Kisah WNI disandera Abu Sayyaf, ngaku mualaf sampai lari di hutan
Merdeka.com - Sepuluh awak kapal tunda Brahma dan kapal tongkang Anand tak akan mengira bakal mengalami mimpi buruk saat membawa muatan batu bara ke Filipina. Di perairan Sulu, beberapa hari setelah kapal lepas dari Tarakan pada 15 Maret, perahu cepat mencegat laju mereka.
Di dalam perahu cepat itu ada gerombolan militan Abu Sayyaf, perompak sekaligus teroris paling disegani selatan Filipina.
Pemilik kapal dari PT Patria Maritime Line, baru memperoleh informasi pembajakan pada 26 Maret. Isu ini segera menjadi perhatian pemerintah RI. Komisaris Patria Maritime, Loudy Irwanto Ellias, mengaku Abu Sayyaf meminta tebusan tak tanggung-tanggung lewat sambungan telepon. Yakni 50 juta peso (setara Rp 14,3 miliar).
Sejak komunikasi antara perusahaan dan para militan terbangun, pemerintah mulai dilibatkan. Selepas 37 hari yang melelahkan, termasuk karena tarik ulur kemungkinan TNI terlibat membebaskan para sandera di Pulau Jolo, ke-10 awak kapal itu akhirnya bebas.
Pemerintah mengklaim mereka bebas berkat strategi diplomasi, termasuk menggunakan tokoh yang disegani dari Moro. Namun selentingan beredar bahwa pada Jumat (29/4), perusahaan sudah membayar tebusan, kendati tidak semahal yang diminta di awal.
Versi manapun yang benar, intinya pahlawan sesungguhnya dalam kisah ini adalah 10 awak kapal Indonesia itu. Mereka bertahan berhari-hari di hutan tanpa kepastian, turut berlari ketika markas militan diserbu militer Filipina, hingga mencoba mempertahankan nyawa dengan mengaku beragama Islam.
Apa saja pengalaman dan kesaksian para sandera selama ditawan militan haus darah itu di pedalaman Filipina? Berikut rangkumannya oleh merdeka.com:
Terpaksa mengaku mualaf
Kapten kapal Brahma 12, Peter Tonson, menyatakan beberapa saat setelah ditawan dia dan kawan-kawannya ditanya soal agama.Â
Tiga dari 10 WNI itu beragama nasrani, termasuk Tonson. Dia sempat khawatir keselamatannya terancam bila mengaku bukan muslim. Terlebih para militan menanyai satu-satu agama para awak kapal nahas tersebut.
"Kita ditanya agama, yang kristen berapa? Karena mereka selalu mengatakan mereka perang agama. Kami bertiga mengatakan kami mualaf, demi menyelamatkan nyawa saya dan kawan-kawan," kata Tonson saat ditemui awak media di Kementerian Luar Negeri, Senin (2/5).
Lambat laun, selama ditawan, Tonson dan sembilan rekan lainnya ternyata tidak disakiti. Mereka tetap diberi makan setiap hari.
Â
"Kekerasan tidak ada, ancaman tekanan tidak ada," kata Tonson.
Dijaga bergiliran oleh para militan
Juru Mudi kapal tunda Brahma 12, Wawan Saputra, turut memberi kesaksian. Dia ingat, sehari setelah kapal mereka diserang, awak dua kapal batu bara itu segera dibawa ke sebuah pulau. Mereka lantas dipaksa masuk hutan.
Wawan mengaku kesulitan mengingat detail lokasi penyanderaan mereka, karena hutan sangat lebat. Namun dia ingat bahwa para militan menjaga ketat seluruh ABK asal Indonesia.
Walaupun tidak disakiti, namun pengawasan Abu Sayyaf tak lengah. Saat tidur pun, para sandera dijaga ketat.
"Kita dijagain terus sama mereka, satu orang sandera dijaga satu sampai dua orang, kadang mereka tidur bergantian bahkan tidak pernah tidur," ungkap Wawan.
Wawan ingat perawakan nyaris semua anggota kelompok militan itu tak terlalu tinggi, namun tampak waspada. Mereka terus membawa senapan laras panjang selama penyanderaan, jarang menunjukkan wajah.
"Pakaian mereka lengkap pakai topeng, laras panjang," tandasnya.
Beradaptasi dengan gaya hidup militan
Tinggal di hutan lebat, membuat ke-10 WNI harus bertahan hidup sebisanya selama 37 hari. Mereka makan apapun yang diberikan oleh para anggota Abu Sayyaf.
Kapten Peter Tonson mengaku sampai beradaptasi dengan gaya hidup para militan itu, khususnya dalam hal makan dan beristirahat di alam liar.
"Makan ya ikut apa yang mereka makan, beradaptasi sama yang di sana. Tidur di tanah ya ikut tidur beralaskan daun kelapa," ujarnya.
Kesaksian serupa disampaikan Wendy, koki kapal Brahma. Bedanya dia ada beberapa hari, baik sandera maupun para penculik tidur di tenda terpisah, bukan di tanah.Â
Sedangkan Wawan ingat hal lain lagi. Menurutnya mereka lebih banyak makan buah-buahan selama di dalam hutan. "Makannya seperti mangga, mangga, nasi, gitu saja. Jadi apa yang mereka makan, kami makan," ujarnya.
Militan irit bicara, jarang ajak ngobrol sandera
Juru Mudi Wawan Saputra menyatakan para militan sangat jarang mengajak bicara sandera. Selama di hutan, mereka lebih banyak menjaga atau mendiamkan para awak kapal.
Sekalinya diskusi, tidak banyak yang bisa digali para WNI itu tentang para penculiknya. "Pernah diskusi sesekali, mereka bilang ada yang asalnya Suku Bugis Sulawesi, cuma itu saja," kata Wawan.
Selama hidup bersama militan itulah, Tonson menyadari bahwa Abu Sayyaf tidak sepenuhnya ingin membunuh sandera. Niat utama mereka tetap memperoleh uang tebusan. Kadang mereka pun mengajak bercanda.
Terbukti, selama berinteraksi, militan tak memberi ancaman kepada para WNI dengan nada serius. "Mungkin mereka punya maksud biar kita cepat ditebus. Kalau tekanan mungkin menakut-nakuti kita seperti ultimatum, hanya bercanda saja," ucap Peter.
Dalam keterangan terpisah, Loudy Irwanto Ellias selaku Komisaris Perusahaan Patria Maritime Line menyatakan para penculik bicara dalam bahasa melayu patah-patah saat menelepon minta tebusan.Â
Loudy merasa, di luar reputasinya yang kejam, Abu Sayyaf relatif koorperatif dengan mengizinkan ABK berkomunikasi langsung dengan perusahaan.
"Tiap kali kita kontak, itu pasti kita bertanya bagaimana keselamatan orang kami, kami mendapat info jika orang kami diperlakukan dengan baik oleh mereka," kata Loudy.
Diajak lari menghindari serangan militer Filipina
Sepuluh ABK WNI yang berhasil bebas dari penculikan Abu Sayyaf menuturkan pengalaman mereka selama lebih dari satu bulan dalam tawanan. Mereka mengaku kelompok Abu Sayyaf terus menjaga mereka tanpa memakai kekerasan.
Kendati begitu, para sandera selalu diajak berlari menembus hutan. Salah satu korban, Kapten kapal Brahma 12, Peter Tonson, menuturkan perpindahan ini dipicu operasi militer Filipina yang intensif dua pekan terakhir.
Ketika disinggung lokasi mereka yang terus berpindah-pindah, Peter menjelaskan hal itu demi keselamatan mereka, bukan taktik militan menyembunyikan keberadaan.
"Untuk keamanan kami juga. Karena setiap ada operasi militer mereka menghindar, tidak melakukan perlawanan, karena ada kami mereka takut terjadi sesuatu dengan kami," ujarnya.
(mdk/ard)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bikin Haru Perjalanan Ibu Persit Bersama Sang Suami Berpangkat Kolonel, Kini Sang Putri Kuliah di UI 'Aku Bersyukur Pada Allah'
Kisah haru perjalanan istri Kolonel TNI Arm Joko Setiyo dalam mendampingi sangsuami mengarungi bahtera rumah tangga,
Baca SelengkapnyaKisah Empat WNI di Malaysia Lolos dari Hukuman Mati dan Seumur Hidup
Pengacara mengatakan kepada majelis hakim pemohon telah menyatakan insaf dan bertobat, dan hanya sekali mengajukan banding ke Mahkamah Tinggi.
Baca SelengkapnyaBanyak Hantu di Rumah Pertama saat Berpangkat Letda, Cerita Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo Sering Menyetel Kaset Ngaji
Mayjen Kunto Arief Wibowo mengaku pernah mendapatkan gangguan saat tinggal di rumah dinas ketika berpangkat Letda.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Dua WNA jadi Korban Begal di Tamansari, Lima Pelaku Berhasil Diringkus Polisi
Korban terluka akibat terkena sabetan senjata tajam yang diayunkan oleh pelaku
Baca SelengkapnyaKades di Sukabumi Panik Didatangi Mayjen Kunto Arief Sambil Bawa Prajurit TNI Secara Tiba-tiba
Momen Mayjen Kunto Arief Wibowo lakukan kunjungan mendadak ke rumah seorang kepala desa di Sukabumi.
Baca SelengkapnyaPenjelasan TNI Soal Warga Labuanbatu Meninggal Usai Ditahan Saat Hendak ke Masjid karena Ada Kunjungan Jokowi
Komandan Distrik Militer (Dandim) 0209/LB, Letkol. Inf. Yudi Ardiyan Saputro buka suara terkait meninggalnya Marhan Harahap.
Baca SelengkapnyaNiat Bela Wanita, Anak Pejabat Pangkalpinang Malah Dikeroyok Diduga Intel TNI hingga Babak Belur
Akibat kejadian tersebut, MA mengalami luka di wajah bagian bawah, pelipis, bibir, dan kepala bagian belakang.
Baca SelengkapnyaAnggota TNI Dikeroyok Brimob Satu Truk, Endingnya Mengejutkan
Kolonel Inf Rico Siagian membenarkan adanya insiden pengeroyokan tersebut.
Baca SelengkapnyaTiba-Tiba Jatuh, Anggota TNI Meninggal saat Jaga Rapat Pleno Pemilu
Tim medis yang melakukan pertolongan menyatakan korban Serma Fedi telah meninggal dunia.
Baca Selengkapnya