Warga Sengsara Pendatang Sejahtera, Ini Kehidupan Kampung Surabaya pada Masa Kolonial
Merdeka.com - Pada masa kolonial Belanda, Surabaya dikenal sebagai kota dagang yang tersohor. Sementara kawasan kota menjadi pusat perdagangan, kawasan pedalaman kaya akan hasil bumi.
Pemberlakukan Undang-Undang Gula dan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870 memberi kesempatan kepada pihak swasta terutama pengusaha dari Belanda untuk menanamkan modal di daerah Hindia Belanda. Undang-Undang ini memberikan kesempatan kepada para pengusaha untuk menyewa tanah dan membuka usaha-usaha perkebunan di kawasan pedalaman.
Konsekuensinya, banyak kantor-kantor dagang dan bank-bank didirikan guna mendukung kegiatan perkebunan. Beberapa bank Belanda yang membuka cabang di Kota Surabaya yakni Ned Handel Mij, De Javasche Bank, Ned Indische Escompto Mij, Ned Ind. Handelsbank, Rotterdamsche Bank, de Internationale Credit en handels Vereniging Roterdam, dan Firma Fraser Eaton & Co.
Pertumbuhan Penduduk
Banyaknya kantor dagang dan cabang perusahaan yang berdiri di Surabaya berdampak pada pertumbuhan penduduk yang pesat. Merespons hal itu, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Wilayah atau yang dikenal dengan Wijkenstelsel. Undang-Undang ini mengatur pengelompokan tempat tinggal berdasarkan etnis tertentu.
Akibatnya, muncul permukiman-permukiman khusus seperti Kampung China, Kampung Arab, Kampung Melayu, dan sebagainya. Permukiman para pendatang ini mayoritas berada di sekitar jalan-jalan utama. Sementara itu, penduduk asli Surabaya tinggal di kampung-kampung yang cukup jauh dari jalan utama.
Pembagian Wilayah
Lihat postingan ini di Instagram
Setelah tahun 1900-an, Undang-Undang Wilayah tidak berlaku. Meski demikian, pembagian wilayah di Kota Surabaya masih terlihat jelas sampai beberapa waktu kemudian. Di sebelah barat Jembatan Merah, terdapat tempat kediaman orang-orang Eropa. Sementara di sebelah timur Jembatan Merah, terdapat daerah pemukiman orang-orang China, Melayu, dan Arab.
Pada awal abad ke-20, pertumbuhan penduduk Kota Surabaya menimbulkan permasalahan. Banyak orang Eropa membeli tanah dan membangun rumah-rumah besar, kantor, dan toko-toko. Mereka berlomba-lomba membeli tanah di pusat perkotaan. Sementara itu, penduduk asli Surabaya tinggal di dalam kampung-kampung yang lokasinya tertutup dengan bangunan-bangunan milik para pendatang.
Kondisi Kampung Memprihatinkan
Selain aksesnya tidak berada di pinggir jalan, kondisi kampung-kampung penduduk asli Surabaya juga memprihatinkan. Sampah berserakan, tidak tersedia saluran air, tidak ada udara bersih dan sinar matahari yang masuk rumah. Buntutnya, muncul penyakit menular di kalangan penduduk. Kemudian, sesudah tahun 1920-an, Pemerintah Hindia Belanda mencoba memperbaiki keadaan kampung-kampung di Surabaya.
Saat Kota Surabaya semakin berkembang, pola segregatif (pemisahan permukiman berdasarkan etnik) semakin melebar. Bangsa Belanda dan etnis lain menguasai lahan-lahan di tepi jalur transportasi seperti jalan raya, sungai, dan jalan kereta api. Di lahan-lahan tersebut didirikan banyak pertokoan dan rumah-rumah. Jalan-jalan di kawasan tersebut merupakan jalan aspal yang halus. Sangat berbeda dengan jalan masuk kampung yang becek ketika musim hujan datang.
Penggusuran di Zaman Kolonial Belanda
Batas fisik antara kampung dan perkotaan turut mempengaruhi psikologis warga. Penduduk yang tinggal di kampung sukar menyesuaikan diri dengan budaya perkotaan modern. Di sisi lain, bangsa Belanda menganggap kampung sebagai “desa yang salah letak”, sebagaimana dilansir situs resmi Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Jawa Timur (diakses Selasa, 27 Juli 2021). Pandangan sebelah mata Belanda ini mewariskan istilah-istilah seperti budaya kampung, arek kampung, kampungan, dan sejenisnya.
Pola segregatif di Surabaya terus meluas hingga membuat pusat bisnis semakin lebar. Bahkan, pelebaran pusat bisnis merembet hingga kawasan perkampungan yang padat penduduk. Buntutnya, penggusuran tak terelakkan. Salah satu contohnya yakni pada tahun 1929, Belanda berusaha menempatkan gedungnya di Kampung Keputran. Warga setempat yang merasa dirugikan pun menolak.
(mdk/rka)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sejarah Padang Mangateh, Peternakan Tertua dan Terbesar di Sumatra Barat Warisan Kolonial
Sebuah daerah khusus peternakan ini dikenal mirip seperti padang rumput yang berada di Selandia Baru dan didirikan langsung oleh Pemerintah Hinda Belanda.
Baca SelengkapnyaSejarah Kota Sibolga, Daerah Kecil yang Dulunya Jadi Pusat Perdagangan Era Hindia Belanda
Salah satu kota di Provinsi Sumatera Utara ini dulunya berperan penting dalam aktivitas perdagangan masa kolonial.
Baca SelengkapnyaDulu Ladang Luas Pemandangannya Indah, Begini Kisah Kampung Bersejarah Hadiah Raja di Tengah Kota Surabaya
Kampung ini memiliki nuansa bersejarah yang kental.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
20 Tempat Wisata di Surabaya Terpopuler, Wajib Dikunjungi
Surabaya memiliki daya tarik wisata yang kaya akan sejarah, budaya, dan keindahan alam.
Baca SelengkapnyaSosok Ki Ageng Pengging Tokoh Babat Alas Surabaya, Dihukum Mati karena Tak Mau Menghadap Raja
Ia merupakan tokoh penting dalam sejarah Kota Surabaya.
Baca SelengkapnyaPernah Melawan Penjajah Belanda Sampai 50 Tahun, Begini Sejarah Suku Basemah di Sumatera Selatan
Suku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.
Baca SelengkapnyaTerbaik se-Asia Pasifik, Begini Sejarah Bandara Internasional Juanda Surabaya
Nama bandara ini diambil dari nama Perdana Menteri Indonesia terakhir
Baca SelengkapnyaSejarah Kurug, Pakaian Jawa Kuno yang Sudah Ada di Abad ke-10
Dulu, busana ini memiliki makna yang digunakan hanya pada acara-acara formal. Namun, zaman telah berubah, kini telah melebur menjadi pakaian sahari-hari.
Baca SelengkapnyaMengenal Suku Orang Laut, Penghuni Perairan Sumatra Timur yang Dulunya Dikenal Kawanan Perompak
Salah satu masyarakat asli Sumatra Timur yang kesehariannya hidup di perairan ini berperan dalam melestarikan kehidupan bahari.
Baca Selengkapnya