Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

M Sanusi dituntut 10 tahun bui, hak politik diminta dicabut

M Sanusi dituntut 10 tahun bui, hak politik diminta dicabut Sekda DKI bersaksi di sidang Sanusi. ©2016 merdeka.com/muhammad luthfi rahman

Merdeka.com - Mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider empat bulan. Sanusi dinilai terbukti menerima suap Rp 2 miliar dari Presdir PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.

Jaksa penuntut umum KPK Ronald F Worotikan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menyatakan, terdakwa telah melakukan pencucian uang sebesar Rp 45,28 miliar.

Jaksa penuntut umum dalam perkara ini menuntut supaya majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Mohamad Sanusi telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 10 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider empat bulan kurungan," katanya, dikutip dari Antara, Selasa (13/12).

Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama, yaitu pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Jaksa juga menuntut adanya pencabutan hak politik bagi Sanusi selama 5 tahun setelah menjalani hukuman.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," kata Ronald.

Alasannya, kedudukan Sanusi pada saat melakukan tindak pidana koruspi adalah sebagai anggota DPRD provinsi DKI Jakarta yang dipilih langsung oleh warga Jakarta sehingga masyarakat memiliki harapan besar agar Sanusi secara politis dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemilihannya tersebut.

"Perbuatan terdakwa sudah barang tentu mencederai kepercayaan publik yang diberikan kepadanya dan pada saat yang bersamaan semakin memperbesar 'public distrust' kepada lembaga legislatif, yaitu DPRD DKI Jakarta," katanya.

"Untuk menghindari lembaga DPRD dari kemungkinan dijabat oleh orang yang pernah dijatuhi hukum akibat melakukan tidan pidana korupsi maka terhadap terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik," kata jaksa Mungki Hadipraktikto.

Dalam dakwaan pertama, Sanusi dinilai terbukti menerima Rp 2 miliar dari mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL) Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman Trinanda Prihantoro agar Sanusi mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP) serta mengakomodasi pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman Widjaja.

Uang itu diberikan pada 28 dan 31 Maret 2016. Sebelum menerima uang itu Sanusi melakukan beberapa pertemuan dengan pengusaha reklamasi lain untuk membicarakan RTRKSP.

"Pertemuan pertama dilakukan di rumah Sugianto Kusuma yang dihadiri oleh anggota DPRD DKI Jakarta yaitu Mohamad Taufik, Mohamad Sanusi, Prasetio Edi Marsudi, Mohamad Sangaji, Selamat Nurdin serta Ariesman Widjaja. Dalam pertemuan itu Ariesman menanyakan bagaimana proses pembahasan RTRKSP dimana terdkawa menjelaskan waktu dan proses pembahasan," kata Ronald.

Keberatan Pertemuan selanjutnya dilakukan di kantor PT Agung Sedayu Grup lantai 4, Glodok yang dihadiri Sanusi, Sugianto Kusuma alias Aguan, Richard Halim Kusuma dan Ariesman WIdjaja. Dalam pertemuan itu, kembali dibicarakan proses pembahasan RTRKSP dengan Ariesman mengatakan keberatan mengenai pasal yang memuat tambahan kontribusi sebesar 15 persen dari nilai NJOP total lahan yang dapat dijual.

Pada 3 Maret 2016 di Avenue Kemang Village Jakarta Selatan, terdakwa bertemu dengan Ariesman Widjaja. Dalam pertemuan tersebut, Ariesman kembali menyatakan bahwa kontribusi tambahan sebesar 15 persen terlalu berat meski akan ditaruh di peraturan gubernur, tapi kalau tidak diatur dalam Peraturan Daerah maka kontribusi tambahan itu akan lebih besar lagi dan mengusulkan tambahan kontribusi dikonversi dari kontribusi sebesar 5 persen.

Selanjutnya Ariesman menawarkan untuk memberikan uang Rp 2,5 miliar kepada Sanusi yang juga anggota DPRD dari Fraksi Partai Gerindra saat itu.

"Mengenai pertemuan di Kemang Village itu, terdakwa mengaku berbohong kepada Mohamad Taufik, tapi menurut penilaian penuntut umum, hal itu tidak benar dan tidak berkesesuaian, sebaliknya keterangan terdakwa yang menyatakan kontribusi tambahan diambil dengan mengkonversi dari kontribusi (yang 5 persen) ini adalah sangat sesuai dengan kata-kata Ariesman Widjaja saat bertemu dengan Ariesman di Kemang Village, sehingga keterangan terdakwa berbohong ke Taufik harus dikesampingkan," ungkap Ronald.

Aset dalam dakwaan kedua JPU menilai, Sanusi terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 45,28 miliar, yaitu dengan melakukan pembelian aset berupa rumah dan apartemen hingga mobil mewah yang tidak sesuai dengan profil pendapatannya.

Dalam kurun waktu September 2009 sampai April 2016, Sanusi menerima penghasilan resmi setiap bulannya dari gaji, tunjangan sebagai anggota DPRD DKI Jakarta sebesar Rp 2,237 miliar. Pendapatan itu masih ditambah penghasilan lain sebagai direktur PT Bumi Raya Properti, uang sewa dan penghasilan lain sejak 2009-2015 sebesar Rp 2,6 miliar.

Sepanjang menjadi anggota DPRD sejak 2009, Sanusi juga tidak pernah melakukan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) ke KPK.

Uang Rp 45,28 miliar berasal dari Direktur Utama PT Wirabayu Pratama Danu Wira yang merupakan rekanan yang melaksanakan proyek pekerjaan di Dinas Tata Air pemprov DKI Jakarta periode 2012-2015 sejumlah Rp 21,18 miliar.

Selain itu, dari Komisaris PT Imemba Contractors Boy Ishak yang merupakan rekanan yang melaksanakan proyek pekerjaan di Dinas Tata Air pemprov DKI Jakarta periode 2012-2015 sejumlah Rp 2 miliar dan dari penerimaan-penerimaan lain sejumlah Rp 22,1 miliar.

Berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) 2009-2015, terdakwa aktif memiliki aset bangunan apartemen, mobil sejak menjadi anggota DPRD DKI Jakarta sejak 2009 sampai 2015 yang tidak seimbang dengan penghasilan sebagai anggota DPRD 2009-2014, yaitu menerima total gaji dan tunjangan diterima 1,6 miliar dan 2014-2016 total Rp 627 juta sehingga total gaji dan tunjangan sejak 2009-2016 sejumlah Rp 2,237 miliar.

"Penghasilan lain Bumi Raya Properti, sewa kios dan lain-lain pada 2009-2015 berdasarkan SPT adalah Rp 2,6 miliar. Terdakwa tidak bisa membuktikan asal usul harta kekayaan sehingga patut diduga terkait dengan pekerjaan terdakwa terkait anggota DPRD DKI Jakarta," tambah jaksa Mungki.

Jaksa pun menuntut perampasan aset milik Sanusi sebesar Rp 43,21 miliar, yaitu total nilai aset Sanusi yang diduga berasal dari tindak pidana pencucian uang dikurangi denda dan tunggakan pembayaran apartemen Soho Pancoran sebesar Rp 169 juta dan rumah di Vimala Hills sebesar Rp 1,9 miliar.

Atas tuntutan ini Sanusi akan mengajukan pledoi pada pekan depan.

(mdk/rnd)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Begini Reaksi Surya Paloh Ditanya Pilih Ahmad Sahroni atau Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta
Begini Reaksi Surya Paloh Ditanya Pilih Ahmad Sahroni atau Anies Baswedan di Pilgub DKI Jakarta

Nama Ahmad Sahroni diketahui menjadi salah satu digadang-gadang sebagai calon gubernur untuk Pilgub DKI Jakarta 2024.

Baca Selengkapnya
Bupati Sidoarjo Sempat Lolos OTT, KPK Buka Suara
Bupati Sidoarjo Sempat Lolos OTT, KPK Buka Suara

OTT terkait kasus dugaan korupsi pemotongan insentif ASN Sidoarjo yang mencapai Rp2,7 Miliar.

Baca Selengkapnya
PSI Nilai Jakarta Butuh Calon Gubernur seperti Jokowi, Bersiap Usung Kaesang?
PSI Nilai Jakarta Butuh Calon Gubernur seperti Jokowi, Bersiap Usung Kaesang?

PSI menilai Jakarta membutuhkan sosok calon gubernur dapat menciptakan harapan dan dekat dengan masyarakat seperti Presiden Jokowi.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Ditegur Pengurus karena Merokok Saat Puasa, Santri Bakar Pesantren di Sumedang
Ditegur Pengurus karena Merokok Saat Puasa, Santri Bakar Pesantren di Sumedang

Aksi pelaku itu diduga disebabkan emosi dan tidak terima ditegur pengurus pesantren karena merokok saat jam puasa.

Baca Selengkapnya
Anies Serukan Perubahan di Desa Termiskin Jateng, PDIP Pasang Badan Bela Ganjar
Anies Serukan Perubahan di Desa Termiskin Jateng, PDIP Pasang Badan Bela Ganjar

Menurut Hasto PDIP, Ganjar mampu menurunkan angka kemiskinan dengan sumber dana yang tidak sebanyak DKI Jakarta.

Baca Selengkapnya
Mantan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Ajukan Praperadilan, KPK Beri Perlawanan
Mantan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Ajukan Praperadilan, KPK Beri Perlawanan

Gus Muhdlor menggugat KPK usai dijadikan tersangka kasus korupsi pemotongan dana Insentif ASN BPPD Sidoarjo.

Baca Selengkapnya
6.426 Narapidana di Sulsel Diusulkan Terima Remisi Hari Kemerdekaan RI
6.426 Narapidana di Sulsel Diusulkan Terima Remisi Hari Kemerdekaan RI

Kantor Wilayah Kemenkumham Sulawesi Selatan mengusulkan 6.426 narapidana menerima remisi atau pengurangan masa pidana saat momen Hari Kemerdekaan Indonesia.

Baca Selengkapnya
30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta
30 Persen Pemudik Belum Kembali ke Jakarta

Kondisi arus balik landai lantaran belum semua pemudik kembali ke Jakarta.

Baca Selengkapnya
Kompak! Presiden Jokowi, Wapres Ma’ruf & Sejumlah Menteri Lapor SPT Pajak Bersama di Istana
Kompak! Presiden Jokowi, Wapres Ma’ruf & Sejumlah Menteri Lapor SPT Pajak Bersama di Istana

Penyampaian SPT tahunan yang terlambat akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda, yakni Rp 100 ribu

Baca Selengkapnya