Mengenal Bundengan, Musik Gembala Bebek Asal Wonosobo yang Unik
Merdeka.com - Para penggembala bebek di daerah Wonosobo, Jawa Tengah, biasanya menggunakan sebuah alat unik bernama Kowangan untuk melindungi mereka dari sinar matahari. Alat itu berupa sebuah tudung besar yang dapat melindungi kepala dan tubuh mereka. Apabila hujan datang atau sinar mentari menyengat, para penggembala tinggal masuk saja ke dalam tudung itu.
Seiring waktu, di sisi dalam Kowangan itu dibentangkan senar dan tiga bilah bambu di sela-sela anyaman. Senar di dalam Kowangan mampu menciptakan bunyi seperti perangkat bendhe pada gamelan.
Sedangkan tiga bilah bambu mampu menghasilkan bunyi menyerupai kendang dan gong. Akhirnya, alat tradisional itu menjadi sebuah alat musik bernama Bundengan.
Lalu bagaimana sejarah alat musik unik ini tercipta? Dan bagaimana pula penggunaan Bundengan pada masa kini? Berikut selengkapnya:
Sejarah Bundengan
©Wikipedia.org
Dilansir dari Kemenparekraf.go.id, keberadaan alat musik Bundengan sudah diketahui sejak abad ke-12 berdasarkan tulisan pada Kitab Wreta. Pada tahun 1930, Kunnst, seorang etnomusiologis dari Belanda menemukan sekelompok penggembala bebek yang saling duduk membelakangi dan membentuk lingkaran. Mereka bersenandung dengan iringan musik dari tudung yang melindungi kepala mereka sembari beristirahat menunggu hujan reda.
Pada tahun 1968, Bundengan digunakan sebagai alat musik pengiring kesenian lengger topeng. Selain itu alat musik tersebut digunakan sebagai musik pengiring lagu-lagu seperti Kebo Giro, Gones, Sumiyar, Kinayakan, Bribil, maupun Cuthang. Waktu itu, seniman yang mempopulerkan alat musik tersebut adalah Barnawi.
Penggunaan Bundengan di Masa Kini
©Wikipedia.org
Setelah meninggalnya Barnawi pada tahun 2011, kesenian Bundengan diteruskan oleh adiknya, Munir. Namun setelah generasi Munir sulit menemukan pemain Bundengan yang mahir. Belum lagi, fungsi Kowangan yang mulai tergantikan turut membuat alat musik itu jarang digunakan.
Sebagai benda yang digunakan untuk melindungi diri dari hujan dan terik matahari, fungsi kowangan kini telah tergantikan oleh payung dan juga jas hujan.
Untungnya, turunnya permintaan pasar terhadap tudung Kowangan dapat diimbangi dengan naiknya permintaan terhadap Kowangan musik yang tak lain adalah Bundengan. Selain itu, mulai banyak kelompok kesenian yang memasukkan Bundengan sebagai komposisi musik mereka.
Upaya Pelestarian Bundengan
©2021 Liputan6.com
Mulyani, seorang guru SMPN 2 Selomerto, Wonosobo terpanggil untuk melestarikan kesenian Bundengan. Oleh karena itu sejak tahun 2015, ia menjadikan permainan alat musik itu sebagai kegiatan ekstrakulikuler di sekolahnya.
Pada mulanya, sambutan dari siswa tidak begitu menggembirakan. Mulyani kemudian memajang Bundengan di lobi sekolah agar setidaknya muncul rasa ingin tahu pada siswa yang melihatnya. Namun, banyak siswa yang tak peduli terhadap keberadaan alat musik itu.
“Kemudian setiap pagi saya memainkan Bundengan. Setelah itu baru ada yang tertarik dan minta diajari,” kata Mulyani dikutip dari Liputan6.com.
Ketertarikan Anak Muda Terhadap Bundengan
©2021 Liputan6.com
Untuk mengukur penerimaan siswa-siswanya terhadap Bundengan, Mulyani membuat evaluasi pembelajaran dalam tiga bentuk. Pertama memainkan alat musik Bundengan, kedua menari diiringi Bundengan, dan ketiga membatik dengan motif Bundengan.
Dari tiga jenis ujian itu, 80 persen siswa memilih memainkan Bundengan sebagai alat musik. Mulyani menyimpulkan pilihan sebagian besar peserta didiknya mengindikasikan bahwa kecintaan mereka terhadap alat musik tradisional itu telah tumbuh.
“Ini prestasi kecil. Tapi bermakna besar untuk kelestarian Bundengan,” kata Mulyani.
(mdk/shr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jadi Hari Bersejarah Penyerahan Wilayah dari Pihak Belanda ke Tangan Indonesia, Begini Momen Haru Perundingan Wonosobo Tahun 1949
Pada momen itu, tentara militer Belanda berbondong-bondong menarik diri dari wilayah yang didudukinya
Baca SelengkapnyaPerahu Bidar, Tradisi Lomba Perahu di Sungai Musi yang Sudah Ada sejak 1898
Tradisi lomba Perahu Bidar ini sudah berlangsung sejak Kesultanan Palembang tepatnya pada tahun 1898. Lomba ini juga dikenal dengan istilah Kenceran.
Baca Selengkapnya35 Kumpulan Pantun Lucu Sunda yang Menghibur dan Kocak, Bikin Hari Kian Berwarna
Pantun lucu Sunda bisa Anda coba ungkapkan saat berkumpul bersama teman hingga orang-orang terdekat.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Mengenal Tradisi Bodho Kupat, Satu Kampung di Lumajang Kompak Jadi Pedagang Janur dan Ketupat
Bodho Kupat sendiri merupakan tradisi yang rutin diselenggarakan masyarakat Lumajang ketika memasuki hari ketujuh Lebaran Idulfitri.
Baca SelengkapnyaMengingat Kembali Jebolnya Tanggul Peninggalan Belanda Situ Gintung 15 Tahun Lalu, Telan Korban 100 Orang
Tanggul peninggalan Belanda ini jebol mengejutkan warga karena berlangsung pukul 04:00 WIB dini hari.
Baca SelengkapnyaMomen Bintang 1 TNI Adik Jenderal Non Akpol Suapi Ibunya Makan 'Surga Kami di Telapak Kaki Ibu'
Ada momen menarik dari sosok jenderal bintang 1 TNI adik dari jenderal non Akpol dengan sang ibunda.
Baca SelengkapnyaMengenal Seni Gejog Lesung, Wujud Kegembiraan Kaum Petani di Yogyakarta setelah Masa Panen
Perkembangan musik gejog lesung telah mengalami modifikasi dan sentuhan-sentuhan kreatif dari para musisi perdesaan agar tetap punya daya tarik.
Baca SelengkapnyaUniknya Tradisi Sambut Lebaran di Bengkulu, Bakar Batok Kelapa dengan Penuh Sukacita
Tradisi ini biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Serawai yang ada di Bengkulu yang dilaksanakan pada malam menjelang Idulfitri.
Baca SelengkapnyaArti Bunyi Tokek Menurut Jumlahnya, Bisa Pertanda Baik dan Buruk
Arti bunyi tokek sering kali dianggap memiliki makna khusus dalam berbagai kepercayaan dan budaya.
Baca Selengkapnya