Gelar sidang rakyat pembantaian PKI, pemerintah ancam adili Belanda
Merdeka.com - Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) yang mencari keadilan bagi korban pembantaian massal 1965 resmi digelar pada 10 November di Kota Den Haag, Belanda. Pemerintah tidak merespon positif kegiatan digelar koalisi pegiat hak asasi lintas negara itu.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyesalkan pemerintah Belanda memberi izin kegiatan tersebut. Dia mengatakan Negeri Kincir Angin seharusnya tidak membantu pegiat mengungkit isu sensitif bagi Indonesia itu, karena bisa dibalas nantinya oleh pemerintah RI.
"Kalau ada pengadilan HAM, kami justru adili Belanda bertindak kejam di Indonesia. Dia bayar juga," ujar JK di kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.
Jaksa Agung HM Prasetyo turut mengkritik penyelenggaraan IPT. Kasus pembantaian 500 ribu hingga 3 juta warga terduga komunis setengah abad lalu adalah urusan internal Indonesia. Kalau memang ada sidang rakyat, seharusnya digelar di Tanah Air.
"Kita mengharapkan bahwa masalah kita, kita selesaikan sendiri. Tidak harus ada campur tangan pihak lain," kata Jaksa Agung saat ditemui di Taman Makam Nasional Kalibata dalam rangka Hari Pahlawan.
Sebelumnya, saat dihubungi merdeka.com, Ketua Panitia IPT Nursyahbani Katjasungkana mengatakan sekilas kegiatan mereka lebih mirip seminar yang diikuti sejarawan, penyintas pembantaian, eksil politik, maupun saksi ahli. Namun, tak sekadar bincang-bincang ilmiah, IPT serius menghadirkan serangkaian bukti pendukung dengan tujuan akhir menguak apa yang terjadi di balik pembersihan komunisme 1965.
Aktivis perempuan yang pernah menjadi anggota DPR RI ini justru mempertanyakan sikap birokrat maupun politikus yang alergi terhadap kegiatan IPT. Sebab, Presiden Joko Widodo tahun lalu mendukung upaya pengungkapan pelanggaran hak asasi berat yang pernah terjadi di Tanah Air.
"Bila ada yang menyebut 'case closed' ini sangat tidak sepaham dengan Nawa Cita Pak Jokowi yang akan mengusut setiap kasus HAM hingga tuntas," kata Nursyahbani.
Untuk menunjukkan keseriusan IPT mencari celah hukum soal gugatan atas pembantaian itu, dihadirkan tujuh hakim. Mereka di antaranya Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, dan Cees Flinterman.
Sedangkan jaksa dalam forum IPT yang bertugas untuk mengusut kemungkinan pidana pada pembantaian 1965-1966 adalah Silke Studzinsky. Dia pernah bekerja sebagai pengacara sipil keluarga korban pembantaian Kamboja sepanjang 2008-2012.
IPT digelar selama empat hari. Seluruh agenda kegiatan bisa disaksikan lewat sambungan internet di situs resmi mereka. Pada hari pertama kemarin, fakta-fakta soal pembantaian massal 1965 akan diungkap. Sedangkan hari ini, sidang fokus membahas penyiksaan tahanan politik terduga komunis dan kekerasan seksual bagi tapol perempuan.
Untuk hari ketiga dan keempat, penghilangan paksa terduga komunis dan keterlibatan negara lain dalam pembantaian massal ini turut dibahas.
Jaksa Agung Prasetyo ragu IPT bisa
(mdk/ard)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Meski demikian, ia tetap menghargai pilihan politik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Baca SelengkapnyaDalam setiap ceramah dan khotbahnya, ia selalu menentang kebijakan politik Belanda.
Baca SelengkapnyaJusuf Kalla mengingatkan semua pejabat termasuk Presiden agar netral dalam politik
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Jajaran tim pendukung AMIN juga akan turut datang ke kediaman Jusuf Kalla.
Baca SelengkapnyaMenurut JK, tidak ada arahan secara khusus kedua pasangan tersebut.
Baca SelengkapnyaPartai NasDem menyambut baik dukungan Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla kepada calon presiden nomor urut satu Anies Baswedan.
Baca SelengkapnyaJusuf Kalla atau JK menduga ada pengkondisian suara rakyat bila melihat hasil pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaSimak cerita di balik tempat bersejarah dan saksi bisu ditangkapnya Pangeran Diponegoro.
Baca SelengkapnyaJusuf Kalla mengajak umat Islam menjaga persatuan dan kesatuan pascapemilihan umum (Pemilu) 2024.
Baca Selengkapnya