Menolak Lupa Sejarah PDRI, Momentum Menyelamatkan Nyawa Republik Indonesia di Bumi Sumatra
Terbentuknya pemerintahan darurat di Pulau Sumatra menjadi momen penyambung hidup NKRI serta gelorakan semangat perjuangan melawan kolonial.

Terbentuknya pemerintahan darurat di Pulau Sumatra menjadi momen penyambung hidup NKRI serta gelorakan semangat perjuangan melawan kolonial.

Menolak Lupa Sejarah PDRI, Momentum Menyelamatkan Nyawa Republik Indonesia di Bumi Sumatra
Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau disingkat PDRI merupakan sebuah pemerintahan yang dibentuk untuk menyelamatkan eksistensi negara Republik Indonesia. Pada momen ini, Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa menteri sedang ditahan Belanda.
Agresi Militer Belanda II menjadi peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Selain pihak kolonial yang haus akan kekuasaan, para tokoh pejuang masih terus gelorakan semangat perjuangan meski sudah dinyatakan merdeka.
Kala itu, Belanda dikabarkan berhasil menduduki kota Yogyakarta. Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara selaku diberi kuasa oleh Presiden tidak menerima kabar buruk tersebut secara langsung melainkan melalui siaran radio.
Mendengar kabar tersebut, Syafruddin Prawiranegara bersama pejabat lainnya di Bukittinggi langsung berinisiatif untuk mendIrikan PDRI.
Berdiri di Lima Puluh Kota
Mengutip situs esi.kemdikbud.go.id, pemerintah darurat ini berhasil berdiri pada 22 Desember 1948 di Halaban, sebuah daerah di Lima Puluh Kota. Dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri dan Wakilnya Teuku Mohammad Hasan.
Untuk jabatatan Staf Angkatan Laut diserahkan kepada Kolonel Laut M. Nazir, Kepala Staf Angkatan Udara kepada Komodor Muda Hubertus Soejono; dan Kepala Jawatan Kepolisian Negara dijabat oleh Komisaris Besar Umar Said.
Sementara jabatan Menteri Luar Negeri dipercayakan kepada Mr. A.A. Maramis, dan menugaskannya membawa masalah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menyambung Nyawa NKRI
Terbentuknya PDRI ini untuk koordinasi pemerintahan, melanjutkan perang gerilya, kemudian memupuk semangat perjuangan rakyat. PDRI ini sangat fleksibel, dalam kabinet ini mereka berangkat menuju Bidar Alam atau Solok Selatan.
Kolonel Hidayat dan Komando Militer Sumatra bergerak menuju ke Utara Aceh untuk membangun markas Komando Sumatra. Sementara itu, Mr. St. Mohammad Rasyid sebagai anggota PDRI menjalankan pemerintahan Sumatra Barat dari Koto Tinggi.
Belanda Terjepit
Pada pertengahan tahun 1949, Belanda tuai kecaman setelah melakukan Agresi Militer II. Sementara itu, pasukan Indonesia tidak pernah berhasil berkuasa penuh. Inilah yang memicu Belanda dan Indonesia menuju meja perundingan.
Perundingan tersebut kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Roem-Royen. Meski mendapat banyak halangan dari beberapa tokoh tetapi Syafruddin tetap teguh untuk melaksanakan perjanjian Roem-Royen.
Setelah perjanjian Roem-Royen telah ditandatangani, pada 13 Juli 1949 digelar sidang pertama antara PDRI dengan Soekarno dan Mohammad Hatta. Pemerintah Hatta mempertanggungjawabkan atas peristiwa pada 19 Desember 1948.
Wakil Presiden Hatta menjelaskan 3 soal, yakni hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya, hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royen.
Hari Bela Negara
Dengan adanya peristiwa PDRI ini menjadi dikenal sebagai momentum penyambung nyawa NKRI di saat genting-gentingnya. Tak hanya itu, peran para pejuang yang tidak patah semangat juga patut mendapatkan apresiasi tinggi.
Sejak tahun 2006, pemerintah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara untuk memperingati peristiwa PDRI. Tentu saja, momen tersebut akan selalu dikenang dan tak lekang oleh waktu.