Penelitian: Pengeluaran masyarakat Indonesia untuk beli rokok terus naik
Merdeka.com - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) meluncurkan hasil penelitian terkait efek konsumsi rokok terhadap kemiskinan dan kejadian stunting di Indonesia. Salah satu hasil yang didapatkan, perilaku merokok turut berdampak pada sisi biaya belanja rokok, yang membuat orang tua seakan mengabaikan masa depan sang anak serta mempertinggi probabilitas angka rumah tangga miskin di masa mendatang.
"Menurut data rumah tangga yang sama dari 1993 sampai 2014, konsumsi proporsi rokok meningkat 2 persen. Peningkatan pengeluaran rokok diikuti dengan proporsi penurunan konsumsi makanan, seperti karbohidrat, ikan dan daging," katanya di Ruang Venezia, Four Points, Jakarta, Senin (25/6).
Mengacu data Indonesia Family Life Survey (IFLS), pengeluaran rumah tangga untuk rokok memang mengalami kenaikan dari 3,6 persen pada 1993 menjadi 5,6 persen pada 2014. Kenaikan tersebut turut dibarengi penurunan pengeluaran penting seperti makanan sumber protein (ikan dan daging) dari 10,1 persen (1993) jadi 6,8 persen (2014), serta sumber karbohidrat dari 8,6 persen (1993) menjadi 7,3 persen (2014).
Teguh pun menekankan, kebiasaan merokok ini juga dinilainya punya dampak untuk masa depan generasi muda selanjutnya. Bukan hanya karena alokasi belanja rumah tangga yang tergerus saja, tapi juga pengaruhnya terhadap kecerdasan seseorang yang gemar merokok sedari dini.
"Merokok yang sifatnya adiktif ini punya dampak untuk masa depan generasi selanjutnya. Prevelensi perokok usia muda yang umurnya 21-30 tahun terus meningkat. Salah satu yang dikorbankan adalah makanan, sehingga kualitas (anak) akan rendah. Kualitas rendah akan mempengaruhi kecerdasan dan produktifvitasnya yang juga akan rendah," tutur dia.
Menurut acuan IFLS pada 2014, hampir 32 persen populasi di Tanah Air adalah perokok aktif. Sedangkan prevelensi perokok usia muda mengalami peningkatan signifikan selama kurun waktu 1993-2014.
Perokok usia 11-20 tahun mengalami peningkatan dari 1,79 persen (1993) menjadi 7,73 persen (2014). Sementara itu, prevelensi perokok usia 21-30 tahun juga melonjak dari 14,5 persen (1993) menjadi 23,6 persen (2014).
Selain itu, IFLS pun melansir, pengeluaran rokok di masa lalu juga berkaitan dengan kemiskinan di masa mendatang. Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas rumah tangga menjadi miskin baik sebesar 6 persen. Hal itu diduga karena pengeluaran rokok menyebabkan rumah tangga menggeser pengeluaran yang sifatnya produktif dan investasi sumber daya manusia.
Reporter: Maulandy Rizky Bayu Kencana
Sumber: Liputan6.com
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Banyak Rokok Murah, Kebijakan Kenaikan Cukai Jadi Tak Efektif Tekan Konsumsi?
Baca SelengkapnyaBerbagai faktor menjadi penyebab rumah tangga Jakarta mengonsumsi air kemasan.
Baca SelengkapnyaBerbagai makanan sehat yang bisa dikonsumsi untuk membantu menambah massa otot dan membentuk tubuh.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Konsumsi makanan berbahan tepung terigu, terutama dalam jumlah terlalu banyak atau terlalu sering bisa menyebabkan sejumlah dampak bagi tubuh.
Baca SelengkapnyaIndonesia sebagai negara ke-4 sebagai negara dengan konsumsi beras terbesar di dunia.
Baca SelengkapnyaKonsumsi gula berlebih dan makanan manis perlu dihindari terutama pada bayi karena sejumlah dampak yang berisiko terjadi.
Baca SelengkapnyaBerdasarkan data BPS mencatat beras dan rokok sebagai pengeluaran terbesar dalam rumah tangga.
Baca SelengkapnyaPeredaran rokok perlu dikendalikan di tingkat masyarakat selaku konsumen.
Baca SelengkapnyaPengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar sebesar Rp34,1 triliun.
Baca Selengkapnya