Sejarah Kirab Tedhak Loji, Unjuk Kewibawaan Raja Tanah Jawa Terhadap Rezim Kolonial
Kirab ini selalu berlangsung megah yang mengisyaratkan tingginya wibawa raja tanah Jawa
Kirab ini selalu berlangsung megah yang mengisyaratkan tingginya wibawa raja tanah Jawa
Biasanya keberangkatan Sultan menuju loji disertai dengan kirab akbar yang terdiri dari parade kereta kebesaran. Selain itu, acara kirab juga diikuti oleh para bangsawan dan prajurit beserta abdi dalem keraton.
Dilansir dari kanal YouTube Bauwarna, upacara tersebut diperkirakan sudah ada sejak tahun 1800-an, yaitu pada masa Pakubuwono IV di Surakarta, dan masa Hamengkubuwono III di Yogyakarta.
Menjelang abad ke-20, yaitu pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono IX, pelaksanaan Tedhak Loji digambarkan sangat megah.
Para prajurit keraton berjalan membawa panji-panji kebesaran. Sementara Sri Sunan bersama residen Belanda duduk di dalam Kereta Kuda Kencana yang ditarik 8 ekor kuda Australia. Sedangkan putra mahkota dan residen duduk di kereta kuda lain yang ditarik 6 ekor kuda, diikuti oleh barisan para pangeran yang juga menunggang kuda.
Ratusan abdi dalem mengiringi dengan berjalan kaki. Sebagian dari mereka membawa benda-benda pusaka dan regalia.
Para prajurit keraton dan tentara pengawal sunan berbaris di depan kereta Sunan. Saat kereta sunan melewati Benteng Vastenberg, barisan korps musik segera memainkan lagu Wilhelmus, disertai dentuman meriam sebagai tanda penghormatan.
Saat kereta sunan sudah memasuki halaman Loji Residen, maka para pangeran bergegas turun dari kuda untuk melakukan sembah, kemudian duduk di tanah sampai Sunan turun dari keretanya.
Sementara itu tempat duduk di dalam Loji Residen sudah diatur dengan sangat bagus. Mulai dari tempat turunnya Sunan dari kereta kencana hingga dibentangkannya permadani merah khusus untuk lantai yang akan dilalui sunan dan residen.
Setelah Sunan dan Residen lewat, para petugas langsung sigap menggulung permadani itu kembali agar orang lain tidak berkesempatan untuk menginjaknya.
Dalam gelaran Tedhak Loji, Sri Sunan selalu membawa seperangkat gamelan beserta para penari srimpi untuk dipertunjukkan di dalam pesta. Sri Sunan, tanpa disertai istri, mengikuti acara itu hingga pukul 3 pagi.
Ketika Sri Sunan kembali ke keraton, diadakanlah upacara penghormatan yang sama seperti yang berlangsung saat kedatangannya di Loji Residen.
Wilayah yang terletak di Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) dulunya dikenal sebagai kota yang kaya akan rempah-rempah.
Baca SelengkapnyaDulunya Kuningan merupakan wilayah permukiman dan kerajaan.
Baca SelengkapnyaSang Raja Rahat yang melihat patung Sigale-gale bergerak dengan sendirinya merasa patung itu mirip seperti sang anak.
Baca SelengkapnyaTanaman ini dibawa oleh orang-orang Belanda ke Nusantara.
Baca SelengkapnyaWilayah Kelenteng Sam Poo Kong dulunya berada di pinggir laut. Kini jaraknya sekitar 7 km dari bibir pantai
Baca SelengkapnyaPerkembangan perkebunan karet di Aceh Timur kerap menggunakan kuli yang berasal dari luar daerah, seperti Jawa hingga Tiongkok.
Baca SelengkapnyaDulu, busana ini memiliki makna yang digunakan hanya pada acara-acara formal. Namun, zaman telah berubah, kini telah melebur menjadi pakaian sahari-hari.
Baca SelengkapnyaKonon Desa Kedung Glatik sudah berdiri sejak abad ke-15
Baca SelengkapnyaIa merupakan tokoh penting dalam sejarah Kota Surabaya.
Baca Selengkapnya