Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur
Syawalan itu digelar di puncak bukit. Puluhan ribu warga hadir dalam acara itu
lebaran 2024![Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/1200x630/bg/newsOg/2024/4/2/1711994725359-swqt9.jpeg)
Syawalan itu digelar di puncak bukit. Puluhan ribu warga hadir dalam acara itu
![Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/480x/ori/feedImage/2024/4/2/1711994650511-j49eo.jpeg)
Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur
Bulan Syawal merupakan momen saling bersilaturahmi dan saling memaafkan atas kesalahan yang pernah diperbuat masing-masing individu dengan individu lainnya.
Namun ada kalanya syawalan menjadi momen untuk mengenang kembali cerita-cerita masa lalu, saat para pendahulu leluhur masih hidup dan berjuang demi nasib generasi setelahnya yang lebih baik.
Ada sebuah tradisi syawalan unik di Dusun Brigasan, Desa Pasangsari, Kecamatan Windusari, Magelang. Tradisi itu bernama Syawalan Gunung.
Kegiatan ini rutin digelar sejak tahun 2003.
Dalam pelaksanaan acara tersebut, warga dari enam dusun saling bergotong royong, yakni Dusun Wonolelo, Dimik, Karang Slamet Lor dan Kidul, Congkrang, dan Brigasan.
![Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/480x/ori/feedImage/2024/4/2/1711994663154-18zca.jpeg)
Kegiatan itu berlangsung selama dua hari. Pada tahun 2019, acara itu dihadiri sekitar 60 ribu pengunjung. Mereka tak hanya berasal dari desa setempat, namun ada juga yang berasal dari luar daerah.
Dalam acara itu, warga berkumpul di sebuah area makam yang berada di puncak Gunung Giyanti, di sana mereka tak hanya berziarah. Namun juga diberi wawasan sejarah mengenai makam tersebut.
“Sejarahnya itu dulu warga di sekitar sini mayoritas sumber ekonominya berasal dari hasil bumi atau bertani. Namun banyak babi hutan yang merusak ladang warga. Lalu warga menggunakan anjing untuk melindungi warga dan mengusir babi hutan,” kata Panitia Syawalan Gunung tahun 2019, Edi Masruri, dikutip dari Magelangkab.go.id.
- Kisah Legenda Lau Kawar di Tanah Karo, Kutukan Wanita Tua yang Berujung Bencana
- Dalang Harus Perempuan, Begini Sejarah Kentrung Bate Dulu untuk Dakwah Islam Kini Jadi Hiburan Warga Tuban
- Cerita di Balik Peresmian Jembatan Merah Putih di Brebes, Kini Warga Desa Terpencil Tak Lagi Terisolasi
- Mengenal Larung Kepala Kerbau, Ungkapan Rasa Syukur Nelayan di Jepara
- Kemenag Imbau Masyarakat Cek Ulang Arah Kiblat pada 27 dan 28 Mei, Ini Alasannya
- Kronologi Terbongkarnya Balita di Kediri Diduga Tewas Dibunuh dan Dikubur di Teras Rumahnya
Edi melanjutkan, karena peristiwa itu, salah seorang tokoh agama di desa tersebut, Mbah Misbahul Munir, meminta petunjuk kepada Allah SWT dengan melakukan mujahadahan dan salat malam.
Kemudian pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Munir didatangi oleh almarhum kakeknya dan diberi pesan untuk merawat makam leluhur yang berada di atas puncak.
![Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/480x/ori/feedImage/2024/4/2/1711994676770-mgz2jh.jpeg)
Konon, jenazah yang dimakamkan tersebut termasuk tokoh keluarga Keraton yang tersingkirkan oleh Belanda dan seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro di antaranya Kyai Bahaudin, Raden Mano, dan Kyai Kudi.
![Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/480x/ori/feedImage/2024/4/2/1711994691738-b69tak.jpeg)
Setelah makam dirawat, dibersihkan, dan sering didatangi peziarah, maka hewan babi hutan yang meresahkan itu pergi dengan sendirinya. Akhirnya ladang warga aman dari ancaman babi hutan dan hewan liar lainnya.
Berada di Puncak Bukit
Lokasi makam sendiri berada di puncak Gunung Giyanti yang menyuguhkan pemandangan alam yang indah. Hal ini membuat selain sebagai tempat ziarah, lokasinya juga bisa menjadi tempat wisata alam.
Makam itu berada di lahan milik perhutani yang ditanami berbagai tanaman produktif seperti kopi, kayu andra, dan tanaman lainnya. Untuk daerah makamnya luasnya dua hektare dan pengelolaannya dilakukan masyarakat sekitar, terutama untuk kegiatan keagamaan.