Pendemo Lurah Susan perlu diajari akar keberagaman Lenteng Agung
Merdeka.com - Sebagian warga Lenteng Agung menolak kebijakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dalam penempatan Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli. Alasannya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas warga yang dianutnya.
Susan yang mengikuti lelang jabatan camat dan lurah beberapa waktu lalu terpilih menjadi Lurah Lenteng Agung sesuai dengan surat keputusan pengangkatan.
Sikap sebagian warga ini seakan mengingkari asal-usul Lenteng Agung yang lekat dengan keberagaman.
Nama daerah Lenteng Agung sendiri berasal dari nama tempat peribadatan etnis Tionghoa yaitu Klenteng. Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan warga Lenteng Agung seharusnya diberi pemahaman bahwa saat ini era demokrasi.
Menurut dia, warga Lenteng Agung yang menolak kehadiran Lurah Susan tidak memahami Indonesia secara luas. Nama Lenteng Agung sendiri berasal dari Klenteng karena memang daerah Lenteng Agung sebelum tahun 1945 banyak etnis Tionghoa yang menetap di daerah tersebut.
"Kan sekarang masih banyak warga asli Lenteng Agung yang keturunan warga Tionghoa," kata dia kepada merdeka.com di Jakarta, Kamis (3/10).
Dia menuturkan daerah sekitar Lenteng Agung seperti Depok dan Pondok Cina lebih didominasi oleh bangsa Belanda jadi penolakan warga Lenteng Agung tidak berdasar dengan keadaan sejarah wilayah tersebut.
Penduduk Lenteng Agung sekarang sudah berbagai macam etnis termasuk etnis Tionghoa sehingga warga yang menolak Lurah Susan harus diberi pemahaman. "Jadi diberi pemahaman agar mereka lebih menerima perbedaan yang ada. Kan asal usul mereka juga berbeda," tegas dia.
Ridwan menambahkan setelah tahun 1945 hingga 1955, Lenteng Agung lebih didominasi oleh warga asli Lenteng Agung yang kebanyakan keturunan etnis Tionghoa. Dia mengimbau agar masyarakat Lenteng Agung memberi waktu untuk Lurah Susan bekerja terlebih dahulu.
"Jadi kasihlah waktu buat Lurah Susan untuk bekerja selama enam bulan. Kan pak Gubernur Jokowi juga akan evaluasi hasil pelelangan jabatan yang dia buat. Tunggu saja sampai enam bulan," pungkas dia.
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tradisi lomba Perahu Bidar ini sudah berlangsung sejak Kesultanan Palembang tepatnya pada tahun 1898. Lomba ini juga dikenal dengan istilah Kenceran.
Baca SelengkapnyaSalah satu desa yang terletak di Kecamatan Napal Putih ini dikenal sebagai kawasan pertambangan sejak zaman kolonial hingga menjadi rebutan beberapa negara.
Baca SelengkapnyaBeureueh yang tersemat di namanya itu diambil dari nama sebuah kampung Beureueh yang menjadi tanah kelahirannya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Lettu Fardhana diketahui ditugaskan di Papua. Lettu Fardhana akan bertugas disana selama satu tahun.
Baca SelengkapnyaDari tahap awal sampai akhir, tradisi ini melibatkan orang banyak alias dikerjakan secara bergotong-royong dan dilaksanakan dengan penuh suka cita.
Baca SelengkapnyaKlenteng ini jadi saksi masa kejayaan orang Tionghoa di Kota Pahlawan
Baca SelengkapnyaPulau yang terletak di Teluk Painan ini dulunya merupakan benteng pertahanan Portugis yang digunakan sebagai loji Belanda untuk perdagangan lada.
Baca SelengkapnyaKawasan yang saat ini menjadi cagar budaya di Palembang dulunya sebuah lingkungan tempat tinggal bagi warga Tionghoa era kolonial Belanda.
Baca SelengkapnyaAdab menghormati serta memuliakan tamu itu sudah melekat pada diri orang di Indonesia, mereka dianggap sebagai 'raja'.
Baca Selengkapnya