Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tak Terdampak Pandemi, Cukupi Kebutuhan Gizi Anak dari Kebun Sendiri

Tak Terdampak Pandemi, Cukupi Kebutuhan Gizi Anak dari Kebun Sendiri Anak-anak di Sekolah Pagesangan Gunung Kidul, DIY. ©2021 Merdeka.com/Rizka Nur Laily Muallifa

Merdeka.com - Letak masker Karyati (40) belum sepenuhnya benar saat ia melangkah keluar dapur dan menawarkan diri memandu saya menyusuri pekarangannya. Di samping rumah, beberapa jenis sayuran seperti kecipir, ketela, singkong, waluh, kacang panjang, dan beberapa tanaman lain tumbuh rimbun.

Ibu dua anak itu beruntung, sebab tak banyak warga Dusun Wintaos, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki lahan pertanian dekat dengan rumah. Mayoritas lahan pertanian mereka berada di dataran lebih tinggi atau yang sering disebut dengan istilah alas.

“Setiap hari saya masak sayur dari kebun ini, mbak. Ya alhamdulillah, kalau untuk kebutuhan sayur sehari-hari terpenuhi dari sini,” ujarnya sembari menggandeng anak perempuannya menaiki bebatuan berundak yang menghubungkan rumah dengan pekarangan, Minggu (28/3/2021).

Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, Karyati biasa menjual kelebihan hasil panennya ke toko sayuran di dekat rumah. Perempuan asli Gunung Kidul itu tak merasakan dampak pandemi Covid-19 terhadap pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. “Corona sama enggak tidak ada bedanya. Persediaan makan dari kebun sendiri,” terangnya.

Senada, Panikem (65), petani ladang asli Dusun Wintaos mengungkapkan, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga ia biasa meramban berbagai sayuran hijau yang ada di ladang. “Kalau hijau-hijauan ya ramban, tapi kalau wortel, kentang, kol, ya tetap beli, mbak. Untuk makan sehari-hari lebih banyak ramban dari ladang,” ujarnya saat ditemui di teras rumahnya.

Ditemui terpisah, Septi Marfu’ah (29), pemilik Karangkitri Permakultur menuturkan, pandemi Covid-19 tidak berdampak pada pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarganya. Sejak menikah delapan tahun silam, pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga hampir sepenuhnya mengandalkan hasil pertanian dan peternakan yang dikelola bersama Teguh Budi Prasetya (34), suaminya.

“Ada pandemi, orang asalkan bisa menanam, bisa hidup,” ucapnya di sela aktivitas melayani pembeli sayur organik di Pasar Kamisan, Sleman, Kamis (18/3/2021).

Selain menanam berbagai jenis sayuran, di atas lahan seluas kurang lebih 1000 meter, Septi dan Budi memelihara sejumlah hewan ternak, seperti ayam, ikan, bebek, entok, kelinci, hingga kambing. “Kenyataannya orang hidup ini aslinya enak, kita dikasih ilmu, tangan, tenaga, untuk dimanfaatkan. Kalau bisa memproduksi sendiri kenapa harus beli,” imbuh perempuan kelahiran Palembang itu.

Sehari-hari, Septi memenuhi kebutuhan pangan dan gizi anak semata wayangnya dari hasil pertanian dan peternakan di sekitar rumah. “Ya ini mau makan ikan ada, mau makan ayam ada, sayur-sayuran juga. Lengkap tho mbak untuk memenuhi gizi anak,” ujar Septi saat menemani saya keliling kebun sayur di samping rumahnya di Cangkringan, Sleman, Senin (5/4/2021).

Meski demikian, tidak semua kebutuhan pangan keluarga Septi dipenuhi dari hasil pertaniannya. Pemenuhan bahan pangan pokok seperti beras ia masih harus membeli dari hasil panen tetangga.

Penuhi Bahan Pangan Pokok

karyati warga dusun wintaos panggang gunung kidul meramban sayur di kebun samping rumahnya

©2021 Merdeka.com/Rizka Nur Laily Muallifa

Sementara itu, selain menanam sayuran, Karyati dan suaminya juga menanam bahan pangan pokok berupa padi dan singkong. Selain mengandalkan beras hasil panen, Karyati mengolah singkong menjadi tiwul untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok keluarganya.

Sehari-hari, selain memasak nasi, ada kalanya ia juga memasak tiwul. Rata-rata ia memasak tiwul setiap tiga hari sekali. “Beda mbak dengan zaman dulu, sekarang anak-anak nggak begitu suka (tiwul). Ya doyan, tapi nggak terlalu suka,” ungkap perempuan yang saat itu mengenakan jilbab warna ungu.

Cerita Karyati tentang anaknya yang tidak terlalu menyukai tiwul selaras dengan pengakuan Fara (11) dan Intan (9), anak-anak lain di Dusun Wintaos. Ditemui di sela aktivitas belajarnya di Sekolah Pagesangan di dusun setempat, keduanya mengaku tidak terlalu menyukai tiwul. “Doyan, tapi lebih enak nasi. Beda rasanya,” ujar Intan dalam bahasa Jawa halus, Minggu (28/3).

Sementara itu, Arum (15), pelajar SMP Negeri Panggang menyatakan, setiap kali ibunya memasak tiwul ia tak berkeberatan menyantapnya. “Biasanya dimakan sama sayur,” tuturnya sembari membenarkan posisi jilbabnya. Meski sama-sama tak keberatan menyantap tiwul, Ima (10) mengaku lebih menyukai tiwul yang dimasak dengan pelengkap gula jawa dan parutan kelapa.

Diah Widuretno, pendiri Sekolah Pagesangan mengungkapkan, mayoritas warga Dusun Wintaos biasa mengolah hasil panen singkong menjadi berbagai macam makanan, salah satunya tiwul.

“Singkong diolah jadi tiwul, karena di sini singkong tumbuh dengan baik, produksi melimpah, per keluarga per panen bisa menghasilkan 2 kuintal hingga 2 ton. Nah, setiap keluarga akhirnya menjadikan singkong jadi bahan pangan pokok. Akhirnya mereka mengembangkan sistem pengawetan, dibuat gaplek, gaplek bisa dibuat tiwul. Nah tiwul ini jadi pangan pokok,” ujar Diah.

Lebih lanjut, peneliti Pangan Lokal lulusan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Amalia menuturkan, tiwul merupakan bahan pangan yang tak bisa dilepaskan dari kebudayaan pangan masyarakat Gunung Kidul. “Sampai sekarang, tiwul ini masih dikenal sampai tiga generasi, generasi kakek-nenek, orang tua, lalu cucu. Ya karena ini memang kebudayaan pangan mereka sejak dulu,” tuturnya saat ditemui di Yogyakarta, Jumat (26/3/2021).

Sementara itu, kebudayaan pangan masyarakat Dusun Wintaos tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan pertanian yang dikembangkan nenek-moyang terdahulu. Kondisi tanah kering dan berbatu membuat mereka mempraktikkan pertanian polikultur atau tumpang sari, menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan. Praktik pertanian inilah yang hingga kini menjadi tonggak utama pemenuhan pangan dan gizi masyarakat setempat.

“Apapun yang bisa tumbuh ditanam. Prinsipnya, mencukupkan segala yang dibutuhkan. Kebutuhan pangan itu kalau bisa dipenuhi dari kebun,” terang Diah.

Mendekatkan Anak dengan Sumber Pangan

anak anak di sekolah pagesangan gunung kidul diy

©2021 Merdeka.com/Rizka Nur Laily Muallifa

Pola pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi  dari ladang keluarga sebagaimana yang dilakukan Panikem dan Karyati merepresentasikan kehidupan mayoritas warga Dusun Wintaos. Sehari-hari para petani yang juga ibu rumah tangga meramban berbagai jenis tanaman pangan untuk diolah menjadi santapan keluarga.

Sejak kecil, Panikem dan Karyati akrab dengan aktivitas meramban yang dilakukan oleh orang tuanya. Keduanya juga terbiasa menyantap makanan yang diolah dari berbagai tanaman pangan yang dipanen dari ladang. Saat menjadi ibu rumah tangga, praktik memenuhi kebutuhan pangan dan gizi anak dari lahan pertanian sendiri sudah menjadi hal lumrah dan wajar bagi keduanya.  

Meski demikian, seiring berkembangnya zaman, ketahanan pangan melalui praktik pertanian subsisten atau yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan pangan keluarga ala masyarakat Dusun Wintaos bukan tanpa ancaman. Tahun 1980-an, program Revolusi Hijau yang dijalankan pemerintahan Presiden Soeharto dengan mewajibkan petani menanam padi turut berkontribusi menggeser keanekaragaman tanaman pangan di dusun setempat.

Tak berhenti sampai di situ, program-program pemerintah berikutnya terkait pertanian memperparah tergesernya benih-benih tanaman pangan lokal warisan leluhur. Ujungnya, generasi anak-anak saat ini banyak yang tidak mengetahui berbagai tanaman pangan lokal itu. Ketidaktahuan mengenai keberagaman tanaman pangan lokal ini pada ujungnya menyebabkan anak-anak terpaku pada satu jenis tanaman pangan tertentu. Seperti yang terjadi di Dusun Wintaos saat ini di mana anak-anak cenderung hanya menyukai nasi.

“Dulu bisa masak nasi jagung (putih), sekarang udah nggak ada. Sekarang adanya jagung hibrida, itu nggak enak dimasak nasi,” ujar Panikem.

Bukan hanya keberadaan jagung putih yang terancam, tanaman pangan lokal lain yang dulu biasa dikonsumsi Panikem dan Karyati juga semakin jarang ditemukan. “Itu jali-jali, mbak. Enak dibikin bubur. Dulu banyak, sekarang udah jarang yang nanam,” terang Karyati saat saya menanyakan tanaman apa yang tumbuh di tengah-tengah rimbunnya tanaman waluh di samping dapurnya.

Dalam kasus ini, praktik pertanian modern yang menghasilkan benih unggul seperti jagung hibrida justru menggeser eksistensi keberagaman pangan lokal. Hasilnya, produksi pertanian masyarakat antardaerah semakin seragam. Padahal, menurut Amaliah, keberagaman pangan menjadi salah satu kunci ketahanan pangan yang sudah teruji dan terbukti sejak zaman dahulu. Terlebih masing-masing daerah memiliki topografi berbeda sehingga spesifikasi tanaman pangannya pun berlainan.

Lebih lanjut, guru Pendidikan Pangan di SMP dan SMA Tumbuh Bantul itu menegaskan penting membekali anak sedini mungkin dengan pendidikan pangan supaya mereka memahami kriteria pangan yang beragam.  “Terutama (keberagaman pangan) real food ya, bukan artificial food. Multivitamin itu didapatkan kalau kita mengonsumsi real food, makanan hidup. Tubuh akan jenuh kalau hanya mengonsumsi satu jenis makanan,” ujar Penerima Eat Challenge Intern 2016 di Italia itu.

Senada, Ahli Gizi di Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (RS UNS) Surakarta, Afifah Kurniati mengungkapkan, sejak dini anak-anak perlu dikenalkan dengan berbagai jenis makanan, supaya kelak tidak menjadi pemilih makanan.

“Terutama buah dan sayur karena kaya akan vitamin dan mineral yang mengandung antioksidan yang akhirnya bisa menjadi sistem imun yang mampu menangkal berbagai penyakit,” terangnya melalui keterangan tertulis yang diterima Merdeka, Minggu (4/4/2021).

Berkenaan dengan konsumsi buah dan sayur, Septi bercerita bahwasanya sejak anaknya lahir, ia selalu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi sang buah hati dari kebun yang berada satu lokasi dengan rumahnya.

“Waktu bayi minumnya ASI dan susu kedelai, susu kedelai itu aku bikin sendiri, mbak. Makanannya juga dari apa yang kutanam di kebun, nggak pernah kayak Sun, Promina, nggak pernah,” ujar ibu satu anak itu.

Septi mengungkapkan, sejak anaknya menginjak usia 6 bulan hingga 1 tahun, ia selalu membuatkan Makanan Pendamping ASI (MPASI) dari berbagai bahan pangan yang tumbuh di kebun. “Ya cuma ubi, sayur-sayuran, wortel, gitu mbak. Tak kukus terus tak blender. Makanan-makanan bayi sebenarnya mudah banget bikinnya,” ucapnya.

Menu makanan yang diberikan Septi kepada anak semata wayangnya itu terbilang sederhana, namun dampaknya dirasakan hingga sekarang. Menurut penuturan Septi, Aji (7) anaknya jarang terserang penyakit musiman seperti flu dan batuk karena imunitasnya kuat.

Pendidikan Pangan untuk Anak

infografis manfaat buah dan sayur

©2021 Merdeka.com/Rizka Nur Laily Muallifa

Kini, seiring bertambahnya usia sang anak, Septi tidak bisa lagi sepenuhnya mengontrol makanan yang dikonsumsi sang buah hati. “Semakin dia besar, semakin dia tahu, jadi terpengaruh. Di sekolahan dia nemuin banyak teman-temannya jajan beranekaragam makanan,” imbuhnya.

Septi mengaku tidak melarang anaknya mengonsumsi makanan tertentu. Ia memilih memberi keleluasaan sang anak untuk mencoba berbagai jenis makanan dan mengalami sendiri dampaknya terhadap tubuh.

“Tubuhnya yang merespon. Makan yang kayak makanan perasa barberque itu langsung tenggorokannya sakit, minum sprite atau apa yang ada sodanya ya nggak cocok. Dari situ dia jadi tahu kan, mbak,” imbuh penjual sayur organik di Pasar Milas Yogyakarta itu.

Senada, Diah Widuretno dan Amaliah juga tak pernah melarang anak-anak mengonsumsi makanan tertentu. Diah lebih memilih membekali anak-anak di Sekolah Pagesangan mengenai keberagaman tanaman pangan lokal yang ada di Dusun Wintaos.

Sementara itu, Amaliah menekankan pemahaman mengenai pengenalan rasa dari berbagai bahan pangan kepada anak-anak didiknya di SMP dan SMA Tumbuh, Bantul. “Orang mengidentikkan rasa manis dengan gula, padahal kalau kita mengunyah nasi yang kemudian bercampur dengan enzim di mulut kan rasanya jadi manis. Nah itu yang saya ajarkan, rasa manis itu asalnya juga beragam,” tuturnya.

Lebih lanjut, perempuan yang pernah tinggal sementara di Belanda itu mengungkapkan, ia membekali anak-anak didiknya dengan mengenalkan keberagaman bahan pangan. Misalnya ragam gula Indonesia, ragam keju, hingga ragam garam. Kurikulum Pendidikan Pangan di SMP dan SMA Tumbuh dikontekstualisasikan dengan potensi pangan yang ada di Indonesia.  

“Apa bedanya rujak dan lotis, bukan kepada salad. Kita punya banyak jenis rujak kan. Pokoknya lebih bangga terhadap Indonesia itu sendiri. Pernah juga ajak anak-anak bikin mashed potato, tapi kentangnya saya ganti pakai sukun, dan rasanya enak,” terang anggota Slow Food Yogyakarta itu.

Amalia tidak pernah terang-terangan melarang anak-anak didiknya mengonsumsi makanan cepat saji, namun mengajak mereka menelusuri asal-usul serta akibat yang didapatkan jika mengonsumsinya.

“Makan mi instan itu bukannya nggak boleh, boleh. Bu Amaliah juga makan mi instan, tapi tidak jadi favorit. Coba mi itu terbuat dari apa? Gandum, nah apa gandum bisa tumbuh di Indonesia? Enggak, jadi harus beli dari luar (negeri). Terus bumbu-bumbunya dibuat dari apa, kita kan nggak tahu,” ujar perempuan yang pernah terlibat dalam pembinaan kuliner di daerah terluar Indonesia pada 2016-2017 itu.

Menyiapkan Makanan Bergizi

Dosen Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwi Larasatie Nur Fibri mengungkapkan, pola konsumsi seseorang sangat ditentukan sejak ia masih bayi. Seseorang yang dibiasakan mengonsumsi buah dan sayur sejak kanak-kanak cenderung akan tetap menyukai makanan tersebut hingga berusia dewasa. Begitupun sebaliknya.

“Misalnya usia 1-7 tahun kita biasakan dia (anak, red) mengonsumsi makanan sehat, kemudian ada satu fase dalam jangka waktu cukup lama di mana dia terpapar dengan micin-micinan, tubuh akan merespons tentunya. Tapi ada satu hal yang bisa membalikkan apa yang sudah tertanam, mungkin  tubuhnya mulai bisa menerima micin-micinan. Tapi kemudian ada satu titik di mana dia sudah bisa memilih pasti kembali pada makanan alami, asal awalnya (tujuh tahun pertama si anak) sudah baik,” terangnya saat dihubungi melalui video Zoom, Minggu (4/4/2021).

Mantan Kepala Laboratorium Pangan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM itu menambahkan, pendidikan sensoris untuk mengenalkan tekstur dan cita rasa asli berbagai jenis makanan perlu diberikan kepada anak-anak sejak sedini mungkin. Pengenalan berbagai jenis makanan kepada anak diperlukan supaya kelak dia tidak menjadi picky eater atau pemilih makanan.  

“Karena perlunya pengenalan banyak jenis makanan tersebut, pengenalan jenis makanan sayur-mayur dan buah-buahan sangatlah penting untuk anak. Karena banyak dari anak usia SD sampai beranjak dewasa yang kurang menyukai sayuran,” terang Ahli Gizi UNS Afifah Kurniati.  

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi buah dan sayur. Padahal sayuran kaya akan vitamin dan mineral yang mengandung antioksidan serta bisa menjadi sistem imun yang mampu menangkal berbagai penyakit.

Afifah menjelaskan, sayuran hijau yang mudah ditanam di pekarangan rumah atau yang biasa diperoleh dari pasar memiliki banyak manfaat. Misalnya, bayam, brokoli, caisim, kembang kol, kangkung, kacang panjang, pare yang tinggi kandungan seratnya.   

“Selain itu kandungan vitamin dan mineral khususnya pada sayuran hijau seperti vitamin A untuk kesehatan mata banyak terdapat pada bayam, sawi, brokoli, selada. Vitamin B untuk pemeliharaan pertumbuhan serta perkembangan tubuh banyak terdapat pada sawi hijau, asparagus, brokoli. Vitamin C sebagai sumber antioksidan yang bermanfaat mencegah berbagai macam penyakit banyak terdapat pada brokoli, paprika, bayam, edamame,” ungkap perempuan kelahiran Klaten itu.

Selain itu, zat besi dalam sayuran hijau membantu pembentukan sel dan mencegah anemia, kaliumnya berfungsi menjaga keseimbangan elektrolit. Kemudian, kandungan magnesiumnya berguna dalam proses  pembentukan dan pemeliharaan tulang serta menunjang kinerja syaraf dan otot. Buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral juga menjadi prebiotik yang sangat bermanfaat menjaga keseimbangan mikrobiota usus.

Apabila konsumsi buah dan sayur kurang, bisa menyebabkan gangguan pencernaan seperti sembelit, serta kekurangan vitamin dan mineral tertentu. Dampaknya, imunitas bisa menurun, banyak terpapar radikal bebas, kulit terlihat pucat dan kering, serta kondisi kesehatan secara umum menurun.

Afifah menandaskan, anak-anak perlu dibiasakan mengonsumsi berbagai jenis makanan, karena tidak ada satu bahan makanan yang memiliki kandungan gizi lengkap. Dia juga menyarankan para orang tua mengatur jadwal makan anak.

“Atur jadwal makan anak, biasakan makan 3x sehari (pagi, siang, malam) bersama keluarga. Selain makanan utama, dianjurkan mengonsumsi makanan selingan sehat untuk menghindarkan anak mengonsumsi makanan tidak sehat/junk food,” ungkapnya.

Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan sekitar 20-40% anak-anak tidak terbiasa sarapan (Hardiansyah, 2012). Pada anak sekolah, hal ini menyebabkan energi yang diperlukan untuk belajar berkurang, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas prestasi belajar anak.

“Oleh karena itu sarapan pagi sangat penting untuk menambah gula darah sebagai sumber energi. Sehingga pada saat menerima pelajaran (1-2 jam setelah makan) gula darah naik dan dapat dipakai sebagai sumber energi otak,” imbuh alumnus Poltekkes Semarang itu.

Lebih lanjut, Ahli Gizi RS UNS itu memberikan panduan mudah memenuhi kebutuhan pangan dan gizi anak bagi para orang tua. Dimulai dari memperbanyak konsumsi buah dan sayur, serta membiasakan anak mengonsumsi ikan dan sumber protein lain.

Kemudian membekali anak dengan makanan dan air putih saat sekolah atau bepergian. Sementara itu, orang tua perlu membatasi anak mengonsumsi makanan cepat saji, serta makanan selingan atau jajanan yang bercita rasa manis, asin, dan berlemak.

(mdk/rka)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Satu Keluarga Lompat dari Apartemen di Jakut Sempat Punya Usaha Kapal Ikan
Satu Keluarga Lompat dari Apartemen di Jakut Sempat Punya Usaha Kapal Ikan

Bisnis kapal tersebut bangkrut ketika pandemi Covid-19 lalu.

Baca Selengkapnya
Diremehkan Mantan Suami & Diganggu Preman, Janda Cantik 2 Anak Nekat Jualan Bakso Gerobak Kini Omzetnya Rp100 Juta
Diremehkan Mantan Suami & Diganggu Preman, Janda Cantik 2 Anak Nekat Jualan Bakso Gerobak Kini Omzetnya Rp100 Juta

Sempat kerja di Bandara Soekarno-Hatta selama dua tahun, Opi memutuskan buat banting setir berjualan bakso ikan dengan gerobak.

Baca Selengkapnya
Perjalanan Hidup Anak Pemulung Hingga Punya 47 Cabang Kedai Cokelat, Gagal Berkali-kali tapi Tak Pernah Menyerah
Perjalanan Hidup Anak Pemulung Hingga Punya 47 Cabang Kedai Cokelat, Gagal Berkali-kali tapi Tak Pernah Menyerah

Irham memulai perjalanan karirnya saat masih kuliah. Saat itu dia senang mempelajari ilmu yang berkaitan dengan pengembangan diri.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Pemuda 20 Tahun Ini Tak Kenal Gengsi, Lulus SMA Langsung Terjun Bisnis Bawang Goreng dan Kini Tinggal Menikmati Hasil
Pemuda 20 Tahun Ini Tak Kenal Gengsi, Lulus SMA Langsung Terjun Bisnis Bawang Goreng dan Kini Tinggal Menikmati Hasil

Adit merasa, dari pada bekerja untuk orang lain, lebih baik dia mengembangkan usaha keluarganya agar lebih sukses.

Baca Selengkapnya
Menkes Minta Anggaran Kesehatan Diprioritaskan: Sehat Mesti Duluan daripada Pintar
Menkes Minta Anggaran Kesehatan Diprioritaskan: Sehat Mesti Duluan daripada Pintar

Menurut Budi, syarat untuk mencapai generasi emas 2045 ialah harus sehat dan pintar.

Baca Selengkapnya
Gorengan Selalu Menggoda untuk Buka Puasa, Akankah Memicu Asam Lambung?
Gorengan Selalu Menggoda untuk Buka Puasa, Akankah Memicu Asam Lambung?

Sebagai alternatif makanan yang diminati di Indonesia, gorengan sering dijadikan pilihan untuk takjil saat berbuka puasa.

Baca Selengkapnya
Jalankan Bisnis Bareng Sejak Kuliah, Pasutri Asal Malang Mengaku Rezekinya Mengalir Deras setelah Punya Anak
Jalankan Bisnis Bareng Sejak Kuliah, Pasutri Asal Malang Mengaku Rezekinya Mengalir Deras setelah Punya Anak

Saat pertama kali berkenalan, keduanya sama-sama memiliki latar belakang ekonomi yang sulit.

Baca Selengkapnya
Hindari Konsumsi 6 Makanan dan Minuman Ini saat Mengalami Masalah Tenggorokan
Hindari Konsumsi 6 Makanan dan Minuman Ini saat Mengalami Masalah Tenggorokan

Pada saaat mengalami sakit tenggorokan, penting untuk melakukan berbagai cara agar masalah ini tidak memburuk.

Baca Selengkapnya
Kapolri Wanti-Wanti Anak Buah Cegah Gangguan Keamanan Selama Ramadan
Kapolri Wanti-Wanti Anak Buah Cegah Gangguan Keamanan Selama Ramadan

Jenderal Sigit memberikan atensi seluruh jajaran menjaga kamtibmas selama Ramadan untuk menjaga kekhusyukan masyarakat selama menunaikan ibadah puasa.

Baca Selengkapnya