Tradisi Lampu Colok, Festival Tahunan Masyarakat Melayu Riau Penuh Makna Filosofis
Festival Lampu Colok ala masayarakat Melayu menjadi ciri khas perayaan saat malam-malam terakhir bulan Ramadan di Provinsi Riau.
sumutFestival Lampu Colok ala masayarakat Melayu menjadi ciri khas perayaan saat malam-malam terakhir bulan Ramadan di Provinsi Riau.
Tradisi Lampu Colok, Festival Tahunan Masyarakat Melayu Riau Penuh Makna Filosofis
Negara Indonesia memiliki bentuk perayaan atau festival yang beragam, unik, dan penuh makna mendalam. Tak jarang dari kegiatan tersebut biasa dilaksanakan ketika merayakan hari-hari besar sesuai dengan budaya dan keyakinan nenek moyang mereka.
Salah satu festival atau perayaan yang cukup ikonik dan dilaksanakan rutin setiap tahunnya ada di Provinsi Riau, bernama Lampu Colok. Tradisi masyarakat Melayu Riau ini dilaksanakan saat malam-malam terakhir bulan suci Ramadan. (Foto: Wikipedia)
Lampu Colok atau biasa disebut "Pelite" atau "Pelito" dalam Bahasa Melayu ini sudah menjadi ciri khas yang berkembang di masyakarat Riau. Sampai sekarang, perayaan ini masih terus eksis dan menjadi salah satu kegiatan wajib saat malam terakhir bulan Ramadan.
Selain menjadi tradisi yang ikonik, Lampu Colok sendiri juga memiliki sejarah yang panjang sekaligus makna dan romansa tersendiri bagi masyarakat setempat. Simak informasi selengkapnya yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber berikut ini.
Alat Penerangan Sehari-hari
Melansir dari situs indonesia.go.id, Lampu Colok ini awalnya bukan sebuah tradisi, melainkan sebagai alat penerangan bagi masyarakat yang diletakkan persis di depan rumah. Selain itu, Lampu Colok juga sebagai penerangan ketika anak-anak pergi mengaji atau belajar di tengah gelapnya malam.
Lampu Colok pun kemudian digunakan pula oleh masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan, salah satu contohnya nelayan. Biasanya mereka akan menggunakan Lampu Colok untuk penerangan ketika pergi melaut.
Dengan seiring berjalannya waktu, Lampu Colok pun kini berubah menjadi tradisi yang dilaksanakan ketika malam takbiran, anak-anak akan berkeliling kampung membawa Lampu Colok dalam sebuah pawai.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi, sekarang Lampu Colok sebagai hiasan di depan rumah menjelang penghujung bulan Ramadan, tepatnya pada malam ke-27 atau saat malam Lailatul Qadar.
- KAPANLAGI BUKA BARENG Festival Kembali Hadir di 2024!
- Ribuan Penonton Meriahkan Hari Pertama KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2024
- Memaknai Festival Lampion Borobudur, Wujudkan Impian dan Panjatkan Harapan di Hari Raya Waisak
- Bakaua Adat, Festival Sambut Masa Bercocok Tanam Khas Masyarakat Minangkabau
- Kunker ke Seoul, Menlu Retno Hadiri Ministerial Conference Summit for Democracy
- 6 Hari Menghilang, Zalfa Ridatulaisy Remaja Asal Bogor Tak Kunjung Pulang Usai Pamit ke Kafe Sejak 4 Juni
Makna dan Romansa Lampu Colok
Lampu Colok yang sudah menjadi tradisi masyarakat Riau ini pastinya memiliki makna tersendiri. Menurut cerita yang sudah diwariskan secara turun-temurun itu mengisahkan bahwa Lampu Colok dulunya sarana penerangan bagi orang yang ingin membayar zakat fitrah setiap malam ke-27 Ramadan.
Selain menjadi jalan penerang, Lampu Colok juga sangat membantu untuk menerangi ketika menghimpun zakat fitrah yang dikumpulkan dari masyarakat sekitar. Maka, dari sini kita bisa memetik arti dan makna dari Lampu Colok ini bukan lagi unsur dari suatu kebudayaan, melainkan sudah dekat dan melekat di masyarakat.
Pelaksanaan tradisi Lampu Colok pada malam ke-27 Ramadan juga bukanlah tanpa sebab. Hal ini dianggap bukan acara biasa, melainkan untuk menuai pentingnya nilai-nilai religi dan kehidupan yang terkandung di dalamnya.
Masuk Warisan Budaya Tak Benda
Seiring berkembangnya zaman, setiap tradisi dan budaya tentu akan menghadapi tantangan modernisasi. Hal ini mengakibatkan unsur-unsur tradisi dan budaya bisa saja hilang di masyarakat.
Maka dari itu, perlunya pelestarian, kesadaran diri, dan mewariskan tradisi secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Begitu juga dengan festival Lampu Colok ini, masyarakat setempat pun juga berupaya untuk bisa melestarikan tradisi unik yang satu ini.
Keberadaan festival ini sudah diakui oleh Kemdikbud sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Kini Lampu Colok bukan lagi hanya sekedar perayaan melainkan juga upaya untuk melestarikan budaya daerah.