Mengenal Kesenian Cingpoling dari Purworejo, Tarian dari Gerakan Bela Diri

Minggu, 5 Februari 2023 15:33 Reporter : Shani Rasyid
Mengenal Kesenian Cingpoling dari Purworejo, Tarian dari Gerakan Bela Diri Kesenian Cingpoling. ©YouTube/Herman Expos

Merdeka.com - Indonesia memiliki beragam budaya terutama pada kesenian tarinya. Berbagai jenis tarian di Indonesia lahir dari kisah-kisah masa silam. Di setiap daerah di Indonesia, memiliki ragam tari-tari tradisional mereka.

Di Purworejo, ada kesenian tari Cingpoling. Tarian ini baru saja dinobatkan sebagai warisan budaya tak benda pada tahun 2021 lalu. Namun siapa sangka, pada awal mulanya, tarian ini berasal dari gerakan bela diri para prajurit desa.

Mengenal lebih jauh mengenai kesenian Cingpoling dari Purworejo yang punya keunikan tersendiri.

2 dari 4 halaman

Sejarah Kemunculan Cingpoling

kesenian cingpoling

©YouTube/Herman Expos

Dikutip dari Kemdikbud.go.id, tarian Cingpoling diperkirakan muncul sejak abad ke-17. Kesenian ini pertama kali muncul di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh, Purworejo.

Menurut sejarahnya, kesenian ini bermula saat Demang Kesawen mengikuti Pisowanan di Kadipaten Karangduwur. Pisowanan merupakan tradisi para pemimpin daerah untuk penyerahan upeti dan melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya.

Saat itu, Demang Kesawen datang bersama tiga prajuritnya yaitu Krincing, Dipomenggolo, dan Keling. Sambil menunggu giliran melaporkan pada Adipati Karangduwur, mereka berlatih bela diri di lapangan kadipaten.

Namun rupanya Adipati Karangduwur tidak berkenan melihat mereka berlatih bela diri. Ia memperingatkan Demang Kesawen dan tiga prajurit pengawalnya untuk tidak melakukan kegiatan serupa di kemudian hari.

3 dari 4 halaman

Diubah dalam Bentuk Tarian

kesenian cingpoling
©YouTube/Herman Expos

Larangan dari Adipati Karangduwur rupanya tidak membuat Demang Kesawen jera. Ia dan tiga prajurit lainnya berkeinginan melakukan serupa pada pisowanan berikutnya.

Maka, agar tidak dilarang Adipati Karangduwur, mereka menyamarkan gerakan bela diri itu dalam bentuk tarian. Untuk itu diajaklah dua pengawal lain, Jagabaya dan Komprang, yang ikut serta dengan membawa alat musik. Alih-alih prajurit desa, kedatangan mereka dikira sebagai anggota kelompok kesenian.

Walhasil, saat mereka berlatih di lapangan kadipaten, Adipati Karangduwur tidak menaruh curiga. Justru Adipati Karangduwur meminta Demang Kesawen untuk melestarikan “kesenian” tersebut dan bertanya apa nama kesenian itu. Demang Kesawen yang tidak tahu langsung menyerahkan jawaban itu pada Jagabaya.

Spontan, Jagabaya menamainya Cingpoling, berasal dari akronim nama tiga prajurit Demang Kesawen yaitu Krincing (Cing), Dipomenggolo (Po), dan Keling (Ling).

4 dari 4 halaman

Pelestarian Cingpoling

kesenian cingpoling

©YouTube/Herman Expos

Pergantian struktur pemerintahan yang dilakukan Pemerintah Belanda membuat kegiatan pisowanan tidak lagi diadakan. Bersamaan dengan itu pula, Cingpoling tidak lagi diadakan di lapangan kadipaten. Sebagai gantinya, kesenian itu dimainkan saat ada hajatan seperti pernikahan maupun khitanan.

Dilansir dari Budaya-Indonesia.org, penari Cingpoling saat ini adalah masyarakat yang berkeinginan untuk melestarikan budaya tersebut. Salah satunya adalah grup kesenian Cingpoling “Tunggul Wulung” di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh. Grup musik ini telah berdiri tahun 1957 dan tetap eksis hingga saat ini.

[shr]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini