorotan tajam publik atas RUU Penyiaran akan sangat penting untuk penyempurnaan.
Sorotan tajam publik atas RUU Penyiaran akan sangat penting untuk penyempurnaan.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi NasDem Muhammad Farhan turut menyoroti soal Revisi Undang-Undang (RUU) No.32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran. Menurutnya banyak kecaman atas draf yang beredar, sebab disinyalir mengerdilkan peran pers.
Farhan menganggap, sorotan tajam publik atas RUU Penyiaran akan sangat penting untuk penyempurnaan pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
merdeka.com
Farhan menjelaskan, RUU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalism platform digital.
"Ini kan lagi perang ini. Jadi, RUU yang ada ini atau draf UU yang ada sekarang, itu memang memberikan kewenangan KPI terhadap konten lembaga penyiaran teresterial," jelas Legislator dapil Kota Bandung ini.
Ia mengungkapkan, Teresterial dimaknai penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF/UHF seperti halnya penyiaran analog, akan tetapi dengan format konten yang digital.
Tetapi KPI ataupun dewan pers, disebutnya, tidak mempunyai kewenangan terhadap platform digital.
"Bahwa ada lembaga jurnalistik yang menggunakan platform digital dan mendaftarkan ke dewan pers maka itu menjadi kewenangan dewan pers," ungkapnya.
Apabila lembaga tersebut membuat produk jurnalistik di platform digital dan tidak mendaftarkan diri ke dewan pers, maka dewan pers dikatakannya tidak punya kewenangan atas lembaga tersebut.
"Risikonya apa? Kalau sampai dia dituntut oleh misalkan saya dijelekkan oleh lembaga berita ini, saya nuntut ke pengadilan, maka tidak ada UU Pers yang akan melindungi dia karena tidak terdaftar di dewan pers kira kira begitu," paparnya.
merdeka.com
Diketahui, Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran menuai beragam polemik. Beberapa Pasal dikabarkan tumpang tindih hingga membatasi kewenangan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.
Dokumen draf tertanggal 27 Maret tersebut memuat 14 bab dengan 149 Pasal. Beberapa pasal yang diduga tumpang tindih berpotensi jadi pasal karet dan ancam kebebasan pers di Indonesia.
Seperti yang tertulis dalam Pasal 8a huruf q di draf revisi RUU Penyiaran, yang menyebut bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berwenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran.
Bunyi Pasal 8a huruf q: "menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran".
Sedangkan pada Pasal 15 nomor 2 huruf d dalam UU 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Sengketa jurnalistik harusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.
"Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers".
Pasal kontroversial dalam draf RUU Penyiaran lainnya dengan Pasal 15 nomor 2 huruf d UU Pers adalah Pasal 51 huruf E yang mengatur tentang penyelesaian sengketa jurnalistik.
merdeka.com
Beberapa Pasal dikabarkan tumpang tindih hingga membatasi kewenangan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.
Baca SelengkapnyaPenyusunan ini sebelumnya dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Baca SelengkapnyaPerkara disengketakan Partai Demokrat ini bernomor 09-01-14-11/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024.
Baca SelengkapnyaCalon Legislatif (Caleg) DPR RI Partai Demokrat Syarifuddin Dg Punna ditetapkan sebagai tersangka kasus politik uang.
Baca SelengkapnyaHal itu diprediksi dari rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilu 2024
Baca SelengkapnyaNetralitas ASN tersebut tidak sama dengan golongan putih (golput). Para PNS maupun PPPK tetap memiliki hak politik, yakni hanya pada bilik suara.
Baca SelengkapnyaSaat ini banyak modus penipuan yang dilakukan di bidang keuangan dengan memanfaatkan media sosial.
Baca SelengkapnyaAHY Sebut Politik Uang di Pemilu 2024 Ugal-Ugalan Luar Biasa, Demokrat bakal Dorong Revisi UU Pemilu
Baca SelengkapnyaCaleg DPR RI dari Partai Demokrat, Syarifuddin Dg Punna buka suara setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan politik uang.
Baca Selengkapnya