Pemilu Legislatif Dinilai Redup Lantaran Publik Fokus ke Pilpres
Merdeka.com - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kacung Marijan menilai, Pemilu 2019 kurang meriah, namun potensi keterbelahan sangat kuat karena Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) dilakukan bersamaan.
"Apapun dalilnya, (untuk) efisiensi, itu satu, melahirkan keterbelahan. Yang kedua Pileg-nya redup karena pembicaraan publik itu hanya pada Pilpres," kata Kacung di Surabaya, Kamis (17/1).
Sehingga Pileg menjadi tereduksi oleh Pilpres. Belum lagi desain debat publik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan perdebatan antar Caleg atau antarpartai.
"Tapi perdebatan antar-Pipres, antar-Capres. Setahu saya, KPU tidak mewacanakan debat antar parpol ya, gak ada. Setahu saya di-packing debat antar capres," ungkapnya.
Sehingga apa? lanjutnya, "Orang ya seolah-oleh Pemilu itu ya Pilpres, bahaya ini! Itu saya katakan soal keterbelahan tadi. Yang kedua, itu tadi, apa namanya, soal Pileg akan menjadi tereduksi."
Padahal dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilu, membebani semua partai politik (Parpol) untuk memenuhi 4 persen Parliamentary Threshold (ambang batas palemen), yang sebelumnya hanya 3,5 persen.
Sementara untuk Presidential Threshold-nya harus 20 persen kursi atau 25 persen suara Pemilu. "Makanya saya kurang srek (tidak sepakat) dengan Pemilu ini," ucapnya.
Seharusnya, menurut Kacung, Pilpres dan Pileg dilakukan terpisa seperti Pemilu sebelumnya. "Menurut saya gini, kalau Pemilu-nya itu, modelnya itu Pilpres dan Pileg terpisah, desain 20 persen (Presidential Threshold) itu tidak masalah. Kenapa? Karena didahului oleh Pileg dulu," tegasnya.
Jadi sebetulnya, masih menurut Kacung, Pilpres dan Pileg boleh digelar bersamaan, tapi dengan syarat tidak menggunakan desain threshold. "Kan Pilpresnya semacam preliminary (pendahuluan) untuk mencari siapa yang masuk babak final. Lha sekarang langsung diarahkan ke babak final," ungkapnya.
Pemilu Terbelah PT 20 Persen
Padahal, masih menurut Kacung, Pemilu itu perlu pemanasan. "Sehingga ada Pemilu ronde kedua (second round) di Pilpresnya, jadi tidak masalah kalau disamakan, tapi modelnya seperti itu (tidak menggunakan threshold)."
Tetapi akan menjadi masalah ketika Pileg dan Pilpres digelar bersamaan tapi mengatur Presidential Threshold-nya 20 persen. Sehingga kata Kacung, cenderung mengarah ke keterbelahan. "Ini menurut saya tanpa disadari bahaya juga," analisanya.
Salah satu bahaya yang dimaksud Kacung adalah perang verbal antarpendukung Capres-Cawapres di media sosial. Sementara partai-partai pendukung juga terbelah, karena sebagian Parpol lebih memilih konsentrasi ke Pilegnya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Perludem menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo soal presiden boleh berpihak di Pilpres 2024
Baca SelengkapnyaPara akademisi dan pengamat politik berharap para capres tetap berdiri pada substansi masing-masing, pada debat ketiga Pilpres 2024, Minggu (7/1/2024).
Baca SelengkapnyaPartai Gerindra tengah fokus mengawal perhitungan suara pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Presiden Jokowi menyatakan Presiden boleh ikut kampanye dan memihak salah satu calon di Pilpres 2024.
Baca SelengkapnyaPemilu 2019 menandai pemilihan presiden keempat dalam era reformasi Indonesia.
Baca SelengkapnyaMerujuk pada Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, Pemilu saat ini berada pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara
Baca SelengkapnyaMahasiswa juga menyuarakan agar ASN, TNI dan Polri tetap netral dan bekerja sesuai dengan porsinya.
Baca SelengkapnyaMasyarakat Kaltim Berhasil Jaga Kondusifitas Pasca Pemilu 2024
Baca SelengkapnyaTerkait paslon yang didukung Jokowi di Pilpres 2024, Kaesang meminta agar ditanyakan langsung ke presiden
Baca Selengkapnya